Sejak pertemuan tak sengaja di toko buku itu—di antara rak-rak tinggi beraroma kertas dan kopi dari café sebelah—Azra dan Reynada mulai sering bertemu. Azra, dengan senyum hangat yang mencapai matanya dan gestur tubuh yang tenang, kerap mengajak Reynada untuk sekadar makan siang bersama atau berjalan-jalan di taman kota. Setiap ajakan membuat jantung Reynada berdebar—antara harapan dan ketakutan. Tangannya selalu gemetar saat mengetik balasan pesan, ragu-ragu sebelum menekan 'kirim'. Bayangan masa lalu menghantuinya: tatapan jengah, helaan napas tak sabar, dan punggung-punggung yang menjauh saat mereka lelah mencoba memahami bahasa tangannya.
Namun, Azra berbeda.
Matanya selalu fokus pada setiap gerakan tangan Reynada, dengan kesabaran yang membuat tenggorokan Reynada tercekat oleh emosi yang tak bisa ia suarakan. Bahkan di minggu-minggu pertama, saat Azra masih terbata-bata memahami bahasa isyarat, tak pernah sekalipun dia menunjukkan tanda-tanda menyerah. Keningnya akan berkerut dalam konsentrasi, dan kadang ia tertawa malu saat salah mengartikan—tawa yang entah bagaimana selalu berhasil mencairkan kecemasan Reynada.
Suatu sore di bulan Februari, udara masih menyisakan jejak dingin musim hujan saat mereka duduk berdua di taman kota. Bangku kayu yang mereka duduki menghadap kolam dengan air mancur kecil yang berkilau keemasan ditimpa cahaya senja. Bungan-bunga muda mulai bermekaran, mengirimkan kelopak-kelopak merah muda yang menari di udara sebelum jatuh ke permukaan kolam. Azra membawa dua cup es krim—aromanya manis menggelitik hidung—satu cokelat untuknya, dan satu stroberi untuk Reynada. Aroma stroberi itu seketika membangkitkan kenangan yang sudah lama terkubur.
"Kamu tahu, ini pertama kalinya aku duduk di taman dan menikmati es krim lagi setelah bertahun-tahun," tangan Reynada bergerak dengan getaran halus, matanya terpaku pada es krim yang mulai meleleh, menciptakan aliran merah muda yang mengingatkannya pada air mata.
Azra menatapnya dengan senyum lembut yang terasa seperti pelukan. "Kenapa?" tangannya bergerak canggung namun penuh perhatian.
Reynada menunduk, jemarinya mencengkeram cup es krim lebih erat hingga kardusnya sedikit berkerut. Dadanya terasa sesak oleh kenangan yang membanjir. "Dulu aku sering melakukan ini dengan Bunda. Dia suka mengajakku ke taman, kami duduk di sini dan makan es krim sambil bicara tentang banyak hal. Sekarang..." tangannya terhenti sejenak, gemetar, "...rasanya aneh melakukan ini sendiri..."
Air mata menggenang di pelupuk mata Reynada, mengaburkan pemandangan taman menjadi sapuan warna-warni yang kabur. Azra hanya diam, memberikan ruang bagi kesedihan yang telah lama terpendam itu. Keheningan di antara mereka terasa seperti selimut yang hangat—menenangkan dan melindungi.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Azra bergerak. Tangannya membentuk isyarat dengan hati-hati, seolah setiap gerakan membawa beban janji yang dalam. "Reyna, lo tau kan... gue selalu ada buat lo. Mungkin gue gak bisa gantiin sosok Bunda lo, tapi gue bakal dengerin setiap lo mau cerita, dan kita bisa lakukan ini sesering yang lo mau."
Reynada mendongak, menatap mata Azra yang berkaca-kaca namun tetap hangat. Dadanya terasa penuh oleh emosi yang tak bisa ia definisikan—seperti ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayap sekaligus. Tak ada seorang pun, sejak ia kehilangan suaranya, yang pernah menawarkan untuk mendengarkan ceritanya dengan tulus seperti ini. Kebanyakan orang hanya memberikan tatapan kasihan atau, lebih buruk lagi, ketidaknyamanan yang jelas terlihat.
Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia mengusap air matanya dan tersenyum—senyum yang rapuh tapi tulus. "Terima kasih, Azra. Kamu nggak tahu betapa berartinya itu buat aku."
Azra mengangkat bahu dengan gaya santai yang dibuat-buat, tapi matanya berbinar penuh pengertian. "Yah, kalau lo ngerasa seneng, gue juga seneng. Gimana, besok kita coba ke tempat lain? Mungkin lo mau ngajarin gue bahasa isyarat lagi, biar gue nggak selalu salah paham."
Tawa tanpa suara mereka berbaur dengan semilir angin sore, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Reynada merasakan beban di dadanya terangkat sedikit demi sedikit. Tawanya kali ini murni, tanpa kepura-puraan yang biasa ia gunakan sebagai tameng. Ada kehangatan yang meleleh perlahan di hatinya, seperti es krim stroberi di tangannya—manis dan menenangkan, mengingatkannya bahwa mungkin, hanya mungkin, masih ada tempat di dunia ini untuknya merasa utuh kembali.
---------------------------------------------------------
Bahasa Hati
Di antara diam yang membekukan kata,
Kau hadir bagai hangatnya mentari pagi
Membaca setiap gerak tanganku dengan sabar
Seolah mendengar melodi dalam sunyi.Bertahun kukunci kisah dalam dada
Tentang bangku taman dan es krim stroberi
Tentang Bunda dan tawa yang hilang
Tentang dunia yang tiba-tiba menjadi sepi.Tapi kau—
Dengan senyum yang mencapai mata
Tak pernah menuntut suaraku kembali
Tak pernah mengeluh saat tanganmu salah bicara
Hanya ada kesungguhan, dan itu cukup berarti.Perlahan,
Seperti sakura yang mekar di penghujung musim
Seperti es krim yang meleleh di senja yang teduh
Hatiku yang beku mulai mencair
Dalam hangat tatapmu yang selalu menunggu.Mungkin benar—
Cinta tak selalu perlu kata
Kadang ia hadir dalam kesabaran
Dalam isyarat yang kikuk namun tulus
Dalam keheningan yang terasa seperti rumah.Dan kini,
Di bangku taman yang sama
Dengan es krim yang sama
Kutemukan alasan untuk tersenyum kembali
Lewat bahasa hati yang kau pahami.
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]
Dragoste[ Poem for my love ] Suara yang selama ini menjadi jiwaku, menghilang saat aku sedang bernyanyi. Seperti dunia runtuh, segala usaha yang telah kutempuh sirna begitu saja. Kini, aku berbicara melalui jari, dalam kesepian yang mencekam. Ibuku meningga...