Di Balik Pintu yang Terkunci

28 12 0
                                    

Bab 3: Di Balik Pintu yang Terkunci

Hari itu hujan turun sejak pagi, seolah menggambarkan suasana hati Sifa yang sedang resah. Langit MTsN 2 Konan yang biasanya cerah kini gelap dan muram, penuh dengan awan hitam yang bergulung-gulung. Sifa duduk diam di bangkunya, memainkan pen yang baru saja ia beli. Denis, yang duduk di belakangnya, seperti biasa meminjam pen itu dengan senyuman singkat. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Denis tampak lebih dingin, tidak seperti biasanya. Sifa merasa ada jarak yang perlahan-lahan terbentuk di antara mereka, tapi ia tidak tahu kenapa.

Di sisi lain kelas, Riska dan Amira saling bertukar pandang penuh arti. Riska sudah menyiapkan rencana sejak beberapa hari yang lalu. Setelah melihat Denis semakin dekat dengan Sifa, rasa iri yang membara di dadanya tak bisa lagi ia bendung. Hari ini, ia akan menjalankan rencana terakhirnya—membuat Sifa benar-benar menderita.

Jam pelajaran terakhir berakhir. Para siswa bersiap pulang, namun Sifa merasa ada yang mengganjal di hatinya. Hujan semakin deras di luar, membuat suasana sekolah terasa semakin sepi dan dingin. Sebelum pulang, Sifa memutuskan untuk pergi ke kamar mandi terlebih dahulu. Dia tidak menyadari bahwa Riska dan Amira sudah memperhatikannya sejak tadi, mengikuti setiap langkahnya dengan senyum licik di wajah mereka.

Begitu Sifa masuk ke kamar mandi yang terletak di sudut sekolah, Riska dan Amira bergegas ke arah pintu. Dengan cepat, Riska mengunci pintu dari luar tanpa suara. Pintu kamar mandi itu berat dan jarang digunakan, jadi kemungkinan besar tidak ada yang akan menyadari jika seseorang terjebak di dalamnya.

Sifa tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ia membasuh wajahnya di wastafel, berharap air dingin bisa menenangkan kegelisahannya. Namun, ketika ia hendak keluar, pintu yang biasanya mudah terbuka terasa berat. Ia memutar gagang pintu dengan lebih kuat, tetapi tetap tidak bergerak.

Panik mulai menyerang. Sifa mencoba lagi, kali ini lebih keras. "Apa ini?" pikirnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia menggedor pintu, memanggil siapa pun yang mungkin berada di luar. "Halo? Tolong! Ada orang di luar?"

Namun, suara hujan yang menghantam atap sekolah menenggelamkan suaranya. Sekolah semakin sepi karena hampir semua siswa sudah pulang. Sifa mulai merasakan ketakutan yang semakin besar merayapi dirinya. Ia memukul-mukul pintu, mencoba memanggil lebih keras, tapi tetap tidak ada jawaban.

Sementara itu, Riska dan Amira berjalan meninggalkan sekolah dengan senyum puas di wajah mereka. Bagi mereka, ini hanya lelucon kecil untuk menakuti Sifa, tanpa memikirkan bagaimana perasaan gadis itu.

Di dalam kamar mandi, Sifa mulai menangis. Ia merasa semakin terjebak, sendirian dalam kegelapan yang semakin pekat. Jam demi jam berlalu, dan suasana sekolah menjadi semakin sunyi. Ia mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya, namun ponsel itu mati—baterainya habis. Air matanya semakin deras, membasahi pipinya yang sudah pucat. "Tolong... tolong siapa pun," isaknya, suaranya hampir tak terdengar. Perutnya mulai sakit karena ia belum makan sejak siang, dan tubuhnya mulai gemetar karena kedinginan.

Di rumah, orang tua Sifa mulai cemas. Biasanya, ia sudah pulang sebelum senja. Ibunya berkali-kali mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. "Sifa belum pulang, Yah. Kok nggak biasanya seperti ini?" tanya ibunya dengan nada khawatir. Ayahnya segera keluar rumah, mencoba mencari tahu keberadaan putri mereka.

Sementara itu, Sifa masih terjebak di kamar mandi sekolah yang gelap dan dingin. Langit di luar semakin gelap, menambah rasa takut yang terus menghantam dirinya. Ketakutan itu tidak hanya berasal dari tempat ia terjebak, tetapi juga dari rasa tak berdaya yang makin dalam menyelimuti hatinya. Ia mulai berpikir tentang semuanya—tentang Denis, tentang Riska, tentang kenapa semua ini terjadi padanya. Apa yang salah? Apa yang telah ia lakukan sehingga Riska begitu membencinya?

"Kenapa aku? Kenapa harus aku?" bisiknya pada dirinya sendiri di tengah isak tangis yang tak tertahan lagi. Tidak ada yang bisa mendengarnya. Tidak ada yang datang menolong. Ia merasa sendirian, benar-benar sendirian.

Jam menunjukkan larut malam. Sifa lelah. Air matanya sudah kering, tetapi rasa sakit di hatinya tidak berkurang. Ia berusaha menenangkan diri, namun setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Denis dan tatapan dinginnya tadi pagi terus menghantui pikirannya. "Mungkin... mungkin dia juga tidak peduli padaku," pikirnya. Rasa sakit itu semakin menyesakkan dada.

Di luar sekolah, satpam yang sedang berpatroli mendengar suara samar dari dalam gedung. Ia berjalan mendekati kamar mandi, mendengar suara tangisan yang teredam. Dengan cepat, ia membuka pintu yang terkunci.

Sifa terkejut ketika pintu itu tiba-tiba terbuka, cahaya dari senter satpam menyinari wajahnya yang basah oleh air mata. "Sifa? Kamu kenapa di sini?" tanya satpam itu terkejut. Sifa tidak mampu menjawab. Tubuhnya lemas, dan tangis yang ia coba tahan akhirnya pecah lagi. Satpam itu membantunya keluar, mendudukkannya di kursi di luar kamar mandi.

Malam itu, orang tua Sifa datang menjemputnya dengan cemas. Mereka memeluknya erat, dan Sifa, yang biasanya tegar, hanya bisa menangis dalam pelukan mereka. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya rasa sakit yang mendalam di hatinya. Rasa dikhianati, rasa sendirian, dan perasaan bahwa tidak ada yang peduli padanya terus menghantui pikirannya.

Di rumah, Sifa duduk di kamarnya yang gelap, memandangi jendela yang dipenuhi tetesan hujan. Air matanya terus mengalir, meskipun ia sudah mencoba berhenti. Ia merasa kecil, tak berdaya, dan terisolasi. Bahkan dalam keramaian, ia merasa sendirian.

Sementara itu, Riska duduk di kamarnya, tersenyum puas, tanpa menyadari bahwa yang ia lakukan bukan sekadar lelucon. Ia tidak tahu bahwa dirinya telah menghancurkan hati seorang gadis yang tidak bersalah. Hati Sifa mungkin tak akan pernah kembali seperti semula.

Saat Belum Bisa BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang