Kedhaton berbalut manikam-manikam dan emas-emas permai ialah suatu elok yang disenandungkan seluruh istri-istri di seluruh Bhumi Wilatikta. Bila berhasil memperoleh suatu mulia di sana, sudahlah jadi syukur bagi seluruh keturunan yang akan mendatang. Atau hanya diperbolehkan berpatik untuk para istri dalem, maka sudahlah jadi suatu untung yang dibanggakan. Dalam kedhaton itu, sudah jadi tradisi memisah antara putri dan putra; antara raja dan permaisuri; antara anak dan bapa; antara yang dimuliakan dan hamba sahaya. Dan demi memuliakan adinda yang elok sekali rupanya, bak apsari penghuni Suralaya, telah sengaja dibangun baginya kedhaton baru bertempat selatan dari kediaman raja. Adinda yang beroleh mulia itu suka disebut Wulan, dari terangnya rembulan yang suka membungkus rupa asrinya. Banyak membuat penasaran hati banyak kekasih, tetapi tak boleh sembarang dinikmati. Sejak jadi wanita kedhaton, maka ia akan diperuntukan bagi maharaja dan hamba sahaya serta para pria-pria selainnya akan memberi junjungan.
Tinggal di atas mahligai yang dijunjung banyak hamba bukan jadi soal yang membahagiakan. Kedatangannya oleh karena paksa. Hatinya tak meminta untuk menetap dan baginya hampa-hampa yang dingin acapkali menemani gelapnya. Diri suka berkesah di tengah pergantian waktu, sembahyang kepada Maha Pencipta supaya tak diberi sengsara oleh karena keindahan yang baginya tawar itu. Namun sudah tentu susah baginya memperoleh terang, sebab tak ada yang berani melawan kata-kata Prabu, terutama bila sudah diperuntukan maka tetap akan diperuntukan, dan menentang kehendak dari raja artinya menemui pati.
Wiwaha akan dilaksanakan menurut tanggal baik yang tengah ditentukan. Pada hari yang akan menjadi permuliaan, seharusnya membawa kebahagiaan yang tak sanggup disanding oleh segala rupa indah lainnya. Apalagi dengan manikam dan permata yang disandingkan, merias tubuh dengan kemolekan yang duniawi. Khalayak tentu akan mengenangnya dan mengakuinya sebagai yang dicintai setulus hati. Sebelum wiwaha itu sempat berlaksana, Wulan membawa diri untuk kembali bersembahyang. Dari mahligainya, hanya perlu melompati regol, berbelok ke kiri, dan berterus hingga sampai menuju pura.
Saat datang menghatur sembahyang, Jagad mempertemukannya dengan nasib baik. Seorang abdi kebetulan juga datang untuk melaksanakan tugas menyapu pelataran. Begitu datang junjungannya, segera menyembah hormat. Namun Wulan menyetarainya, tak peduli berapa jengkal kedudukan yang memisahkan antara mereka berdua.
"Tolong saya, Mbok."
Abdi itu tetap menawarkan kepatuhan. "Kiranya pertolongan apa yang menyenangkan hati Dewi? Saya tak berani melawan kehendak Gusti Prabu, bila sudah menjadi ketetapan maka demikianlah benarnya. Keputusan atas ubah tidaknya, semua dituntaskan melalui pengadilan dan atas kehendak Prabu."
Belum sempat ada belaan di sana. Sesaat kemudian teguran melayang, "Dewi, sudah saatnya untuk pawiwahan dilaksanakan. Gusti Prabu telah meminta Dewi untuk menetap, bukan dalam sementara, tetapi sampai habisnya waktu. Sekarang bukan saatnya berpaling, apalagi melawan. Hendaknya tetap turut supaya selamat. Setidak-setidaknya, supaya keluarga dan sanak saudara beroleh tenang dan tenteram, jika memang bagi Dewi hidup pemberian Maha Pencipta tidak perlu dipergunakan."
Yang berucap demikian ialah abdi pribadi Prabu, sengaja diminta mondar-mandir memeriksa Dewi Wulan. Ketiadaannya di mahligai tentu membawa keresahan. Atas hasutan itu, sang adinda berpaling—meninggalkan segala inginnya untuk memberontak. Ia membawa diri untuk menemui takdir yang sesungguhnya sudah menjadi ketetapan baginya sejak dilahirkan ke jagad semesta.
Baginya tiada yang membuat berdendang hati walau telah dipermasyurkan namanya ke sepenjuru negeri—sebab dirinya di sana atas dasar paksa. Usai perjamuan dan ramah tamah digelar, maka tiba waktunya beristirahat. Mahligai kekasih Sang Prabu itu kembali dipermai dengan permadani yang lebih elok, dengan anyaman yang lebih rumit. Permadani itu membentang sepenjuru ruang, tak lupa dengan lentera-lentera yang menerangi sudut. Tepat di tengah, seolah menjadi titik pusat dari sepenjuru mata angin, terdapat kursi berbahan jati berkualitas baik.
Sang Dewi duduk terpekur dekat kursi itu, menatap abdi-abdinya yang sibuk memindahkan hadiah-hadiah perkawinan ke dalem. Hatta, tersiar warta kedatangan sang Prabu. Tampaknya akan segera tiba tak begitu lama. Dewi Wulan melirik keramaian abdi yang bergembira. Mereka mulai membenahi segala hal supaya tampak indah. Namun Dewi Wulan tak merasa turut dalam bahagia itu, hanyalah kehampaan yang senantiasa mendekapnya.
"Gusti Prabu," gumam Dewi Wulan sebegitu tak bergembiranya ia menjumpa kekasih hatinya telah tiba. Para abdi bersembunyi sembari sekali-kali mengintip.
"Dewi, kudengar ada yang tak menyenangkan hatimu." Prabu berucap sedang kakinya melangkah mendekati kursi itu dan duduk di sana. "Ada apa gerangan? Perlukah kubangunkan kuil sembahyang baru untukmu? Ataukah emas-emasan yang lebih mulia daripada yang telah dipermilik dirimu? Ataukah kuda sembrani dari Tuban itu... kudengar dahulu Dewi senang berguru untuk ilmu turonggo."
"Bukan, Paduka."
"Baiknya hibur dirimu dengan pengetahuan. Sebagai hadiah pawiwahan, Kitab Arjuna Wiwaha telah lama kusiapkan untuk Adinda Dewi." Maka kitab itu berserah pada tuannya yang baru. Dewi Wulan menerimanya. "Katakan, yudha macam apa yang membawa Dewi bertekun dalam tapa hingga lupa akan hasrat untuk mencinta? Bukan menyoal orang lain, tetapi juga diri Dewi sendiri. Tak pernah kudengar senandung ria Dewi, apalagi molek kelakar yang selalu diperbincangkan orang itu."
"Yudha itu berkobar dalam hati Adinda, sesuatu pergumulan yang Gusti Prabu tidak jalani. Hamba akan mencari cara untuk memadamkannya, Paduka."
"Bila engkau bawa persoalan itu dalam kehendak nuranimu yang seluas samudra, maka tak kunjung akan selesai. Berbagilah sampan supaya berseberang bukan seorang diri saja."
Dewi Wulan memandang nanar. Ada kesangsian di sana. "Sampan itu tak akan cukup untuk dua orang, Paduka."
"Kehendak Maha Pencipta bukan Dewi yang pinta. Tamatkanlah dahulu kisah itu supaya Adinda Dewi tahu apakah sampan itu tetap sampai di seberang dengan selamat bila dua orang dalam lindungan Maha Pencipta melarung bersama."
****
Istri: merujuk pada kata wanita
Apsari: bidadari
![](https://img.wattpad.com/cover/266888516-288-k921097.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Selamanya Abadi
Cerita Pendek[Kumpulan Cerpen] Manusia tidak bisa hidup tanpa cinta. Di setiap kali ia melangkah, maka akan ada cinta yang ia berikan kepada seseorang atau sesuatu. Ada saatnya, cinta itu pergi sesaat dari kehidupan manusia karena telah tuntas tugasnya. Di saat...