Nadia Mahira

12 9 1
                                    

Yuhuuuu, tegang amat buk, pak yang baca😂, gimana gimana masih mau mendambakan fikri hm?, eits tidak masalah fikri baik kok😘, yuk seperti biasa jangan lupa follow, vote dan share ke temen temen kalian yaw biar bisa baca juga🥰.

❤😘Happy Reading guys😘❤
.
.
.
.
.
.

Merelakan seseorang yang kita cintai itu sangatlah sakit.
Sebab kata ikhlas itu bohong.

_Nadia Mahira_


Keesokan paginya, ponsel Zahra bergetar, menandakan ada pesan masuk. Itu dari Nadia, perempuan yang sebelumnya mengirimkan pesan misterius kepada Zahra. Pesan singkat namun jelas,

"Kita bisa ketemu hari ini. Di mana tempat yang nyaman menurutmu?"

Zahra menatap pesan itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Setelah berpikir sejenak, ia membalas, "Bagaimana kalau di Café Cacing Alaska, Jalan Suri Jiwa 1? Jam dua siang?"

Tak butuh waktu lama, Nadia menyetujui tempat dan waktu yang Zahra tentukan. Seharian, Zahra merasa gelisah, memikirkan pertemuannya dengan Nadia. Benaknya dipenuhi pertanyaan: siapa Nadia sebenarnya? Dan apa hubungannya dengan Fikri?

Saat jam mendekati dua, Zahra bergegas menuju Café Cacing Alaska. Café itu berada di sudut Jalan Suri Jiwa, tempat yang tenang namun memiliki suasana yang cukup nyaman untuk berbincang. Setibanya di sana, Zahra segera melihat seorang perempuan duduk di pojok, tampak seperti menunggu seseorang. yah perempuan itu Nadia Mahira.

Dengan langkah tegas namun hati yang berdebar, Zahra mendekati meja tempat Nadia duduk. Wajah perempuan itu terlihat tenang, meski ada kesan gelisah dalam sorot matanya. Nadia langsung tersenyum tipis saat Zahra tiba.

"Assalamu'alaikum," Zahra memulai.

"Wa'alaikumussalam," balas Nadia, kemudian memberi isyarat kepada Zahra untuk duduk.

Setelah beberapa saat sunyi, Nadia memecah keheningan.

"Aku yakin kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku kirim pesan itu."

Zahra hanya mengangguk pelan, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Nadia menghela napas panjang sebelum melanjutkan,
"yah, Aku yang mengirim pesan itu, Zahra. Aku nggak bisa tahan lagi diam. Aku masih... masih punya perasaan terhadap Fikri. Dan, jujur saja, aku nggak rela kalau dia menikah sama kamu." Ucap Nadia dengan perasaan yang menggebu-gebu dan meluapkan rasa emosinya .

Zahra merasa jantungnya berhenti sejenak mendengar pengakuan itu. Ia mencoba menjaga ketenangannya meski hatinya bergetar. "Jadi, kamu dulu pacar Fikri?" tanyanya dengan suara bergetar.

Nadia mengangguk pelan. "Iya. Kami dulu dekat, dan aku merasa hubungan kami serius. Tapi tiba-tiba dia menjauh, dan tanpa penjelasan jelas, dia menikah denganmu. Itu yang membuat aku sakit hati, Zahra. Aku merasa... dibuang. Seolah-olah aku nggak pernah ada dalam hidupnya."Ucap Nadia meneteskan air mata.

Zahra menatap Nadia dengan campuran emosi. Di satu sisi, ia merasakan sakit hati Nadia, tapi di sisi lain, ini semua terasa seperti ancaman bagi pernikahannya.

"Fikri nggak pernah cerita tentang kamu," Zahra berbisik, hampir tak percaya.

"Aku bisa mengerti itu. Mungkin dia ingin melupakan aku, atau mungkin dia nggak ingin menyakitimu dengan masa lalunya. Tapi bagiku, rasanya belum selesai," ujar Nadia, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan bahwa ia menahan emosi yang memuncak.

💔💔💔💔💔💔

Zahra terdiam. Banyak hal yang kini berseliweran di kepalanya, mencoba menyatukan potongan-potongan yang baru saja diungkapkan Nadia. Fikri punya masa lalu, dan Zahra tahu itu. Namun, mengetahui bahwa Nadia, seorang teman sekaligus mantan kekasih, masih memiliki rasa terhadap Fikri menambah beban yang tak pernah Zahra bayangkan.

"Aku nggak bisa pura-pura nggak merasa apa-apa, Zahra. Aku menghubungimu karena aku nggak ingin menyimpan ini sendirian lagi. Aku merasa harus jujur, meskipun tahu ini mungkin menyakitimu," lanjut Nadia, kali ini matanya tampak sedikit basah.

Zahra menghela napas panjang. "Tapi kenapa sekarang? Kenapa kamu menghubungiku sekarang setelah kami menikah?"

Nadia menunduk, lalu menjawab lirih, "Aku berharap Fikri akan kembali padaku... Tapi, aku salah. Dan sekarang, aku hanya ingin dia bahagia. Meski sulit, aku mencoba menerima kenyataan."

Zahra terdiam, mencoba mencerna semua ini. Hatinya bergejolak, antara ingin mempertahankan pernikahannya dan memahami perasaan perempuan di depannya yang pernah menjadi bagian dari hidup suaminya.

Zahra terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Nadia menggantung di udara. Hatinya bergemuruh, namun ia berusaha tetap tenang. Ia tahu bahwa pertemuan ini akan memberikan jawaban, tetapi ia tidak menyangka akan sekompleks ini.

"Jadi," Zahra berkata pelan, berusaha mencari kekuatan dalam suaranya, "kamu berharap Fikri kembali padamu? Apa kamu berharap aku melepaskannya?"

Nadia menatap Zahra dalam-dalam, seolah berusaha memahami apakah Zahra benar-benar mengerti rasa sakit yang dia rasakan. "Dulu, iya. Aku berharap dia akan kembali, bahwa mungkin pernikahan kalian hanyalah keputusan impulsif atau sesuatu yang bisa berubah. Tapi sekarang, aku sadar itu nggak mungkin lagi. Kalian sudah menikah. Dan aku hanya ingin... penutupan."

Zahra merasakan sedikit kelegaan mendengar itu, meski perasaan was-was tetap ada. "Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang?"

"Aku hanya ingin kamu tahu, Zahra, bahwa Fikri dulu berarti banyak bagiku. Aku nggak menyalahkanmu, karena aku tahu ini bukan salahmu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku nggak bisa tiba-tiba hilang dari hidupnya begitu saja. Aku... aku masih peduli, meskipun aku tahu perasaan itu nggak akan dibalas."

Zahra menatap Nadia dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa simpati terhadap perempuan ini, yang jelas-jelas masih terluka oleh masa lalu. Namun di sisi lain, Zahra merasa perlu mempertahankan posisinya sebagai istri Fikri, dan menjaga pernikahannya agar tidak terancam oleh masa lalu yang tak terduga ini.

"Aku mengerti, Nadia," kata Zahra akhirnya. "Aku nggak tahu semua ini sebelumnya. Fikri nggak pernah cerita tentang kamu, tapi sekarang aku tahu. Dan aku juga nggak tahu apa yang harus aku katakan untuk menenangkan hatimu."

Nadia mengangguk pelan. "Aku nggak minta kamu melakukan apapun, Zahra. Aku hanya ingin jujur tentang perasaanku, dan semoga, dengan ini, aku bisa melangkah maju."

Zahra menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku hargai kejujuranmu, Nadia. Tapi Fikri sekarang adalah suamiku, dan aku akan berjuang untuk pernikahan kami. Aku tahu kamu masih punya perasaan, tapi aku nggak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Aku hanya bisa mencoba menjaga apa yang kami punya sekarang."

Nadia menunduk, menerima kenyataan itu. "Aku paham. Aku juga nggak akan mengganggu kalian lagi, Zahra. Aku hanya butuh waktu untuk melepaskan semuanya. Mungkin pertemuan ini adalah langkah pertamaku untuk benar-benar move on."

Zahra mengangguk, merasa bahwa percakapan ini penting, meskipun menimbulkan luka. "Aku harap kamu juga bisa menemukan kedamaian, Nadia. Kita semua pantas bahagia, meski jalannya nggak selalu mudah."

Setelah beberapa saat hening, Nadia berdiri dan merapikan tasnya. "Terima kasih, Zahra, sudah mau bertemu dan mendengarkanku. Aku doakan kamu dan Fikri bahagia."

Zahra hanya tersenyum lemah, sementara Nadia beranjak pergi dari café itu. Setelah Nadia menghilang dari pandangan, Zahra tetap duduk di sana, menatap kosong ke depan. Pertemuan itu menguras emosinya, dan kini ia harus memikirkan langkah berikutnya.

Pikiran Zahra kini tertuju pada Fikri. Ada banyak hal yang harus mereka bicarakan.

percintaan yang rumit (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang