00.05

824 67 13
                                    

Ghea mondar-mandir saat Rava tak kunjung pulang, berkali-kali ia melirik kearah jarum jam yang bergerak lambat. Berkali-kali pula helaan nafas keluar dari mulutnya, tubuhnya bersandar di sofa berwarna cream dengan perasaan khawatir. Padahal hari sudah semakin malam mengapa tak ada tanda-tanda kepulangan Rava... bagaimana jika Rava meninggal sebelum waktunya.

TV yang menyala di depannya tak ia pedulikan.

Hingga terdengar suara pintu terbuka, ia lantas berdiri dari tempat duduknya dengan terburu-buru.

"Abang!"

Rava tersentak saat Ghea berlari  memeluknya, namun tak ia lepaskan justru mengeratkan pelukan adiknya tersebut.

"Astaga kok bisa Abang babak belur gini?!" omel Ghea menyentuh pipi Rava yang penuh lebam.

Rava mengambil tangan Ghea yang khawatir "ini nggak sakit kok..." katanya menenangkan.

"Tunggu bentar gue ambilin obat, Abang tunggu disana saja ya!" Ghea menunjuk sofa menyuruh Rava untuk duduk terlebih dahulu.

Rava hanya mengiyakan menuruti perintah adiknya, kemudian melangkahkan kakinya ke arah sofa, dan tak lama Ghea datang membawa kotak obat.

Rava senang dengan perubahan adiknya, hatinya yang biasanya di penuhi rasa sesak ketika melihat sang adik, kini berubah menjadi kebahagiaan dan harapan untuk terus menjaganya.

"Ssh!" Rava meringis saat Ghea menyentuh pipinya yang lebam.

"Tahan bang sakit sedikit ntar sembuh kok."

🦋🦋

Disisi lain Inti Zervanos sedang berkumpul di markas mereka setelah melakukan pengobatan untuk Steve dan yang lainnya di rumah sakit.

Steve masih sangat marah akibat kekalahan mereka, ia hanya diam tak berkutik di saat teman-temannya sibuk membicarakan hal lain.

Bukan tentang kekalahan mereka tadi, justru mereka membicarakan Ghea, apa mereka tidak kesal karena kekalahan tadi?!

Jujur telinga Steve sakit mendengar nama Ghea terus terucap dari bibir mereka semua dalam seminggu ini, namun ia tak ingin pergi dari sana seperti ada sesuatu yang menahannya untuk terus mendengarkan.

"Udah seminggu lebih Ghea nggak nyamperin si Steve, berarti dia benar-benar berubah dong ya?"

"Elah palingan itu trik dia doang buat narik perhatian Steve" timpal Brian.

Jika boleh jujur, di hati paling dalam Steve ia merasa senang dengan ucapan Brian, yah Ghea masih mencintainya dan tidak akan mungkin melepaskan nya begitu saja, secara Ghea sudah tergila-gila bahkan cinta mati padanya.

"Lo lupa seminggu yang lalu dia nonjok Steve?" ujar Rizkan sambil memukul belakang kepala Brian.

"Sialan! Sakit bego."

Tangan-tangan Steve mengepal kuat, pupus sudah rasa percaya dirinya tadi di gantikan rasa malu saat mengingat yang di lakukan Ghea waktu itu.

"Mau kemana bos?" tanya Janshen melihat Steve berdiri dari posisi duduknya.

"Cari angin segar!"

Drrrt

Steve menghentikan langkahnya, merogoh ponsel dari sakunya melihat siapa yang menelpon. Jika biasanya ia akan senang saat kekasihnya itu menelpon namun berbeda dengan kali ini, ia seperti mengharapkan bukan Mischa yang menelponnya.

Padahal biasanya Ghea lah yang terus mengganggu dirinya, pagi, siang, maupun malam, Spam chat bahkan deretan panggilan tak terjawab tak pernah absen sehari pun.

I'm Not A VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang