Sepi banget woi lapak ceritaku ini. Enak kayaknya nih Hiatus setahun. Capek udah ngetik panjang, tapi banyakan jadi pembaca gelap. Sampai jumpa di chapter selanjutnya (setahun yang akan datang) haha
***
Pagi ini dipenuhi oleh omelan Dena terhadap anak gadisnya. Nandya hanya bersandar di tembok dan menatap ibunya dengan santai. Gadis berpakaian putih abu-abu itu sama sekali tidak merasa bersalah."Astagfirullah al-azim, Nandya," ujar Dena sambil mengusap dadanya dengan penuh kesabaran. Memiliki anak gadis satu ini selalu menguji amarahnya.
"Mama kenapa ada masalah, ya?"
Lihatlah, Nandya malah bertanya dengan wajah polos dan mengerjap-ngerjap agar terkesan imut. Padahal, kulkas begini gara-gara jus jeruk yang entah bagaimana bisa tumpah di dalam kulkas. Dena yakin pelakunya adalah Anandya Kesuma Putri, anak bungsunya sendiri.
"Kamu tuh, ya, Nan, hobi banget bikin Mama ngomel," ujar Dena sambil mengelap bagian dalam kulkas.
"Salah tanganku, Ma. Pas mau ambil apel, malah kesenggol jus jeruk," jawab Nandya.
Dena melanjutkan omelannya, membuat Nandya merasa badmood dan menolak untuk makan nasi, hanya mau makan apel. Arhan, kakaknya, hanya melihat dengan malas.
"Papa kapan pulang, Ma?" tanya Arhan. Ayahnya tersebut sedang di luar negeri sejak tiga hari yang lalu.
"In sya Allah, nanti siang, Ar. Ada apa?" tanya Dena sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Cuma mau tahu," jawab Arhan.
"Nanti kamu upacara, Dek. Mau makan nasi tidak?" tanya Dena lagi.
"Nggak mood, Ma."
"Kenapa? Karena tadi Mama ngomel?" tanya Dena.
"Nggak, Nandya lagi males sarapan aja," jawab Nandya.
"Oke, tapi jangan sampai pingsan ya," pesan Dena.
"Iya, Mama," jawab Nandya singkat.
"Nanti kalau kamu pingsan, abang bakalan ceburin di kolam," ancam Arhan, disambut dengan putaran mata malas dari Nandya.
Hari ini, Nandya resmi menjadi siswi SMA. Awalnya, ia ingin sekolah di tempat yang berbeda dengan Arhan, tetapi Dena memaksa agar mereka sekolah bersama. Meski tidak ikhlas, Nandya akhirnya menurut.
***
Memasuki tahun ajaran baru, Azizah kini resmi menempati bangku kelas 12. Sorot bahagianya terpancar jelas ketika ia melihat namanya tercantum di mading kelas 12 IPS 1, bersama Faiz dan Arhan."Kita sekelas ya, Za?" ujar Faiz, tanpa banyak membaca mading.
"Iya, Iz!" jawab Azizah, senang. Faiz tersenyum dan mengajaknya ke kelas 12 IPS 1 untuk menaruh tas dan bersiap-siap untuk upacara.
"Tapi, sedih deh harus sekelas sama mantan juga." Raut wajah Azizah mendadak murang membuat Faiz menepuk-nepuk pundak sahabatnya.
"Tenang aja, ada aku yang siap bantu kamu kalau dia buat ulah. Kita sama-sama geprek dia, ya." Faiz tersenyum membuat gadis itu mengangguk dengan semangat.
Sementara itu, Arhan baru saja meletakkan tasnya di meja. Senyum Azizah melebar melihatnya. Begitu Arhan pergi, Azizah segera menempatkan sekotak sandwich yang dibuatnya pagi tadi di atas meja Arhan.
"Ngapain, Beb?" tanya Faiz yang mendekat.
"Ngasih ini untuk Arhan," jawab Azizah sambil tersenyum.
"Aku nggak?" Faiz berkelakar.
"Ada, bentar ya, aku ambil."
Azizah mengambil satu lagi sandwich dan memberikannya kepada Faiz.
"Terima kasih, Beb," kata Faiz sambil riang memasukkan sandwich itu ke dalam tasnya, lalu menyimpan pemberian Azizah.
"Yuk, ke lapangan. Bentar lagi upacara. Mana topimu?"
"Bentar." Azizah mengambil topinya di dalam tas.
"Sini aku pakein."
"Cih, sok romantis banget si bebek satu ini," cibirnya membuat Faiz terkekeh.
Faiz memasangkan topi itu dengan hati-hati di kepala Azizah. Setelah, keduanya mengenakan atribut mereka dengan sempurna. Mereka lalu berjalan santai ke lapangan.
"Kenapa, ya, Iz? Abang tukang nasgor, kalau aku liatin pas masak, nggak ada grogi-groginya. Padahal, aku udah cantik banget," ucap Azizah sambil membuat Faiz tertawa geli. Azizah memang orang yang terlalu percaya diri, meski sebenarnya tidak jauh beda dengan Faiz.
"Ya, karena kamu nggak pernah dianggap ada sama si abang."
Jawaban Faiz membuat Azizah mendelik sebal. Gadis itu langsung mencubit perut Faiz sambil menatapnya tajam.
"Aduh ... ampun, Beb! Astagfirullah, sakit ini loh!"
Azizah melepaskan cubitannya dan tersenyum puas melihat wajah Faiz memerah karena kesakitan.
"Kamu juga aneh, Beb. Harusnya nanya langsung ke tukang nasgornya!"
"Benar juga, ya! Besok, aku tanyain deh waktu beli nasi goreng," kata Azizah sambil tersenyum lebar. Gadis itu mempercepat langkahnya menuju lapangan, meninggalkan Faiz sendirian.
"Aku jadi kepikiran, Blok," ujar Faiz, lalu berlari untuk menyusul Azizah, ingin menjitak kepala gadis itu sebelum sampai di barisan.
***
Lapangan telah dipenuhi oleh keramaian. Para siswa tertata rapi membentuk formasi U yang melingkar. Guru di ujung kanan, dengan kelas 12 berhadapan langsung dengan kelas 10. Arhan berdiri di posisi ketiga, namun tetap dapat melihat adiknya yang berada di barisan pertama. Azizah, yang baru saja tiba, langsung ditarik oleh seseorang untuk bergabung di barisan depan. Gadis itu menghela nafas kecewa; meskipun bermaksud untuk berdiri berdampingan dengan Arhan, namun usahanya gagal."Iya-iya aku di depan. Gausah narik-narik deh. Kamu pikir aku kambing berbulu serigala," kesal Azizah membuat siswi berkuncir kuda itu menyengir.
"Gausah nyengir!" Azizah menatap dengan tajam membuat gadis itu sedikit takut dengannya.
"Maaf," lirihnya.
Upacara berlangsung hikmat, tetapi ketika pembacaan UUD 1945. Ada siswi dari kelas 10 pingsan. Arhan yang melihat itu langsung berlari ke arah siswi yang pingsan tersebut. Tentu saja, menjadi sorotan banyak orang. Mereka tak menyangka, Arhan yang dingin kepada perempuan kini menggendong siswi kelas 10 ke UKS.
"Rasanya sakit banget, tapi aku nggak punya hak untuk cemburu," lirih Azizah sambil menatap sosok Arhan.
Kericuhan sudah teratasi. Sebab, anggota osis langsung mengintruksikan untuk para siswa agar kembali mengikuti upacara dengan tertib.
"Aku ngerasa kamu spesialkan Ar, tapi ternyata bukan cuma aku yang kamu spesialkan, ya," batin Azizah sambil menghapus air matanya.
"Seharusnya, cuma bilang 'yaudah mau gimana lagi, orang nggak pernah dianggap' sambil nyetel lagu galau."
Azizah heran dirinya sendiri karena harus meneteskan air mata seperti ini, ketika melihat Arhan menggendong perempuan lain. Perasaannya terluka seperti saat ia menyaksikan Arhan menggendong perempuan lain, hatinya sakit sama seperti melihat Arhan saat itu dipeluk oleh seorang perempuan di pusat perbelanjaan beberapa waktu lalu.
"Kalau aku nggak salah liat itu cewek yang pernah meluk Arhan di mall. Apa itu emang pacarnya Arhan?"
Dalam kepalanya, Azizah dipenuhi oleh berbagai asumsi yang tak terhitung jumlahnya, hingga membuatnya merasa pusing yang amat sangat. Tanpa diduga, penglihatannya menjadi kabur, dan hanya dalam beberapa detik kemudian, ia pun tak sadarkan diri. Lelaki tampan yang berdiri di sebelahnya terkejut melihat Azizah tidak sadarkan diri.
"Azizah!" pekiknya membuat Faiz yang berjongkok di barisan belakang langsung berdiri.
"Za, bangun! Za!" Seruan itu tidak mendapatkan respon dari gadis berambut sebahu tersebut, mendorong lelaki itu untuk menggendong Azizah dan bergegas membawanya ke UKS. Saat Faiz hendak menyusul, langkahnya dihalangi oleh OSIS, menyebabkan rasa kesal yang jelas terpancar dari ekspresinya.
"Kamu kenapa, Beb?" Faiz sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Sandyakala
RomanceOryza Sativa Azizah telah meninggalkan kota Pekanbaru selama sepuluh tahun dan rindunya terhadap kota itu terhapus dengan cara tak terduga. Ia menjadi istri pengganti dari sepupunya, bersatu dengan lelaki yang tidak ia duga sebelumnya. Apakah pernik...