Cinta Monyet

58 17 7
                                    


---

Bab 1: Cinta Monyet

Di kelas 8 MTsN 2 Konan, kehidupan sekolah berjalan biasa-biasa saja. Tapi, buat Sifa, setiap hari di sekolah jadi momen yang bikin deg-degan. Alasannya? Denis. Cowok yang duduk tepat di belakangnya. Sifa udah lama banget suka sama Denis, tapi nggak pernah punya keberanian buat bilang. Dia cuma bisa ngerasain detak jantungnya berdegup kencang tiap kali Denis mendekat.

“Sif, pinjem pulpen dong,” kata Denis tiba-tiba, memotong lamunan Sifa suatu pagi. Suara Denis bikin Sifa kaget, tapi juga bahagia. Hampir setiap hari, Denis selalu pinjem pulpen ke Sifa, dan anehnya, Denis kayak nggak pernah bawa pulpen sendiri. “Nih,” jawab Sifa pelan, sambil menyerahkan pulpen barunya. Sebenernya, Denis nggak tau, tapi Sifa sengaja beli banyak pulpen biar bisa kasih ke Denis kapan aja dia butuh. Lebay? Mungkin. Tapi, siapa yang peduli? Yang penting, Denis butuh dia, setidaknya soal pulpen.

Nazwa, teman sebangku Sifa, sering kali nggak tahan buat nggak godain. “Sifa, bener nih nggak ada apa-apa sama Denis? Kok kayaknya kalian sering banget deket gitu, ya?” goda Nazwa sambil ketawa kecil. “Ih, apaan sih! Biasa aja kali,” jawab Sifa cepat, meski jelas-jelas mukanya memerah. Dalam hati, dia nggak bisa bohong kalau emang dia suka banget sama Denis.

Namun, ada yang lain di kelas itu yang nggak suka dengan kedekatan Sifa dan Denis. Riska, cewek dengan rambut panjang yang selalu tampil anggun, juga punya perasaan khusus ke Denis. Tapi, nggak kayak Sifa, Riska lebih terang-terangan. Dia sering coba cari perhatian Denis dengan cara-cara yang halus, kayak sok nanya PR, atau tiba-tiba bawa snack lebih buat dibagiin ke Denis. Tapi sayangnya, Denis selalu bersikap biasa-biasa aja ke Riska, dan itu bikin Riska mulai kesal. Apalagi sekarang, Denis lebih sering berinteraksi sama Sifa daripada dia.

Suatu hari, Riska duduk di bangku belakang kelas bareng sahabatnya, Amira, yang juga nggak suka sama Sifa. “Gue bener-bener nggak paham deh, kenapa Denis lebih milih deketin Sifa daripada gue,” kata Riska sambil meremas pensilnya dengan keras. “Padahal jelas-jelas gue lebih cantik, lebih pintar, dan lebih populer. Sifa tuh nggak ada apa-apanya.”

Amira, dengan tatapan liciknya, mendekatkan diri ke Riska. “Tenang aja, Ris. Kita bisa buat Denis menjauhi Sifa. Caranya gampang, kita kasih tau Denis hal-hal buruk tentang Sifa. Kita bikin seolah-olah Sifa itu cewek yang bener-bener fake.”

“Gue setuju!” jawab Riska, semangatnya kembali bangkit. Mereka mulai nyusun rencana. Riska bakal pelan-pelan menebar gosip kalau Sifa itu pembohong, suka ngambil barang orang lain, bahkan bakal bilang kalau Sifa sering ngomongin Denis di belakang. “Denis bakal jijik sama dia,” kata Riska yakin.

Sementara itu, di tengah rencana jahat itu, sekolah mengumumkan rolling tempat duduk. Semua anak heboh. Sifa agak cemas, takut pisah dari Denis. Tapi, begitu guru mengumumkan posisi baru, dunia Sifa serasa berhenti sejenak. “Denis dan Sifa, kalian duduk bersama di barisan tengah,” kata guru.

Sifa hampir nggak percaya dengan keberuntungannya. Senyumnya merekah lebar, sementara Denis cuma angkat bahu santai. Tapi Riska, yang sekarang duduk jauh di belakang, menggertakkan giginya. “Ini nggak bisa dibiarkan,” gumamnya dalam hati.

Hari-hari berlalu, dan Sifa semakin nyaman duduk sebangku dengan Denis. Meskipun Denis nggak menunjukkan perasaan apapun, Sifa tetep bahagia cuma bisa duduk di sampingnya. Kadang-kadang, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan saat mengambil buku, dan itu bikin Sifa terbang ke awan.

Namun, di sisi lain, Riska mulai menjalankan rencananya. Dia mulai bicara pelan-pelan ke beberapa teman sekelasnya tentang Sifa, dan nggak lama kemudian, gosip buruk mulai menyebar. Denis, meski biasanya cuek, mulai denger-denger rumor soal Sifa yang katanya suka ngomongin dia di belakang. Ada gosip kalau Sifa sebenernya suka ngegossipin semua orang, termasuk Denis.

Suatu hari, di kelas, Riska dengan pura-pura baik hati nawarin pulpen ke Denis. “Den, ini pulpen gue, kamu boleh pakai kalau mau,” katanya dengan nada lembut. Tapi Denis menolak, “Nggak, makasih, gue udah dapet dari Sifa.” Riska semakin geram.

Namun, Denis mulai merasa ada yang aneh. Setelah dengar semua gosip itu, dia mulai jaga jarak sedikit dari Sifa. Sifa merasakan perubahan sikap Denis, tapi dia nggak tau harus gimana. Sampai suatu hari, di jam istirahat, Denis akhirnya menghadap Sifa dengan wajah yang agak serius.

“Fi, gue mau nanya sesuatu. Lo beneran suka ngomongin gue di belakang?” tanya Denis tiba-tiba. Sifa terkejut, wajahnya memucat. “Apaan sih, Den? Nggak pernah! Siapa yang bilang gitu?”

Denis nggak langsung jawab, tapi dia jelas bingung. “Gue nggak tau harus percaya yang mana. Tapi belakangan ini banyak yang bilang hal-hal buruk tentang lo.”

Sifa mulai panik. “Denis, gue nggak pernah ngelakuin itu. Serius deh!” Sifa hampir menangis.

Tapi sebelum Denis bisa lanjut bicara, Riska datang, tiba-tiba berdiri di depan mereka dengan senyum penuh kemenangan. “Sifa, lo nggak perlu bohong lagi. Semua orang udah tau siapa lo sebenarnya.”

“Riska? Lo yang nyebar gosip ini?” tanya Sifa dengan suara yang bergetar.

Riska nggak menjawab, cuma tersenyum licik dan pergi begitu saja. Denis diam, sementara Sifa merasa dunianya runtuh. Dia nggak tau gimana cara menghadapi ini semua. Dan sekarang, Denis juga mulai ragu sama dia.

(Bersambung)

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang