Bab 13: Ketenangan
Hari Sabtu, hari yang biasanya dinanti oleh banyak pelajar karena hari itu adalah waktu untuk beristirahat setelah seminggu penuh aktivitas sekolah. Tapi bagi Sifa, hari libur ini terasa berat. Seluruh minggu yang telah dilaluinya meninggalkan luka dan kepenatan luar biasa. Tak terasa, tubuhnya yang lelah membuatnya terbangun begitu siang.
Sifa membuka matanya perlahan, menatap jam di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul 12 siang. Dengan spontan, ia berteriak, “Astaghfirullah! Aku gak shalat subuh.” Ucapannya keluar bersama kepanikan yang tiba-tiba menyeruak di dalam dirinya. Dia segera bangkit dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Meskipun dia tahu bahwa waktunya sudah jauh terlambat, hatinya tidak bisa menahan rasa bersalah karena telah meninggalkan kewajiban yang seharusnya dia penuhi.
Setelah selesai mengambil air wudhu, Sifa melaksanakan shalat Dzuhur dengan khusyuk. Ketika dia mengangkat tangannya untuk berdoa setelah shalat, air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan. Doa-doanya kali ini terasa lebih dalam, lebih personal. Dia menumpahkan semua rasa sakit yang dia pendam selama ini kepada Tuhan.
"Ya Allah, cabutlah segala rasa sakit yang ada padaku. Berikan aku ketenangan, ya Tuhan. Aku sudah lelah hidup dengan rasa sakit hati ini. Tolonglah aku, ya Allah, agar aku bisa hidup tanpa terus-menerus dihantui oleh luka dan kesedihan," bisiknya, sambil terus menangis dalam doa.
Sifa berharap hatinya yang terluka bisa segera sembuh. Dia berharap bisa menemukan ketenangan di tengah badai yang terus menerpa kehidupannya belakangan ini.
---
Setelah shalat, Sifa mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia membersihkan kamar, membantu ibunya di rumah, dan sesekali mengecek telepon genggamnya. Namun, meskipun dia berusaha mengalihkan pikirannya dari semua masalah yang menghantuinya, bayangan tentang Denis dan Riska tetap saja hadir di sudut pikirannya. Rasa sakit itu belum benar-benar hilang.
Sore hari tiba. Waktu menunjukkan pukul 17:20, dan Sifa merasa perlu mencari pelarian dari semua yang terjadi. Dia memutuskan untuk pergi ke pantai. Pantai selalu menjadi tempat favoritnya untuk menenangkan diri, terutama saat matahari mulai terbenam. Ada sesuatu tentang senja yang memberikan rasa damai, seolah-olah segala masalah yang ada di dunia ini akan menghilang bersama cahaya matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala.
Sifa tiba di pantai ketika fajar mulai meredup, menyaksikan langit yang mulai berubah warna dari biru cerah menjadi oranye keemasan. Suara deburan ombak yang lembut, angin yang menerpa wajahnya, dan suasana senja yang tenang membuatnya merasa sejenak terlepas dari semua masalah.
Dalam hatinya, Sifa berbicara kepada dirinya sendiri, “Semoga semua berakhir dengan ketenangan. Aku gak mau terus-terusan sakit hati cuma karena satu laki-laki. Aku harus lebih serius dalam mengejar cita-citaku. Masa depanku jauh lebih penting dari perasaan yang sia-sia ini.”
Ia merenung sejenak, merasa bahwa keputusannya untuk melupakan Denis adalah langkah yang benar. Sifa tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan perasaan yang menyakitkan ini terus mengendalikan hidupnya. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan, dan dia bertekad untuk mencapainya, apapun yang terjadi.
---
Ketika malam tiba, Sifa sudah kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri dan makan malam bersama keluarganya, dia kembali ke kamar. Pikirannya mulai sedikit lebih tenang setelah sore yang menenangkan di pantai. Namun, tiba-tiba telepon genggamnya bergetar.
Sifa mengangkat ponselnya dan melihat sebuah pesan dari Denis. Hatinya langsung berdegup lebih cepat, dan perasaan campur aduk muncul di dalam dirinya. Apa lagi sekarang? pikirnya.
Pesan dari Denis hanya berisi satu kata sederhana:
Denis: Sifa, maaf...Sifa menatap layar ponselnya dengan ekspresi kosong. Hatinya kembali teriris. Setelah semua yang terjadi, setelah dia berusaha keras untuk melepaskan, kenapa Denis kembali dengan permintaan maaf yang sederhana?
Dia menarik napas panjang, mencoba menahan amarah dan rasa sakit yang kembali datang. Baginya, pesan itu hanya seperti mempermainkan hatinya sekali lagi. Dia tidak ingin terjebak dalam siklus yang sama. Dia sudah cukup lelah.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Sifa mengetik balasan:
Sifa: Cukup, Denis. Aku udah gak mau sakit hati lagi.Setelah mengirim pesan itu, tanpa ragu-ragu lagi, Sifa langsung memblokir kontak Denis. Dia tahu ini adalah langkah terbaik yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri. Cukup sudah. Dia tidak ingin lagi terjebak dalam perasaan yang tak berujung ini.
Setelah itu, Sifa meletakkan ponselnya di atas meja, lalu berbaring di tempat tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Tapi rasa sakit di hatinya kembali muncul, kali ini dengan perasaan jengkel.
"Kenapa sih dia? Kenapa selalu bikin harapan? Aku jengkel!" Sifa bergumam, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia tidak mengerti kenapa Denis terus datang kembali dengan pesan-pesan yang membingungkan. Kenapa Denis terus memberikan harapan yang sia-sia, padahal dia sudah dengan jelas memilih Riska?
Sifa mencoba mengalihkan pikirannya, tapi bayangan Denis dan semua kenangan yang pernah mereka miliki bersama tetap saja menghantui benaknya. Setiap kali dia berpikir bahwa dia sudah selesai dengan perasaan itu, Denis selalu muncul kembali dan menggoyahkan tekadnya.
---
Hari itu, Sifa mencoba untuk memaafkan dirinya sendiri. Dia tahu proses penyembuhan dari luka hati ini tidak akan mudah. Meskipun Denis mungkin tidak bermaksud jahat, Sifa merasa bahwa ini saatnya untuk benar-benar melepaskan segalanya. Dia berhak untuk menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa terus dibayangi oleh cinta yang tak terbalas.
Sebelum menutup matanya malam itu, Sifa berdoa lagi. Doa yang lebih tenang kali ini, meskipun di dalamnya masih ada sisa-sisa rasa sakit.
“Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk melupakan. Aku ingin menemukan ketenangan dalam hidupku. Aku ingin berhenti berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Tolong bantu aku melepaskan segalanya.”
Sifa tahu, perjalanan untuk menemukan ketenangan ini tidak akan mudah. Tapi dia bertekad untuk menjalani hari-hari ke depan dengan lebih kuat. Denis mungkin telah mengajarinya banyak hal tentang cinta dan rasa sakit, tapi dia yakin bahwa pada akhirnya, dirinya sendiri yang akan menemukan jalan untuk sembuh.
Dan di sanalah, malam itu, Sifa menemukan sedikit ketenangan di tengah semua kekacauan yang pernah terjadi di hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Belum Bisa Bersama
Teen Fiction"Saat Belum Bisa Bersama" mengisahkan tentang Sifa, seorang siswi kelas 8 di MTsN 2 Konan, yang diam-diam menaruh hati pada Denis, teman sekelasnya. Meskipun Denis sering meminjam pulpen dari Sifa dan membuatnya semakin baper, perasaan Sifa ternyata...