Bab 6: Terperangkap dalam Kesunyian
Pagi itu, Sifa bangun dengan perasaan yang hampa. Setelah insiden di perpustakaan, dirinya semakin merasa terasing dari dunia. Semua yang pernah ia kenal—teman-teman, sekolah, bahkan keluarganya—seperti menjauh darinya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban yang tak kasat mata menggantung di pundaknya.
Ia melihat cermin di kamarnya. Lebam di pipinya belum sepenuhnya hilang, tetapi bukan itu yang paling menyakitkan. Luka di hatinya jauh lebih dalam, dan tidak ada yang tahu seberapa besar penderitaan yang ia simpan.
Dengan enggan, Sifa bersiap untuk pergi ke sekolah. Rasanya sekolah tidak lagi seperti dulu, tempat di mana ia bisa tertawa bersama teman-temannya. Sekarang, tempat itu menjadi ladang pertempuran, di mana ia harus bertahan melawan bisikan dan tatapan tajam yang menghujamnya tanpa henti.
Saat ia tiba di sekolah, suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Langit mendung seolah menggambarkan suasana hatinya. Sifa berjalan cepat melewati gerbang, berharap bisa menyelinap tanpa menarik perhatian siapa pun. Namun, bahkan di pagi hari pun, bisikan-bisikan itu sudah terdengar.
“Itu dia, Sifa…” “Kamu dengar nggak, katanya dia sengaja mendekati Denis untuk popularitas?” “Kasihan si Denis… jadi korban.”
Sifa berusaha menutup telinganya, tetapi kata-kata itu tetap meresap, seperti racun yang pelan-pelan merusak hatinya. Ia tahu siapa yang ada di balik rumor-rumor itu—Riska dan Amira. Setelah kejadian di kamar mandi, mereka tak berhenti menyebarkan kebohongan tentang Sifa, menciptakan cerita-cerita baru yang semakin membuatnya terpuruk.
Sifa masuk ke kelas dengan kepala tertunduk. Hari itu, ia merasa lebih kesepian dari biasanya. Bahkan, teman-teman dekatnya seperti Ramadhan, Azzana, Zacky, Wildan, Nazwa, Nayla, dan Anniswa, tak banyak bicara kepadanya. Mereka mencoba membantu, tetapi Sifa merasa terlalu jauh dari mereka, terperangkap dalam dunianya sendiri yang penuh dengan kesedihan.
Selama pelajaran berlangsung, pikirannya melayang jauh. Ia tidak bisa fokus pada apa pun yang diajarkan. Yang ada di kepalanya hanyalah rasa sakit dan pengkhianatan. Pengkhianatan dari teman-temannya, dari Denis yang dulu selalu mendengarkan, dan bahkan dari dirinya sendiri yang tak mampu melawan keadaan.
Ketika bel istirahat berbunyi, Sifa tidak bergerak dari tempat duduknya. Ia tidak punya keinginan untuk bergabung dengan teman-temannya. Hatinya terlalu lelah. Ramadhan, yang duduk di depan, menoleh dan mencoba mengajaknya berbicara.
“Sifa, kamu nggak apa-apa?” tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Sifa hanya mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski ia tahu senyumnya tidak meyakinkan. Ramadhan tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia ragu. Akhirnya, ia hanya berkata, “Kalau ada apa-apa, bilang saja ya.”
Sifa mengangguk lagi, meskipun ia tahu bahwa ia tidak akan pernah mengatakan apa pun. Terlalu banyak yang ia simpan sendiri, terlalu banyak rasa sakit yang tidak bisa ia bagikan.
Ketika istirahat berakhir, Sifa merasa lega karena tidak perlu lagi berpura-pura. Namun, rasa lega itu tidak bertahan lama. Saat jam pelajaran selesai, Riska dan Amira mendekatinya di teras kelas, dengan senyum sinis yang membuat perutnya mual.
“Hei, Sifa,” kata Riska dengan nada mengejek. “Kamu masih betah sekolah di sini?”
Sifa tidak menjawab. Ia menunduk, berusaha menghindari tatapan mereka. Namun, Amira tidak membiarkannya pergi begitu saja.
“Kenapa diam? Kamu takut? Oh, atau mungkin malu? Pasti malu, ya, setelah semua yang kita bilang tentang kamu? Semua orang tahu siapa kamu sebenarnya sekarang.”
Sifa merasakan amarah membuncah di dalam dirinya, tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya. Ia terlalu lelah untuk berdebat, terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya ingin pergi, menjauh dari mereka dan dari semua yang menyakitinya.
“Udah, Ris. Nggak usah buang waktu sama dia,” kata Amira sambil tertawa kecil. “Dia nggak akan berani bilang apa-apa. Sifa yang pengecut, kan?”
Riska tertawa, lalu keduanya meninggalkannya dengan puas. Sifa berdiri diam di tempat, berusaha menahan air mata yang sudah mendesak keluar. Ia tidak mau menangis di depan mereka, tidak mau menunjukkan bahwa ia terluka. Namun, hatinya sudah terlalu hancur untuk bisa bertahan lebih lama.
---
Saat pulang ke rumah, Sifa berjalan dengan langkah berat. Semua kejadian di sekolah seperti bayangan kelam yang terus menghantui pikirannya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa sakit itu semakin menumpuk, dan ia tidak tahu bagaimana cara melepaskannya.
Setibanya di rumah, ibunya sudah menunggunya di ruang tamu. “Sifa, kamu kenapa? Mama lihat kamu makin murung belakangan ini.”
Sifa tersentak mendengar suara ibunya. Ia tidak ingin ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak ingin menambah kekhawatiran di hati ibunya. “Nggak apa-apa, Ma. Sifa cuma capek,” jawabnya dengan suara pelan.
Namun, ibunya tidak mudah dibohongi. “Mama tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kalau ada masalah, kamu bisa cerita, Nak.”
Sifa terdiam. Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Ia menundukkan kepala, tidak sanggup menatap mata ibunya yang penuh kasih sayang.
“Ada apa, Nak? Ceritakan sama Mama,” kata ibunya lembut, duduk di samping Sifa dan merangkulnya.
Tangis Sifa pecah seketika. Semua beban yang ia simpan sendiri akhirnya keluar dalam bentuk air mata yang tak terbendung. “Ma… Sifa nggak kuat lagi… semua orang benci sama Sifa di sekolah. Mereka bilang Sifa… Sifa cuma manfaatin Denis…”
Ibunya terkejut mendengar pengakuan itu, tetapi ia tetap memeluk Sifa erat-erat, mencoba menenangkan hati putrinya yang hancur. “Oh, Nak… kenapa kamu nggak cerita dari awal?”
Sifa hanya bisa menangis dalam pelukan ibunya. Ia merasa begitu kecil dan tak berdaya, seperti terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak pernah berakhir.
---
Hari-hari setelahnya, Sifa semakin tenggelam dalam kesedihannya. Bahkan di rumah, ia merasa terisolasi, meskipun ibunya selalu ada di sisinya. Setiap malam, tangisannya selalu menemani tidurnya yang tak pernah nyenyak. Ia merasa dunia menolaknya, dan ia tidak tahu bagaimana caranya keluar dari kegelapan itu.
Namun, di suatu titik, Sifa menyadari sesuatu. Ia tidak bisa terus-menerus tenggelam dalam kesedihannya. Meskipun semuanya terasa hancur, ia harus bangkit. Tapi bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Belum Bisa Bersama
Teen Fiction"Saat Belum Bisa Bersama" mengisahkan tentang Sifa, seorang siswi kelas 8 di MTsN 2 Konan, yang diam-diam menaruh hati pada Denis, teman sekelasnya. Meskipun Denis sering meminjam pulpen dari Sifa dan membuatnya semakin baper, perasaan Sifa ternyata...