Alur sengaja dipercepat, ya. Spam 30 komentar berisi review cerita ini.
***
Sudah sepuluh tahun berlalu, namun kehidupan Azizah di Bogor tak banyak berubah. Di usia 28 tahun, ia masih tinggal bersama ibunya dan putra tampan yang dengan manis memanggilnya “Mama.” Meskipun wajahnya masih sama seperti dulu, waktu telah mengukir kedewasaan pada dirinya. Kehidupan sebagai seorang single parent membuatnya semakin tangguh. Selama dua tahun tanpa pendamping, Azizah harus berperan ganda—menjadi ibu sekaligus ayah bagi Bian, buah hatinya yang kini berusia lima tahun.Suatu sore, di tengah kehangatan rumah yang terasa begitu akrab, suara lembut Bian tiba-tiba memecah keheningan.
"Mama," panggilnya dengan nada penuh harap. Nama lengkapnya adalah Bian Darmono Erlangga, tapi ia lebih sering disapa Bian.
Azizah, yang tengah sibuk di dapur, menoleh dan tersenyum hangat. "Iya, Nak, ada apa?" tanyanya sambil mendekati Bian.
Namun, tatapan Bian yang redup dengan mata berkaca-kaca membuat Azizah merasa ada sesuatu yang salah. Tanpa banyak bicara, ia segera mendekat dan duduk di samping putranya, siap mendengarkan apapun yang mengganggu hatinya.
"Sayang, kenapa?" tanyanya lembut.
Bian menunduk, suaranya lirih ketika ia berkata, "Bian diejek sama teman-teman, Ma. Mereka bilang Bian anak yatim. Kenapa abi pergi ninggalin Bian duluan?" Wajah kecil itu mendung, dan air mata mulai menggenang, siap jatuh kapan saja.
Azizah merasakan sembilu di hatinya melihat kesedihan putranya. Tangan lembutnya terulur, mengusap rambut cokelat Bian dengan penuh kasih sayang. "Sayang, abi orang yang sangat baik. Itulah kenapa Allah memanggilnya lebih dulu. Kematian itu tak bisa kita hindari, semua orang pasti akan mengalaminya. Tapi jangan khawatir, Mama selalu ada buat Bian. Sekarang, bilang ke Mama, siapa yang berani mengejek Bian seperti itu?"
"Fadel sama Arkan, Ma," jawab Bian dengan polosnya, menatap ibunya dengan mata yang masih basah.
Azizah menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Bian, jangan menangis lagi, ya. Kalau mereka mengejek Bian, lawan saja. Kalau perlu, buat mereka yang menangis!" Azizah berkata sambil menghapus jejak air mata di pipi putranya.
Namun, Bian menatapnya dengan kebingungan. "Tapi kata Mama, kita gak boleh melakukan kejahatan..."
Azizah tersenyum kecil mendengar kepolosan putranya. "Iya, Sayang. Tapi melindungi diri sendiri itu bukan kejahatan. Kadang kita harus berani membela diri supaya orang lain gak semena-mena sama kita."
Mata Bian mulai berbinar, semangat kembali menyala di wajah kecilnya. "Oke, Ma."
Azizah menatap putranya dengan perasaan campur aduk. Dalam batinnya, ia berbicara pada suaminya yang telah tiada. "Mas, anak kita sudah sebesar ini. Maafkan aku kalau harus mendidiknya lebih keras. Semua demi kebaikan Bian."
Tiba-tiba, Bian mengalihkan perhatian Azizah lagi dengan sebuah pertanyaan tak terduga. "Mama, nanti sore kita ke makam abi lagi, ya?"
Azizah tersenyum kecil. "Kan baru kemarin kita ke sana. Bian mau curhat lagi sama abi, ya?"
Bian menyengir, menunjukkan gigi-giginya yang rapi. "Iya, Bian mau cerita kejadian hari ini. Terus Bian mau izin sama abi."
"Izin apa, Sayang?" tanya Azizah, sedikit penasaran.
Bian menunduk sejenak sebelum berkata dengan polos, "Izin kalau Bian punya abi baru. Abi ngizinin gak, ya?"
Azizah terdiam, kata-kata Bian seakan membekukan seisi ruang. Selama dua tahun ini, tak sekalipun ia terpikir untuk menikah lagi. Hidupnya hanya berputar di sekitar Bian—anak yang menjadi pusat dunianya, prioritas utamanya. Azizah menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya.
"Kok Bian bisa bilang begitu?" tanyanya, sedikit terkejut.
Bian tersenyum, memperlihatkan cengirannya yang khas. "Kata nenek, gak apa-apa kalau Bian punya abi baru. Tapi Bian harus izin dulu sama abi."
Azizah tertawa kecil, tapi dalam hatinya ia merasa sedikit gusar. "Ibu emang suka bicara sembarangan," gumamnya dalam hati.
Sore itu, langit di Bogor tampak berwarna oranye keemasan, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti seluruh pemakaman. Suara burung berkicau dari kejauhan menemani langkah kecil Bian yang beriringan dengan ibunya, menyusuri jalan setapak menuju makam sang ayah. Udara sejuk menyeruak, dan sesekali angin lembut mengibaskan jilbab yang dikenakan Azizah.
Makam suaminya berada di sudut yang tenang, dikelilingi oleh pohon-pohon rindang. Batu nisan sederhana menjadi penanda keabadian tempat suaminya beristirahat. Bian berjalan pelan, memegangi tangan ibunya dengan erat, sementara Azizah sesekali melirik putranya, memperhatikan setiap gerak-gerik Bian yang tampak lebih tenang dibandingkan saat di rumah tadi.
Setibanya di depan makam, Azizah berhenti dan melepaskan genggaman tangan putranya. Mereka berdua berjongkok perlahan di samping nisan, mencium bau tanah basah yang baru saja disiram hujan semalam.
"Abi, Bian datang lagi," suara Bian lirih memecah kesunyian. Bocah lima tahun itu menatap makam ayahnya dengan wajah polos namun penuh haru. Ia menggenggam bunga melati yang tadi dipetiknya dari taman depan rumah dan menaruhnya di atas nisan.
Azizah diam sejenak, membiarkan Bian berbicara kepada ayahnya dengan caranya sendiri. Ia merasa campuran rasa bangga dan sedih saat melihat anaknya tumbuh dewasa dalam situasi yang tak mudah.
"Bian mau cerita, abi," suara kecil Bian terdengar, sedikit gemetar. "Hari ini, teman-teman Bian ngejek. Mereka bilang Bian anak yatim. Bian sedih, kenapa abi harus pergi duluan?" Bian menghela napas pelan, matanya kini memandang nisan dengan penuh rindu. "Tapi Mama bilang, Bian harus kuat. Bian akan jadi anak yang hebat, abi."
Azizah merasakan air matanya mengalir tanpa bisa dicegah. Mendengar kata-kata putranya, ia tak kuasa menahan emosinya. Namun, ia tetap diam, membiarkan Bian berbicara tanpa mengganggu.
Bian terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan dengan suara pelan, "Abi, Bian juga mau tanya ... Kalau Bian punya abi baru, abi ngizinin gak? Bian cuma mau abi bahagia, gak marah."
Azizah yang mendengarnya langsung tersentak. Pertanyaan itu, yang sebelumnya dilontarkan di rumah, kini terasa jauh lebih nyata di tempat ini, di hadapan nisan suaminya. Hatinya bergolak, namun ia mencoba tetap tenang di depan Bian. Ia menatap nisan suaminya, berharap bisa merasakan kehadirannya dan mencari jawaban yang selama ini tak pernah ia pikirkan.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Bian menatap mamanya. "Abi pasti ngizinin kan, Ma?" tanyanya dengan polos.
Azizah tersenyum tipis, matanya masih berkaca-kaca. Ia mengusap lembut rambut putranya dan berkata, "Abi selalu ingin yang terbaik untuk kita, Sayang. Kalau itu membuat Bian bahagia, Mama yakin abi juga akan setuju."
Bian tersenyum lebar, merasa lega dengan jawaban ibunya. Setelah beberapa saat lagi terdiam di makam, Azizah mengajak Bian berdiri.
"Mari kita pulang, Sayang. Kita sudah curhat sama abi hari ini," ucap Azizah lembut, seraya menggandeng tangan putranya.
Bian menoleh sekali lagi ke arah makam ayahnya, lalu tersenyum kecil. "Sampai ketemu lagi, abi."
Dengan langkah pelan namun pasti, mereka meninggalkan makam, berjalan beriringan menuju kehidupan yang terus bergerak maju. Di hati Azizah, meski kenangan akan suaminya tetap hidup, ia sadar bahwa ada kemungkinan baru yang mungkin menanti di masa depan—dan semua demi kebahagiaan Bian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Sandyakala
RomanceOryza Sativa Azizah telah meninggalkan kota Pekanbaru selama sepuluh tahun dan rindunya terhadap kota itu terhapus dengan cara tak terduga. Ia menjadi istri pengganti dari sepupunya, bersatu dengan lelaki yang tidak ia duga sebelumnya. Apakah pernik...