flashback

13 9 12
                                    

Seusai bertemu Nadia Mahira perempuan masalalu juga sahabat dari suaminya zahra kembali pulang kerumah kebetulan fikri baru balik dari kantor dimana waktu menunjukkan pukul 13.00 jam istirahat. Dan sebelum zahra bertanya tentang masalalu fikri sebelum menikah dengannya zahra mempersiapkan air hangat dan makan siang untuk sang suaminya.
Selepas makan fikri hendak beranjak berdiri dari duduknya, zahra memanggilnya dengan panggilan mesra "sayang, aku mau bertanya boleh?" ucapannya
"Boleh mau tanya apa sayang? " ucap fikri yang kembali duduk.
"Siapa Nadia Mahira sayang?". ucap zahra.
" dia....... Kenapa kamu tanya dia si sayang, ada apa hm? ".ucap fikri yang menanyakan kembali kepada zahra.
Zahra menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. Ia harus hati-hati dalam berbicara, tak ingin menimbulkan keretakan dalam hubungan mereka, tetapi juga perlu mendapatkan kejelasan.

"Tadi aku ketemu Nadia di café," jawab Zahra pelan. "Dia yang kirim pesan ke aku kemarin, dan dia cerita banyak hal tentang kamu dan masa lalu kalian. Aku cuma ingin tahu, kenapa kamu nggak pernah cerita tentang dia?"

Fikri terdiam sejenak. Wajahnya tampak kaget, namun dia segera mengalihkan pandangannya, seakan mencoba merangkai kata-kata yang tepat.

"Nadia..." Fikri menghela napas, "Dia teman dekatku dari dulu. Kami pernah pacaran, iya, tapi itu sudah lama banget, jauh sebelum aku kenal kamu. Setelah kami putus, kami masih berteman baik, dan nggak ada perasaan yang tersisa di antara kami, Zahra. Aku nggak pernah cerita karena, ya... kupikir itu sudah nggak penting lagi."

Zahra memperhatikan ekspresi Fikri, mencoba membaca apakah ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, nada suara Fikri terdengar tulus, meski ia sedikit gelisah.

"Tapi, Nadia bilang dia masih punya perasaan," kata Zahra pelan, matanya menatap Fikri tajam, mencari jawaban di sana.

Fikri tampak sedikit terkejut mendengar itu. "Masih punya perasaan? Zahra, aku sungguh nggak tahu kalau dia masih merasa seperti itu. Setahuku, kami sudah berakhir dengan baik, dan aku pikir dia juga sudah move on. Kalau aku tahu dia masih seperti itu, aku pasti akan memberitahumu."

Zahra menggigit bibirnya, menimbang-nimbang kata-kata Fikri. Di satu sisi, ia ingin mempercayai suaminya, tapi di sisi lain, pengakuan Nadia tadi siang masih segar di benaknya.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita, meskipun hanya untuk membuat aku tahu?" Zahra bertanya lagi, suaranya penuh perasaan.

Fikri menunduk, sejenak merenungkan jawabannya. "Sayang, aku nggak mau mengungkit masa lalu yang kupikir nggak ada kaitannya lagi sama kita. Aku nggak ingin kamu khawatir atau merasa nggak nyaman dengan sesuatu yang sebenarnya sudah selesai bertahun-tahun lalu. Buatku, kamu satu-satunya yang penting sekarang."

Zahra terdiam, mencoba mencerna kata-kata Fikri. Dia tahu Fikri bukan tipe pria yang suka mengumbar masa lalunya, tapi tetap saja, rasa penasaran itu masih ada.

"Aku hanya butuh kejujuran, Fikri. Aku butuh tahu semuanya, supaya aku nggak merasa ada sesuatu yang disembunyikan," ucap Zahra dengan suara lirih.

Fikri mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Zahra dengan lembut. "Aku ngerti, sayang. Maaf kalau aku nggak cerita sebelumnya. Tapi aku janji, nggak ada apa-apa lagi antara aku dan Nadia. Kamu satu-satunya yang ada di hatiku sekarang, dan aku nggak akan pernah menyakiti kamu."

Zahra memandang Fikri dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di matanya. Meski hatinya masih sedikit gelisah, ia merasa Fikri tulus dengan ucapannya.

"Baiklah," Zahra mengangguk pelan. "Aku percaya sama kamu. Tapi kalau ada yang lain lagi, aku ingin tahu, oke?"

Fikri tersenyum lembut dan mengangguk. "Aku janji, sayang. Nggak akan ada rahasia lagi."

Meskipun perasaan Zahra belum sepenuhnya tenang, ia merasa lega bahwa mereka telah berbicara dengan jujur. Namun, ia tahu bahwa ini mungkin bukan akhir dari semuanya, terutama jika Nadia masih memiliki perasaan yang belum terselesaikan.

Setelah melewati pembicaraan tentang Nadia, Fikri tampak lebih santai dan bersedia menceritakan lebih banyak tentang masa lalunya.

"Zahra," ucap Fikri sambil menatap istrinya dengan serius, "aku mau cerita sedikit tentang masa laluku sebelum aku masuk pondok. Mungkin kamu perlu tahu supaya kamu mengerti kenapa aku bisa berubah."

Zahra mengangguk, tertarik dengan apa yang akan diceritakan Fikri. "Oke, sayang. Aku mendengarkan."

"Dulu, waktu SMP, aku adalah anak yang nakal dan bandel," Fikri mulai dengan nada nostalgia. "Aku suka bikin onar, sering bolos sekolah, dan bergaul dengan teman-teman yang juga nakal. Kami sering melakukan hal-hal bodoh, seperti merusak fasilitas sekolah atau mengganggu teman-teman lain. Waktu itu, aku pikir itu semua seru dan menyenangkan."

Zahra mendengarkan dengan seksama, membayangkan Fikri yang berbeda dari sosoknya sekarang. "Kamu nggak suka belajar?"

"Jujur, aku lebih suka bermain dan bersenang-senang daripada belajar," jawab Fikri. "Nadia, dia adalah satu-satunya yang selalu berusaha mengingatkanku untuk belajar. Dia tahu potensi yang aku miliki, dan dia selalu mendorongku untuk tidak terjerumus lebih dalam. Tapi waktu itu, aku nggak mau mendengarkan."

Zahra terdiam, membayangkan bagaimana Fikri menjalani masa remaja yang penuh kebebasan dan kenakalan. "Tapi, apa yang membuat kamu berubah?"

Fikri menghela napas. "Suatu hari, aku terlibat dalam sebuah perkelahian di sekolah. Itu adalah momen yang bikin aku tersadar. Setelah kejadian itu, aku diusir dari sekolah dan orang tuaku sangat marah. Mereka memutuskan untuk mengirimku ke pondok, berharap aku bisa memperbaiki diriku dan menjadi lebih baik."

Zahra melihat Fikri dengan perhatian. "Dan di pondok, kamu berhasil berubah, ya?"

"Ya, di pondok, aku bertemu dengan banyak orang yang mengubah cara pandangku," Fikri melanjutkan. "Aku belajar banyak tentang disiplin, tanggung jawab, dan nilai-nilai kehidupan. Aku mulai fokus pada pendidikan dan mengembangkan diriku. Dan selama di sana, aku menyadari bahwa aku ingin menjadi orang yang lebih baik, bukan hanya untuk diriku, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarku."

Zahra tersenyum, merasa bangga mendengar perjalanan hidup suaminya. "Aku sangat mengagumi perjalananmu, Fikri. Kamu bisa bertransformasi dari anak nakal menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab."

Fikri tersenyum balik. "Itu semua berkat pengalaman dan orang-orang yang ada di sekelilingku, termasuk kamu. Setelah bertemu denganmu, aku semakin merasa beruntung. Kamu adalah motivasi terbesarku untuk terus menjadi lebih baik."

Zahra merasa hangat di hatinya mendengar kata-kata Fikri. "Aku senang bisa jadi bagian dari hidupmu, sayang. Tapi, aku masih ingin tahu lebih banyak tentang Nadia. Bagaimana kamu bisa berpisah dengannya?"

Fikri mengangguk, sepertinya sudah siap untuk menjelaskan lebih jauh. "Setelah aku masuk pondok, hubungan kami mulai merenggang. Aku fokus pada belajar dan mengubah diriku, sementara dia masih berada di dunia yang sama dengan masa lalu kami. Kami sempat bertemu beberapa kali, tapi akhirnya kami sepakat untuk mengakhiri hubungan itu agar kami bisa melanjutkan hidup masing-masing."

Zahra merasa lega mendengar penjelasan Fikri. "Aku berharap kamu tidak merasa tertekan dengan masa lalumu. Kita semua punya cerita, dan yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari itu."

Fikri tersenyum lagi, matanya bersinar dengan rasa syukur. "Aku bersyukur punya kamu di sisiku. Mari kita jalani masa depan bersama, tanpa bayang-bayang masa lalu."

Zahra mengangguk, merasakan harapan baru tumbuh di dalam hatinya. Meskipun masa lalu mereka masih menyisakan pertanyaan, ia merasa lebih kuat dan yakin dengan pilihan yang mereka ambil bersama.

percintaan yang rumit (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang