Kesuksesan seperti pisau bermata dua—semakin Reynada bangkit, semakin tajam pula tatapan iri yang menghujamnya. Siska, yang dulu pernah berbagi mimpi dan panggung dengannya dalam band mereka "Midnight Rain", kini menjadi bayangan gelap yang selalu mengintai di sudut-sudut kampus. Setiap kali melihat Reynada bersama Azra—tertawa tanpa suara namun dengan kebahagiaan yang terpancar jelas—mata Siska menajam, menyimpan dendam yang tak pernah padam.
Bisikan-bisikan mulai merayap seperti racun di koridor kampus. "Dia cuma cari perhatian," kata mereka. "Kasihan Azra, dimanfaatin sama cewek yang pura-pura lemah," bisik yang lain. Reynada bisa membaca gerak bibir mereka, merasakan setiap kata menusuk seperti jarum es ke dalam hatinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah melihat beberapa teman lamanya mulai menjauh—orang-orang yang dulu tepuk tangan paling keras saat ia bernyanyi, kini bahkan tak berani menatap matanya.
Siang itu, kantin kampus dipenuhi aroma nasi goreng dan kopi yang mengepul. Reynada duduk sendirian, jemarinya mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama lagu baru yang sedang ia tulis. Tiba-tiba, bayangan familiar jatuh di atas mejanya. Siska berdiri di sana dengan Sarah dan Clara—trio yang dulu adalah bagian dari lingkaran terdekatnya.
"Wah, ini dia si penyendiri yang sekarang jadi pusat perhatian ya?" Siska memulai, suaranya setajam pecahan kaca. "Gimana rasanya, Rey? Jadi bahan kasihan orang lain?" Ia mencondongkan tubuhnya, berbisik dengan nada yang membuat perut Reynada mual. "Azra itu cuma kasihan sama kamu, tahu! Lagian, siapa sih yang mau sama cewek yang bahkan nggak bisa ngomong lagi?"
Reynada merasakan darahnya berdesir. Tangannya gemetar di bawah meja, tapi ia menolak untuk menunduk. Matanya menatap lurus ke mata Siska, mencoba menyampaikan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan: bahwa ia bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak-injak, bahwa kehilangan suara tidak berarti kehilangan harga diri.
"Apa? Mau ngebalas? Oh iya, sorry... kamu kan nggak bisa," Siska tertawa, tawanya bergema seperti lonceng kematian di telinga Reynada.
"Siska, udah cukup!"
Suara Azra membelah ketegangan seperti petir. Ia berdiri di sana, rahangnya mengeras menahan amarah, tapi matanya memancarkan kesedihan yang dalam. "Lo pikir apa yang lo lakuin ini bener?"
Siska mengangkat dagunya, matanya berkilat berbahaya. "Oh, jadi sekarang kamu membela dia, ya? Dulu dia yang tinggalkan kita, Azra! Saat band kita hancur, saat semua impian kita hancur!" Suaranya bergetar, dan untuk sesaat Reynada bisa melihat luka lama yang masih menganga di mata mantan sahabatnya itu. "Dia yang menyerah, dia yang pergi begitu saja! Kenapa kamu nggak bisa lihat kalau dia itu cuma mempermainkan kita semua?"
Azra menggertakkan giginya, tangannya terkepal erat sampai buku-buku jarinya memutih. Tapi kemudian, ia melakukan sesuatu yang mengejutkan—ia tersenyum. Bukan senyum marah atau mengejek, tapi senyum sedih yang penuh pengertian.
"Sis," katanya lembut, "lo tau kan kejadian itu bukan salah siapa-siapa? Kita semua kehilangan sesuatu hari itu. Tapi Reyna... dia kehilangan lebih banyak dari kita semua."
Untuk sepersekian detik, topeng kebencian di wajah Siska retak. Ada kilatan rasa bersalah di matanya, tapi secepat kilatan itu muncul, secepat itu pula ia menghilang.
Azra menggenggam tangan Reynada, menariknya berdiri. Tapi sebelum mereka pergi, Reynada melepaskan tangannya dari Azra. Dengan gerakan yang mantap, ia menggerakkan tangannya dalam bahasa isyarat yang ia tahu Siska masih bisa memahami—gerakan yang dulu sering mereka gunakan saat tampil di atas panggung sebagai kode rahasia mereka.
"Aku tidak pernah menyerah, Sis. Aku hanya belajar bernyanyi dengan cara yang berbeda."
Mereka meninggalkan kantin dalam diam, meninggalkan Siska yang terpaku, matanya mengikuti gerakan tangan terakhir Reynada dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di balik topeng kebenciannya, mungkin masih ada sisa-sisa persahabatan yang dulu pernah terjalin—seperti melodi lama yang tak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu untuk dimainkan kembali dengan nada yang berbeda.
-----------------------------------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]
Romance[ Poem for my love ] Suara yang selama ini menjadi jiwaku, menghilang saat aku sedang bernyanyi. Seperti dunia runtuh, segala usaha yang telah kutempuh sirna begitu saja. Kini, aku berbicara melalui jari, dalam kesepian yang mencekam. Ibuku meningga...