Prolog

282 19 1
                                    

Hujan lebat disertai suara petir bergemuruh pun kilat menyambar langit, seolah tengah menjelaskan bagaimana hatinya hancur dibaluti amarah seorang gadis yang kini berteriak ditengah jalan raya.

Menulikan pendengarnya pada orang-orang yang menyuruhnya beranjak dari sana.

"Kenapa selalu Mischa yang lo perhatiin?!" Tubuh ramping bergetar akibat amarah memenuhi dadanya, "Gue yang sayang sama lo sialan! Gue tulus sama lo, tapi kenapa cuma dia yang lo liat!" pekiknya keras seakan hanya ada dia disana.

Ghea tidak peduli dengan apapun, tidak peduli orang-orang menilainya seperti apa.

"Apa sih istimewanya cewek kampungan itu!"

"Ghea!"

"Ghea, awas di depan lo..."

Samar-samar telinganya menangkap teriakan seseorang menyerukan namanya ditengah hujan yang kian menderas.

Suara itu tidak asing.

Karena penasaran Ghea menoleh disaat itu pula matanya membulat sempurna dengan degup jantung yang berpacu kuat.

Ghea semakin panik kakinya tidak bisa digerakkan seolah tertancap diaspal yang ia injak sementara mobil tersebut kian dekat.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain memejamkan mata bersiap mobil itu menghantam tubuhnya.

Disaat bersamaan Ghea merasakan seseorang menarik tangannya detik berikutnya tubuhnya didorong kuat ke pinggir jalan sampai ia terjatuh.

BRAKK

CIITTT

Otaknya yang masih mencerna apa yang terjadi itu mendadak kosong, matanya bergulir ke arah tubuh yang terlempar beberapa meter dari jaraknya.

Air hujan yang berwarna bening itu berubah menjadi merah.

Ghea dengan susah payah berdiri menggunakan kakinya yang lemas, ia penasaran siapa sosok penolongnya.

Ia merasa mengenal sosok tersebut, dengan perasaan cemas Ghea berjalan ke arah kerumunan orang-orang.

"Minggir, gue mau lewat!" Seolah mengerti dirinya mereka memberi Ghea jalan.

Jantung Ghea seakan berhenti berdetak ketika melihat tubuh bersimbah darah itu, melangkah pasti sampai di depan orang itu.

Mata Ghea kabur entah karena air hujan atau air matanya tanpa sebab dadanya terasa pengap.

"Rava... BANG RAVA!" Ghea berlutut memeluk Rava tidak memedulikan bajunya yang ikut terkena darah.

"Bang sadar, bang sadar! Lo dengar gue kan! Gue bilang buka mata lo sialan!" Ghea menepuk-nepuk pipi Rava berharap mata yang tertutup rapat itu segera terbuka.

"Lo nggak boleh mati! LO NGGAK BOLEH NINGGALIN GUE RAVA!"

Isak tangis Ghea semakin keras saat tak mendapat kan respon sosok abang yang selama ini ia abaikan.

Perasaannya campur aduk segala perasaan sakit tumpah oleh tangisan untuk pertama kali dalam hidup Ghea dirinya merasakan perasaan ini.

"Kenapa lo nyelamatin gue? Kenapa..." suaranya melemah, meletakkan kepala Rava di pangkuannya.

"Gue benci lo, gue benci! Lo nggak boleh gini, nggak boleh..."

Tak berselang lama terdengar suara ambulance, Ghea menatap kosong petugas yang membawa tubuh tak bernyawa Rava.

Saudara kandungnya.

🦋🦋

I'm Not A VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang