00.02

177 15 1
                                    

"Ugh kenapa... kenapa gue nggak berani ketemu abang bahkan menatap matanya" Ghea menelungkupkan kepalanya di atas bantal yang bertumpu di lututnya.

Hati Ghea masih saja sakit, ia pikir dengan melihat Rava hatinya bisa tenang namun sebaliknya ia malah semakin sedih dan bersalah.

Ghea merasa dirinya yang seorang penjahat ini bahkan tak layak untuk bertemu Rava yang sudah menyelamatkan nyawanya di kehidupan sebelumnya.

Tak lama setelahnya terdengar suara ketukan pintu, Ghea segera menghapus air matanya dan keluar untuk memastikan siapa yang ada di luar.

Dan ternyata pelayan di rumahnya.

"Ada apa bi?" tanya Ghea dengan nada ketus seperti biasanya.

Wajah pelayan itu tertunduk takut dengan tangan gemetar, "m-maaf non mengganggu waktunya tapi bibi cuma ingin bilang den Rava sudah menunggu non untuk sarapan dibawah."

Mendengar nama Rava hati Ghea kembali sesak, "baik bi terima kasih sudah memberitahu."

Wajah pelayan itu sontak membelalak apa ia tidak salah dengar, Ghea mengucapkan terima kasih?

Tanpa melihat ke arah pelayan yang kebingungan tersebut Ghea segera turun untuk pergi ke meja makan, yang dimana Rava sudah ada di sana.

Jika ditanya kemana orang tua mereka maka jawabannya orang tua mereka sedang bekerja di luar kota.

Ghea berhenti melangkah melihat Rava yang sudah duduk anteng di meja makan, mengabaikan air matanya yang kini kembali terjatuh Ghea menghampiri meja makan tersebut.

Rava tak melihat kearah Ghea, fokusnya saat ini hanya pada piring berisi makanan di hadapannya. Meskipun ia tau berapa kali pun ia meminta pelayan untuk memanggil Ghea untuk sarapan bersama, gadis itu tak akan mau sarapan bersamanya.

Namun saat mendengar suara langkah kaki yang berjalan kearahnya Rava langsung menoleh dengan pandangan terkejut, "d-dia sungguh datang." gumamnya dengan suara pelan hampir tak terdengar.

Sementara itu Ghea langsung duduk di hadapan Rava, mengambil peralatan makan dan makan dengan tenang namun wajahnya penuh ketakutan.

Keterkejutan Rava menjadi sirna sebab Ghea seperti enggan menatap ke arahnya, mungkin saja dia ke sini hanya untuk sarapan saja dan tidak menganggap Rava ada di sini.

Rava ingin mengucapkan sesuatu tetapi mulutnya terasa kaku.

"Gue udah selesai makan." ucap Rava yang langsung bangkit dari kursinya.

Ghea terdiam, garpu dan pisau yang ia pegang langsung terlepas begitu saja... Ia berlari menghampiri Rava dan memeluknya dari belakang. Jantung Rava berdentum kencang bukan tanpa sebab tapi karena kaget dengan apa yang dilakukan Ghea.

Ghea menangis sambil memeluknya? Apa yang sebenarnya terjadi?

Setelah beberapa saat Rava membalikkan badannya, dengan tangan yang gemetar ia meraih bahu Ghea dengan kedua tangannya.

"Apa yang terjadi?" Rava bertanya.

Ghea tersadar, bukannya menangis ia justru berlari berlari pergi... membuat Rava merasa aneh dan bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya yang hanya berbeda umur satu tahun dengannya itu?

Namun ia tak bisa berhenti memikirkan saat-saat Ghea memeluknya untuk pertama kalinya selain saat mereka masih kecil dulu.

"Gue nggak seharusnya berharap... ini semua salah gue, gue yang buat dia jadi seperti sekarang ini." Rava mengepalkan erat tangannya saat perasaan bersalah kembali muncul di hatinya.

Karena perasaan bersalah itulah Rava tidak mengejar Ghea karena tau itu akan membuat hati Ghea semakin sakit dan semakin membenci dirinya.

🦋🦋

I'm Not A VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang