Bab 9: Kebenaran yang Tersembunyi
Sejak isu pacaran antara Denis dan Riska merebak di sekolah, suasana di sekitar mereka berubah drastis. Setiap sudut sekolah seolah dipenuhi bisik-bisik tentang "pasangan baru" ini. Teman-teman mereka mulai menganggapnya sebagai fakta, bahkan tanpa ada konfirmasi langsung dari Denis atau Riska sendiri. Siswa-siswa lain tampak semakin sering membicarakan hubungan mereka, sementara Denis dan Riska justru semakin jarang terlihat bersama.
Sifa, yang awalnya tidak mempercayai isu itu, kini merasa kebingungan. Setelah mendengar langsung dari mulut Riska bahwa dia telah "menang" dan melihat sikap acuh tak acuh Denis, Sifa merasa sakit hati. Dia merasa ditinggalkan oleh orang yang selama ini selalu ada di sisinya. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tetap berharap bahwa semua ini hanyalah salah paham. Namun, bagaimana bisa? Seluruh sekolah tampaknya yakin bahwa Denis dan Riska memang berpacaran.
---
Di sudut lain sekolah, Denis sedang duduk sendirian di bangku teras kelas, terdiam memandang buku catatannya yang terbuka namun tidak dibaca. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang segala yang terjadi beberapa minggu terakhir. Isu pacarannya dengan Riska telah menyebar begitu cepat, dan meskipun ia tahu itu tidak benar, Denis tidak tahu bagaimana menghentikannya. Awalnya, ia hanya mengabaikannya, berpikir bahwa rumor itu akan mereda seiring waktu. Namun ternyata, rumor itu justru semakin membesar, dan kini semua orang mempercayainya.
Denis menghela napas panjang, merasa berat dengan situasi yang dia hadapi. Ia merasa terjebak di antara rumor dan kenyataan. Bagaimanapun, ia tidak pernah benar-benar menjalin hubungan dengan Riska. Mereka hanya teman biasa, tapi karena beberapa kali terlihat bersama dalam kegiatan sekolah, orang-orang mulai salah paham.
Riska, di sisi lain, tampaknya tidak peduli dengan rumor tersebut. Malah, dia terlihat menikmatinya. Setiap kali rumor itu muncul, Riska hanya tersenyum penuh kemenangan, seolah-olah rumor itu memberinya status baru di sekolah. Dan yang paling parah, Riska menggunakan situasi ini untuk mempermalukan Sifa, yang jelas-jelas menyukai Denis.
Denis tahu bahwa rumor ini menyakiti Sifa, tapi dia terlalu bingung untuk tahu harus melakukan apa. Sebagai seorang remaja, ia tidak pernah membayangkan harus berhadapan dengan situasi seperti ini. Setiap kali ia ingin meluruskan masalah ini, Riska selalu mengalihkan perhatiannya atau membuat alasan yang membuatnya tidak nyaman.
---
Sementara itu, Riska sedang menikmati perhatian yang ia dapatkan dari rumor ini. Teman-temannya semakin sering memuji dan mengaguminya karena "berhasil" mendapatkan Denis. Namun, di dalam dirinya, Riska tahu bahwa hubungan mereka sebenarnya tidak seperti yang orang lain pikirkan. Dia memang ingin dekat dengan Denis, tapi bukan berarti mereka berpacaran. Rumor yang beredar hanyalah cermin dari keinginannya, dan meskipun dia tahu itu salah, Riska terus membiarkan gosip itu berkembang. Baginya, perhatian yang dia terima dari rumor ini adalah kesempatan emas untuk memperbaiki citra dirinya di sekolah.
Setiap kali dia melihat Sifa, ada perasaan puas yang tak bisa dia sembunyikan. Sifa terlihat semakin hancur setiap hari, dan itu membuat Riska merasa seolah-olah dia telah menang dalam sebuah permainan yang dia ciptakan sendiri. Tapi di balik kemenangan kecil itu, ada perasaan bersalah yang terus menghantui pikirannya. Dia tahu apa yang dia lakukan salah, tapi ego dan rasa iri membuatnya terus melangkah lebih jauh.
---
Nazwa, yang selalu setia berada di samping Sifa, merasakan ketidakadilan yang dialami sahabatnya. Dia tahu bahwa Sifa telah terluka parah oleh rumor tersebut, dan semakin hari semakin jelas bahwa Riska memanfaatkan situasi ini untuk membuat Sifa merasa rendah diri. Nazwa tidak bisa lagi tinggal diam. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Denis dan mencari tahu kebenaran dari semua ini.
Pada jam istirahat, Nazwa menemukan Denis sedang duduk di taman sekolah, sendirian seperti biasa. Nazwa mendekatinya dengan langkah tegas, hatinya penuh kemarahan dan frustasi. Ia harus mendapatkan jawaban.
"Denis," panggil Nazwa, membuat Denis menoleh dengan ekspresi terkejut.
"Nazwa? Ada apa?" tanya Denis, bingung melihat raut wajah Nazwa yang tampak serius.
Nazwa langsung duduk di sebelah Denis, tanpa basa-basi ia bertanya, "Aku mau kamu jujur. Kamu sama Riska, beneran pacaran?"
Denis terdiam sejenak, mengernyitkan kening. "Apa maksudmu?"
Nazwa menatap Denis dengan tajam. "Kamu tahu, kan, rumor yang beredar di sekolah? Semua orang bilang kalian pacaran. Dan Riska terus memamerkan itu di depan Sifa. Aku nggak tahan lagi ngeliat Sifa kayak gini. Jadi tolong, kasih tahu aku, sebenarnya apa yang terjadi?"
Denis menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya ke bangku dan menatap ke depan. "Aku sama Riska nggak pacaran, Nazwa. Itu cuma rumor. Aku nggak tahu kenapa semua orang percaya itu, tapi aku nggak pernah punya hubungan lebih dari teman sama Riska."
Nazwa terdiam, mencerna kata-kata Denis. "Jadi... kamu nggak pernah pacaran sama dia?"
Denis menggeleng. "Nggak. Aku nggak tahu kenapa Riska terus memainkan rumor ini. Setiap kali aku mau bicara soal ini, dia selalu bilang nggak usah dibahas, katanya biar orang berpikir apa yang mereka mau. Aku nggak nyaman dengan semua ini, tapi aku nggak tahu gimana cara menghentikannya."
Nazwa menatap Denis dengan rasa campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega bahwa Denis tidak benar-benar berpacaran dengan Riska. Namun, di sisi lain, ia marah karena Denis membiarkan situasi ini berlarut-larut, hingga menyakiti Sifa begitu dalam.
"Kamu tahu nggak, Denis?" kata Nazwa, suaranya mulai bergetar. "Sifa itu benar-benar terluka gara-gara ini. Dia nggak pernah cerita apa-apa ke kamu, karena dia selalu mikir kamu suka sama Riska. Padahal, selama ini dia terus berharap."
Denis terkejut mendengar hal itu. "Sifa... terluka?"
Nazwa mengangguk. "Iya. Dan kamu harus tahu, Riska bukan cuma menyebar rumor. Dia juga nyakitin Sifa. Dia pukul Sifa sampai pingsan kemarin."
Denis terdiam, wajahnya berubah pucat. Dia tidak menyangka bahwa situasi ini sudah sejauh itu. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Aku... aku nggak tahu, Nazwa. Aku nggak tahu harus gimana."
Nazwa berdiri, menatap Denis dengan tegas. "Kalau kamu beneran peduli sama Sifa, kamu harus berhenti diam. Kamu harus meluruskan semuanya sebelum semakin parah."
---
Hari itu, Denis memutuskan untuk berbicara dengan Riska. Setelah pelajaran berakhir, ia menunggu Riska di depan gerbang sekolah. Ketika Riska keluar bersama teman-temannya, Denis memanggilnya dengan nada serius.
"Riska, kita harus bicara," kata Denis tanpa basa-basi.
Riska menatap Denis dengan senyum penuh kemenangan. "Ada apa, Den? Mau ngomongin apa?"
"Kita nggak pacaran, Ris," kata Denis langsung. "Dan aku nggak suka kamu terus biarin rumor ini berkembang. Aku nggak nyaman."
Senyum Riska perlahan memudar. "Apa maksudmu? Bukankah semua orang udah percaya? Lagi pula, kenapa kamu harus keberatan? Kamu kan nggak dirugiin?"
Denis menggeleng. "Bukan soal itu. Ini soal Sifa. Kamu nyakitin dia, Ris. Dan aku nggak bisa diam aja."
Riska tersenyum kecil, tapi senyum itu terlihat pahit. "Oh, jadi ini semua tentang Sifa? Kamu lebih peduli sama dia daripada aku?"
Denis menatap Riska dengan tegas. "Ini bukan tentang memilih di antara kalian. Tapi aku nggak bisa biarin kamu terus-terusan bohongin semua orang dan menyakiti orang lain. Aku akan kasih tahu semuanya. Aku akan hentikan rumor ini."
Riska menatap Denis dengan tatapan marah. "Kamu mau ngancurin aku, Denis? Setelah semua ini?"
"Ini bukan tentang ngancurin siapa pun. Ini tentang kebenaran," kata Denis dengan suara tegas.
Riska terdiam, tak mampu membalas. Setelah beberapa detik yang terasa lama, Riska memalingkan wajahnya dan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Denis tahu, hubungan mereka mungkin tak akan pernah sama lagi. Tapi dia sudah mengambil keputusan. Dia tidak akan membiarkan kebohongan ini terus melukai Sifa dan dirinya sendiri.
Meskipun begitu, Riska pun masih....
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Belum Bisa Bersama
Teen Fiction"Saat Belum Bisa Bersama" mengisahkan tentang Sifa, seorang siswi kelas 8 di MTsN 2 Konan, yang diam-diam menaruh hati pada Denis, teman sekelasnya. Meskipun Denis sering meminjam pulpen dari Sifa dan membuatnya semakin baper, perasaan Sifa ternyata...