Terpuruk dalam Kekecewaan

24 13 2
                                    

Bab 10: Terpuruk dalam Kekecewaan

Hari-hari berlalu dengan semakin berat bagi Sifa. Setelah percakapan terakhirnya dengan Denis, yang berjanji akan meluruskan semua rumor tentang hubungannya dengan Riska, Sifa berharap Denis benar-benar melakukannya. Namun, harapan itu dengan cepat pudar ketika kenyataan yang ia hadapi berbanding terbalik dengan apa yang dijanjikan Denis.

Sifa menyaksikan sendiri bagaimana Denis justru semakin dekat dengan Riska. Mereka terlihat sering bersama di sekolah, bahkan kabar beredar bahwa mereka pergi ke pasar malam bersama beberapa hari yang lalu. Suasana di sekolah semakin tidak bersahabat bagi Sifa. Setiap kali dia melihat Denis dan Riska tertawa bersama, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Bukan hanya karena isu yang salah, tetapi juga karena Denis, orang yang selama ini dia sukai, justru tampak menikmati kebersamaannya dengan Riska.

"Kenapa Denis jadi kayak gini?" batin Sifa dalam kesendirian. Setiap malam, air mata tak terbendung mengalir di pipinya. Hatinya terus-menerus dihantam kekecewaan dan rasa sakit. Bukannya meluruskan situasi, Denis malah semakin menunjukkan kedekatannya dengan Riska. Sifa merasa seperti dihianati dua kali: oleh Riska, yang dengan kejam memanipulasi situasi, dan oleh Denis, yang diam-diam ia harapkan dapat menjadi orang yang lebih baik.

Nazwa, yang selalu setia mendampingi Sifa, merasa tidak tahan lagi melihat sahabatnya menderita. Sebagai teman dekat, Nazwa merasa perlu melakukan sesuatu. Dia sudah berbicara dengan Denis, dan awalnya percaya bahwa Denis akan menyelesaikan masalah ini. Tapi ternyata, Denis justru terlibat lebih dalam dalam hubungan palsu ini dengan Riska.

Suatu pagi di sekolah, ketika Sifa sedang duduk termenung di bangku taman sekolah, Nazwa mendekat dan duduk di sampingnya. Sifa terlihat pucat, matanya bengkak karena terlalu sering menangis.

"Fa, kamu nggak bisa terus begini," kata Nazwa dengan suara lembut, namun penuh kekhawatiran.

Sifa menghela napas, matanya menatap kosong ke depan. "Aku nggak tahu lagi, Naz. Semua terasa salah. Aku benar-benar nggak ngerti kenapa Denis malah kayak gitu."

Nazwa merangkul bahu Sifa, mencoba memberi kenyamanan. "Aku juga nggak ngerti. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan ngerasa bersalah. Ini bukan salah kamu."

Sifa hanya terdiam. Di dalam dirinya, rasa sakit dan kecewa menumpuk semakin dalam. Dia tak bisa menepis perasaan bahwa semua ini terjadi karena dirinya-karena perasaannya pada Denis yang akhirnya membuatnya menjadi sasaran kebencian Riska.

---

Sementara itu, di sudut lain sekolah, Riska tengah berjalan santai bersama teman-temannya. Senyum lebar terus terpancar di wajahnya setiap kali ia melihat tatapan iri dari para siswa lain yang percaya bahwa dia dan Denis adalah pasangan. Dia senang menjadi pusat perhatian, dan meskipun dia tahu bahwa semua ini hanya berdasarkan rumor, dia tidak peduli.

Dia bahkan lebih puas saat Denis setuju untuk pergi bersamanya ke pasar malam beberapa hari yang lalu. Meskipun Denis tidak menunjukkan perasaan apa pun yang spesial, Riska tetap merasa bahwa kehadirannya bersama Denis sudah cukup untuk membuatnya terlihat menang di mata semua orang-termasuk Sifa.

Ketika Riska dan teman-temannya melewati koridor menuju kelas, Nazwa mendekat dengan langkah cepat. Wajah Nazwa merah penuh amarah, dan tanpa basa-basi, dia menghadang Riska.

"Riska! Kita harus bicara," seru Nazwa dengan suara keras, membuat beberapa siswa di sekitar mereka berhenti sejenak, menoleh, dan menonton.

Riska tersenyum kecil, tidak terpengaruh oleh amarah Nazwa. "Ada apa sih, Nazwa? Kok tiba-tiba nyerang aku gini?"

Nazwa menatap Riska dengan penuh kebencian. "Kamu pikir kamu bisa terus mainin perasaan orang? Aku nggak ngerti kenapa kamu seneng banget bikin Sifa menderita, tapi kamu udah keterlaluan!"

Riska mendengus, merasa bahwa situasi ini lebih lucu daripada serius. "Oh, jadi kamu bela si Sifa sekarang? Padahal dia yang terus-terusan ngarep sama Denis. Aku cuma kasih dia kenyataan kalau dia nggak pernah punya kesempatan."

Nazwa menggeleng, emosinya memuncak. "Kamu tahu ini bukan soal siapa yang 'punya kesempatan,' Ris! Ini soal kamu yang terus-terusan menyakiti orang lain demi kepuasanmu sendiri! Kamu tahu Denis nggak pacaran sama kamu, tapi kamu biarin semua orang percaya, dan kamu bikin Sifa makin sakit."

Riska mendekat ke arah Nazwa, tatapannya dingin dan penuh sinisme. "Dengar ya, Nazwa. Kalau orang-orang percaya aku pacaran sama Denis, itu bukan urusanmu. Dan kalau Sifa terluka, itu juga bukan masalahku. Lagian, Denis sendiri yang setuju pergi sama aku ke pasar malam. Kalau dia nggak peduli sama Sifa, kenapa aku harus peduli?"

Nazwa terdiam sejenak, mendengar kata-kata Riska yang membuatnya semakin marah. Dia tahu bahwa Riska dengan sengaja mempermainkan situasi ini. Tapi, di sisi lain, Nazwa juga tak bisa sepenuhnya membela Denis. Karena Denis juga berperan dalam memperburuk keadaan ini.

"Kalau kamu mau terus hidup dengan kebohongan, terserah," kata Nazwa dengan suara gemetar. "Tapi suatu hari, semuanya akan kembali ke kamu, Ris. Kamu nggak bisa terus-terusan mainin hati orang."

Riska tertawa kecil dan menatap Nazwa penuh percaya diri. "Kita lihat saja nanti, Naz. Yang penting sekarang, aku yang di atas. Dan Sifa? Dia cuma pecundang yang terlalu lemah buat melawan."

Nazwa memandang Riska dengan rasa muak. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Riska yang masih tertawa kecil dengan penuh kemenangan.

---

Setelah insiden itu, Nazwa kembali ke kelas dengan hati yang semakin berat. Dia merasa frustrasi dan kecewa, bukan hanya pada Riska, tetapi juga pada Denis yang seharusnya bisa menghentikan semua ini sejak awal. Di tengah kekacauan ini, Sifa semakin terpuruk. Setiap kali melihat Denis dan Riska, meskipun hanya dari kejauhan, luka di hatinya semakin dalam. Dia merasa seperti hidup di dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir.

Malam itu, setelah pulang sekolah, Sifa duduk di kamarnya, memeluk bantal sambil menatap kosong ke dinding. Air mata kembali mengalir di pipinya, dan untuk kesekian kalinya, dia bertanya-tanya apa yang salah dengan dirinya. "Kenapa semuanya harus begini?" bisiknya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Dia ingin melupakan semuanya. Ingin berhenti merasakan sakit ini. Tapi bayangan Denis dan Riska terus menghantuinya, membuat hatinya semakin hancur. Di saat-saat seperti ini, hanya Nazwa yang masih tetap ada di sisinya, memberikan dukungan yang tulus. Namun, rasa sakit yang Sifa rasakan terlalu dalam untuk bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata penghiburan.

Sifa merasa terjebak di dalam kegelapan, dan meskipun Nazwa terus-menerus berusaha menariknya keluar, Sifa sendiri tak yakin apakah dia bisa bertahan lebih lama lagi.

---

Hari-hari berikutnya, Sifa semakin menjauh dari keramaian. Ia lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, menjauhi teman-temannya, bahkan Nazwa. Setiap kali melihat Denis dan Riska, luka di hatinya semakin menganga. Semua orang di sekolah masih terus membicarakan rumor tentang Denis dan Riska. Tak ada yang tahu kebenaran, kecuali Denis sendiri, yang justru membiarkan rumor itu semakin merajalela.

Riska, dengan kemenangan palsunya, semakin sering tampil bersama Denis, seolah ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia telah berhasil mendapatkan "hadiah" terbesar di sekolah: Denis. Namun, bagi Sifa, setiap langkah Riska terasa seperti paku yang semakin menancap dalam di hatinya.

Di titik ini, Sifa tidak lagi merasakan sakit. Dia merasa mati rasa, tenggelam dalam keputusasaan yang dalam. Semua yang terjadi di sekitarnya seolah tak lagi berarti. Yang tersisa hanyalah perasaan hampa, tanpa harapan, dan keinginan untuk melarikan diri dari semua ini.

Namun, di tengah kegelapan itu, ada satu cahaya kecil yang masih menyala: Nazwa. Teman yang setia, yang meskipun lelah, tetap berusaha untuk mendukung dan menyelamatkan Sifa dari keterpurukan.

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang