Luka Baru

27 11 0
                                    

Bab 4: Luka Baru

Matahari pagi menyelinap melalui tirai jendela kamar Sifa, namun tak ada kehangatan yang menyentuh hatinya. Pikirannya masih terperangkap dalam kegelapan malam sebelumnya, di mana ia terjebak sendirian di kamar mandi sekolah hingga larut malam. Rasa takut dan panik masih menghantui setiap sudut benaknya. Tubuhnya terasa lelah, tetapi bukan hanya karena kurang tidur-hatinya jauh lebih lelah.

Pagi itu, Sifa berjalan ke sekolah dengan langkah gontai. Ia berharap hari ini bisa berlalu dengan cepat, tetapi hatinya terus diisi rasa cemas. Pikirannya melayang-layang memikirkan apa yang harus ia lakukan. Suara langkah kakinya yang menyentuh aspal seperti gema hampa yang menemani perjalanan panjangnya menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, ia merenungkan keputusan yang akan diambilnya hari ini.

Setibanya di sekolah, Sifa langsung menuju ruang Bimbingan Konseling (BK). Ibu Andini, guru BK yang selalu dikenal ramah dan pengertian, adalah satu-satunya orang yang ia percaya bisa memberinya sedikit rasa tenang. Jari-jarinya gemetar saat mengetuk pintu ruang BK, berharap bisa menemukan jalan keluar dari rasa sakit yang membebani hatinya.

"Masuk," terdengar suara lembut dari balik pintu.

Sifa membuka pintu dengan pelan. Ruangan itu terasa hangat, meski pikirannya masih diliputi rasa takut. Ibu Andini tersenyum saat melihat Sifa masuk, namun senyum itu segera memudar ketika ia melihat wajah murung Sifa.

"Sifa? Kamu kenapa, nak?" Ibu Andini bertanya lembut, penuh perhatian.

Sifa berdiri canggung di depan meja guru BK itu, mencoba menahan isaknya yang perlahan muncul kembali. Air mata menggenang di matanya, dan sekuat tenaga ia mencoba menahannya. Namun, rasa sakit di dadanya terlalu besar untuk disimpan lagi.

"Bu, saya... saya dikunci di kamar mandi kemarin. Sampai malam... Saya nggak tahu kenapa. Saya sendirian..." suaranya pecah di tengah kalimat, dan air matanya akhirnya jatuh.

Ibu Andini terkejut mendengar cerita Sifa. Dengan cepat, ia bangkit dari kursinya dan mendekati Sifa, merangkul bahunya dengan penuh empati. "Sifa, tenang dulu ya. Duduk sini, ceritakan pelan-pelan."

Sifa duduk di kursi di depan meja Ibu Andini, masih berusaha menenangkan dirinya. Ia mulai menceritakan semua yang terjadi kemarin-bagaimana ia terkunci di kamar mandi, dan bagaimana ia yakin bahwa Riska dan Amira adalah dalangnya.

Setelah mendengar penjelasan Sifa, wajah Ibu Andini berubah serius. "Terima kasih sudah cerita ke Ibu. Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ibu akan panggil Riska dan Amira ke sini. Jangan khawatir, Sifa. Kamu sudah sangat berani untuk datang dan mengadu. Ibu akan bantu kamu."

Tidak lama setelah itu, Riska dan Amira dipanggil ke ruang BK. Mereka berdua masuk dengan wajah acuh tak acuh, namun ada sedikit kepanikan di mata mereka. Riska melirik Sifa dengan tatapan tajam, sementara Amira hanya menunduk.

Ibu Andini memulai dengan tenang, tapi tegas. "Riska, Amira, Sifa sudah bercerita kepada Ibu tentang kejadian kemarin. Apakah kalian ada hubungannya dengan hal itu?"

Riska, dengan penuh percaya diri, menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Kami nggak tahu apa-apa tentang itu."

Amira mengikuti Riska, meski dengan suara yang agak gemetar, "Iya, Bu, kami nggak ngapa-ngapain."

Ibu Andini menghela napas panjang. "Sifa sudah memberi tahu Ibu apa yang terjadi, dan Ibu tidak mau ada yang saling menyalahkan di sini. Kalau kalian tidak mau mengaku, Ibu akan mencari cara lain untuk menyelesaikan ini. Tapi ingat, kebenaran selalu akan terbongkar. Ibu harap kalian tidak menyulitkan diri sendiri."

Suasana di ruangan itu menjadi tegang. Riska terlihat semakin gelisah, namun ia tetap mempertahankan wajah dinginnya. "Bu, saya sumpah nggak ngelakuin itu."

Sifa hanya duduk diam. Meski hatinya ingin membela diri lebih keras, mulutnya seolah terkunci. Ia tahu, apapun yang ia katakan tidak akan mengubah apapun. Riska dan Amira pasti tidak akan mengakui perbuatan mereka. Namun, ketika ia ingin beranjak pergi, tiba-tiba Amira mendorongnya dengan kasar.

"Jangan kabur, pengecut!" Amira mendesis, kemudian mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Sifa. Pukulan itu tepat mengenai wajah Sifa, membuatnya terhuyung ke belakang. Rasa sakit menjalar di pipinya, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih menyiksa.

Sifa tidak melawan. Ia hanya diam, menahan tangis yang hampir pecah. Riska tersenyum sinis, puas melihat Sifa tidak berdaya. Mereka berdua kemudian pergi, meninggalkan Sifa yang berdiri terpaku di koridor.

Dengan pipi yang memerah dan lebam, Sifa berjalan pelan menuju kelas. Semua orang di sekitarnya tampak sibuk dengan urusan masing-masing, tak ada yang peduli. Namun, saat Sifa sampai di kelas, teman-temannya-Ramadhan, Azzana, Nayla, Zacky, Wildan, Nazwa, dan An-Niswa-langsung memperhatikannya.

"Nggak, Sifa! Kenapa pipimu biru gitu?" tanya Ramadhan dengan cemas. Dia mendekat dan melihat lebih dekat, memastikan Sifa baik-baik saja.

"Apa yang terjadi? Kami lihat kamu keluar dari BK dengan wajah pucat," tanya Azzana, suaranya penuh kekhawatiran.

Sifa mencoba tersenyum, meski hatinya terasa hancur. "Nggak apa-apa, aku cuma kepentok meja," jawabnya pelan, berusaha menyembunyikan kebenaran.

Namun, teman-temannya tidak percaya. Nayla mendekat dan memegang tangan Sifa. "Kamu pasti tidak bohong kan? Kami bisa bantu kamu kalau ada masalah."

"Ya, kami bisa bantu! Kita bisa lakukan sesuatu untuk Riska dan Amira!" Zacky menambahkan semangat, seolah mencari cara untuk membantu temannya.

Wildan mengangguk, "Mungkin kita bisa ngomong sama guru tentang mereka. Ini nggak bisa dibiarkan."

Namun Sifa hanya menggelengkan kepala. "Nggak usah, teman-teman. Ini bukan masalah besar," ujarnya, berusaha menjaga perasaannya agar tidak terlihat.

Nazwa mengerutkan dahi. "Kamu tahu, Sifa, kami selalu ada buat kamu. Nggak ada yang berhak ngelakuin itu sama kamu. Kita harus bersatu," katanya tegas.

Akhirnya, An-Niswa berbisik, "Kita perlu bicarakan ini lebih lanjut. Sifa, kamu nggak sendirian. Kami semua di sini untukmu."

Sifa merasa sedikit tenang mendengar dukungan dari teman-temannya. Namun, hatinya masih berat memikirkan Riska dan Amira. Bagaimana jika mereka terus mengganggunya? Bagaimana jika mereka melakukan sesuatu yang lebih buruk?

Hari itu terasa lebih lama dari biasanya. Setelah bel pulang berbunyi, Sifa berjalan pulang dengan langkah berat. Sepanjang jalan, kepalanya dipenuhi kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Riska dan Amira. Di rumah, rasa takut mulai merayapi dirinya. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Apa yang akan mereka katakan?

Begitu sampai di rumah, Sifa langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Namun, ibunya memperhatikan sesuatu yang aneh. "Sifa, nak, kenapa pipimu biru begitu?" tanya ibunya dengan nada cemas saat melihat wajah Sifa yang lebam.

Sifa terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Ia tidak ingin membuat mamanya khawatir. "Aku tadi main di sekolah, Bu... Terus nggak sengaja kepentok meja," jawabnya pelan, suaranya bergetar.

Ibunya menatap Sifa dengan curiga, tetapi tidak mendesak lebih jauh. "Kamu hati-hati ya, lain kali. Kalau sakit, kasih tahu Mama."

Sifa hanya mengangguk, lalu segera masuk ke kamarnya. Setelah menutup pintu, ia jatuh terduduk di lantai. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir tanpa henti. Rasa sakit di pipinya seolah tak berarti dibandingkan rasa sakit di hatinya.

Dalam kesendirian, Sifa memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari kenyamanan yang tak kunjung datang. Kata-kata Riska terus terngiang di telinganya, menghantui pikirannya. "Denis nggak pernah suka sama kamu... Kamu itu cuma beban."

Hatinya terasa semakin hancur. Tidak ada tempat untuk berlari. Tidak ada yang bisa ia ceritakan. Sifa terperangkap dalam luka yang tak terlihat-luka

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang