Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sinar mentari pagi menerobos tirai jendela, membangunkan Narael dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran. Ketika tangannya meraba sisi tempat tidur yang lain, ia terperanjat tidak ada Erina disampingnya. Suara gemerisik lembut dari arah kamar mandi menarik perhatiannya.
Narael bangkit, rambut hitamnya yang berantakan jatuh menutupi sebagian matanya. Ia melihat Erina yang sudah berpakaian rapi, sibuk menjejalkan beberapa dokumen ke dalam tasnya. Wajah cantik istrinya itu terlihat sedikit panik dan terburu-buru.
"Er?" panggil Narael, suaranya masih serak oleh kantuk. "Mau kemana?"
Erina berbalik, matanya melebar saat melihat Narael sudah bangun. "Oh, Na. Maaf ganggu tidur lo, gue ada shift pagi mendadak," jawabnya sambil melirik jam tangan.
Narael merengut, alisnya bertaut dalam ekspresi kecewa. "Kenapa gak bangunin gue lebih cepat sih?" tanyanya, nada suaranya sedikit merajuk.
Erina menghela napas, tangannya masih sibuk merapikan rambutnya yang tergerai. "Lo itu baru pulang jam 3 pagi, Na. Masa udah gue bangunin?"
"Ya gak apa-apa Er," Narael bangkit dari tempat tidur, berjalan mendekati Erina. Tangannya terulur, ingin membantu merapikan kerah baju Erina yang sedikit terlipat. "Gue dengan senang hati lo repotin."
Erina tersenyum lembut, namun menggeleng pelan. "Gak ya, Na. Gue bisa berangkat sendiri hari ini."
Walau Erina sudah berusaha menenangkannya, Narael masih merasa dongkol. Ada rasa tidak rela di hatinya melihat istrinya itu tidak meminta bantuannya. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan keinginan untuk memaksa.
"Gue bisa kok anterin lo sekarang," ucap Narael, suaranya sedikit memaksa. Matanya menatap Erina penuh harap.
Namun Erina kembali menggeleng, tangannya kini menangkup wajah Narael dengan lembut. "Istirahat, Na. Lo bisa jemput gue nanti," ujarnya, suaranya penuh pengertian.
Narael menghela napas panjang, akhirnya mengalah atas keputusan Erina. Bahunya sedikit merosot, tanda ia menyerah. "Oke deh. Tapi kabarin gue ya kalau lo pulang."
Erina mengangguk, senyumnya melembut. "Pasti. Gue berangkat ya," ia berjinjit, mengecup pipi Narael sekilas. "Oh iya, sarapan udah gue siapin di meja. Jangan lupa ajak Alana juga sarapan."
Saat Erina hendak melangkah pergi, Narael tidak bisa menahan diri. Ia menarik Erina ke dalam pelukannya, menghirup dalam-dalam aroma floral dari rambut istrinya itu. Erina terkesiap, namun tidak menolak pelukan itu.
"Na..." Erina berbisik lembut, tangannya menepuk punggung Narael. "Udah ya, gue bisa telat nih."
Narael mengeratkan pelukannya sejenak sebelum akhirnya melepaskan Erina dengan enggan. Matanya menatap Erina lekat-lekat, seolah ingin terus menahan Erina agar tetap di depannya.
"Hati-hati ya," ucap Narael lembut, tangannya masih menggenggam tangan Erina.
Erina mengangguk, memberikan senyuman terakhir sebelum akhirnya melangkah keluar kamar. Narael berdiri diam di ambang pintu, memandangi punggung Erina yang menjauh. Ada rasa berat di hatinya, seolah sebagian dirinya ikut pergi bersama Erina.