Berita Tak Mengenakkan

38 15 7
                                    


---

Bab 2: Berita Tak Mengenakkan

Sejak kejadian rolling tempat duduk, hidup Sifa perlahan berubah jadi mimpi buruk. Awalnya, dia masih bisa menikmati hari-harinya duduk di samping Denis. Setiap kali mereka belajar bareng atau sekadar ngobrol, hati Sifa terasa berbunga-bunga. Namun, keindahan itu nggak berlangsung lama. Riska, yang merasa terancam oleh kedekatan Sifa dan Denis, memulai rencananya.

Rumor mulai menyebar. Entah dari mana asalnya, tapi tiba-tiba seluruh sekolah mulai menjauhi Sifa. Setiap hari, ada saja yang melempar kertas ke arahnya saat dia berjalan di koridor menuju kelas. Isi kertasnya nggak pernah menyenangkan: tuduhan yang nggak benar, hinaan, bahkan beberapa ucapan kasar yang bikin Sifa makin terpuruk. Rasanya setiap langkahnya diawasi, setiap tatapan penuh cemoohan, dan seolah-olah semuanya menghindarinya seperti dia adalah penyakit menular.

Riska di sisi lain, tersenyum puas melihat situasi ini. Setiap istirahat, dia selalu mendekati meja Denis. Duduk di dekatnya, mencoba menarik perhatian Denis dengan obrolan-obrolan yang nggak penting. Tapi Denis, yang mulai merasa risih, akhirnya angkat bicara. “Riska, kamu nggak perlu duduk di sini terus. Aku nggak suka diperlakuin kayak gini,” ucap Denis suatu hari, nadanya terdengar jengkel.

Riska kaget mendengar Denis ngomong kayak gitu, tapi dia berusaha tetap tenang di depannya. “Aku cuma mau ngobrol, kok,” jawabnya pelan, meskipun dalam hatinya dia mulai kesal. Ini bukan reaksi yang dia harapkan. Denis malah kelihatan makin menjauh.

Kabar tentang rumor yang beredar mengenai Sifa akhirnya sampai juga ke telinga sahabat-sahabatnya. Ramadhan dan Azzana nggak percaya dengan apa yang mereka dengar. Saat istirahat, mereka mendekati Sifa yang tampak murung di bangkunya. “Sif, kita denger ada kabar nggak enak soal kamu,” kata Ramadhan hati-hati. “Bener nggak sih kamu ngelakuin hal-hal kayak yang mereka bilang?”

Sifa menatap Ramadhan dan Azzana dengan mata berkaca-kaca, tapi dia mencoba menahan air matanya. “Nggak... Aku nggak pernah ngelakuin semua itu. Riska dan Amira yang bikin rumor ini,” jawab Sifa dengan suara gemetar. “Mereka fitnah aku.”

Ramadhan menghela napas panjang, jelas-jelas dia marah mendengar hal ini. “Kenapa mereka tega ngelakuin ini ke kamu?” tanya Azzana, terlihat cemas. Sifa cuma menggeleng. “Karena... Riska suka sama Denis, dan dia nggak suka lihat aku deket sama Denis.”

Hari-hari berikutnya, tekanan pada Sifa makin bertambah. Dia bahkan dipanggil ke ruang BK (Bimbingan Konseling) oleh Bu Andini, guru BK yang biasanya ramah dan pengertian. Tapi kali ini, tatapan Bu Andini dingin. Saat Sifa masuk ke ruang BK, ruangan itu terasa hening dan menegangkan. Bu Andini duduk di mejanya, menatap Sifa dengan ekspresi kecewa. “Sifa, kenapa kamu melakukan hal-hal seperti ini?” tanya Bu Andini tanpa basa-basi.

Sifa duduk di kursi yang ada di depan Bu Andini, merasa seluruh dunia menekan pundaknya. Dengan suara yang pelan tapi tegas, dia mulai menjelaskan semuanya. “Bu, saya nggak pernah melakukan itu. Semua yang ibu dengar cuma rumor yang disebarkan oleh Riska dan Amira. Mereka memfitnah saya karena masalah pribadi...”

Di tengah penjelasannya, Sifa mulai menangis. Air mata yang dia tahan selama ini akhirnya jatuh. Bu Andini, yang awalnya tampak kecewa, perlahan berubah lembut. Dia tahu Sifa adalah siswi yang baik, dan setelah mendengar penjelasan Sifa, dia percaya. “Sifa, saya tahu kamu siswi yang baik. Saya akan bantu kamu membersihkan nama baikmu. Jangan khawatir, kita akan atasi ini bersama,” kata Bu Andini sambil menepuk bahu Sifa dengan lembut.

Setelah pertemuan itu, perlahan-lahan rumor tentang Sifa mulai menghilang. Bu Andini berbicara kepada beberapa guru lain dan menyelidiki kebenaran dari rumor yang beredar. Tanpa banyak bicara, reputasi Sifa mulai membaik. Namun, rumor baru muncul—kali ini tentang hubungan Sifa dan Denis. Di kelas, keduanya jadi pusat perhatian. Setiap kali ada momen bersama, baik di kantin atau saat belajar, teman-teman sekelas selalu memerhatikan mereka dengan senyum-senyum. Bahkan beberapa berbisik-bisik, “Bucin banget sih mereka berdua...”

Meski kedekatan mereka membuat hati Sifa berbunga-bunga, di sisi lain Riska makin nggak tahan. Melihat Sifa dan Denis yang semakin dekat membuat Riska merasa panas dan geram. Dia memanggil Amira, sahabat yang selalu setia mendukung rencananya. “Kita harus labrak Sifa. Aku nggak bisa terima kalau dia terus-terusan deketin Denis,” kata Riska dengan nada penuh amarah.

Suatu sore, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Sifa masih berada di kelas. Dia harus menyelesaikan tugas piketnya sendirian karena giliran temannya tidak hadir hari itu. Sifa menyapu lantai kelas dengan santai, tak menyadari bahaya yang mendekat. Tiba-tiba, Amira dan Riska muncul di pintu kelas, wajah mereka penuh dendam.

“Sifa!” teriak Riska, suaranya memecah keheningan ruangan. Sifa menoleh kaget. “Apa maumu?” tanyanya dengan tenang, meski dalam hati dia merasa takut.

“Kamu berani-beraninya deketin Denis, padahal kamu tahu aku juga suka sama dia. Kamu pikir kamu lebih pantas dari aku?” kata Riska dengan nada menghina. Amira di belakangnya cuma tersenyum sinis.

Sifa menatap mereka berdua, kemudian dengan tenang menjawab, “Aku nggak perlu pembenaran dari kamu, Riska. Tapi kalau kamu mikir kamu lebih pantas dari aku, kenapa Denis nggak milih kamu?”

Kalimat itu menusuk hati Riska. Dia terdiam, matanya berkaca-kaca. Amira yang biasanya ikut menyerang kali ini juga nggak tahu harus berkata apa. Mereka nggak menduga Sifa bakal seberani itu. Dengan air mata yang mulai menetes, Riska menundukkan kepalanya.

Sifa selesai dengan tugas piketnya, lalu berjalan keluar kelas sambil menutup pintu di belakangnya. Riska dan Amira tetap berdiri di sana, tak berdaya, tapi dalam hati Riska menyusun rencana baru yang lebih jahat. Dia nggak akan berhenti sampai Sifa hancur.

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang