Teriakan Terdalam

32 7 5
                                    

"Baiklah, saya tutup pelajarannya sampai di sini. Sampai jumpa minggu depan," kata dosen mengakhiri kelas.

Langkahku menggema di koridor yang sepi, suara sepatu berketuk dengan lantai keramik menciptakan ritme yang hampa. Terkadang aku merindukan saat-saat di mana koridor ini dipenuhi senandungku. Sekarang, hanya keheningan yang setia menemani.

Di toilet, aku membasuh wajah dan merapikan riasan tipis yang kukenakan. Cermin memantulkan bayangan diriku—seorang gadis yang dulu dikenal karena suara emasnya, kini hanya bisa berkomunikasi lewat gerakan tangan.

"Hey, siapa ini? Temen lama kita rupanya."

Suara familiar itu membuat tubuhku membeku. Siska dan gengnya memasuki toilet dengan senyum predator yang sudah kukenal terlalu baik. Aku mencoba menghindar, tapi tangan Siska lebih cepat mencengkeram lenganku.

"Mau ke mana? Kita kan udah lama gak main bareng," ujarnya dengan senyum palsu yang membuatku mual. Dia menarikku paksa ke dalam bilik toilet, mengurungku dengan tubuh-tubuh mereka.

"Hey bisu," bisiknya tajam di telingaku, napasnya yang panas membuatku bergidik. "Mau gw ajarin cara ngomong?"

Tawa mereka membahana di ruangan sempit itu, memantul di dinding-dinding toilet seperti cambukan di telingaku.

"Oh gak bisa ya?" Siska memasang wajah prihatin palsu. "Ha, gimana kalo lo yang ngajarin kita ngomong pake tangan?"

Gelak tawa mereka semakin menjadi, membuatku ingin menghilang saat itu juga.

"Pergi," tanganku bergerak membentuk isyarat, gemetar.

"Hah? Apaan artinya tu? Gw tanya ke jari lo aja ya." Siska mencengkeram telunjukku, memutarnya dengan kasar hingga terkilir. Air mata spontan mengalir merasakan nyeri yang menusuk.

"Ups, maaf ya, gak sengaja," katanya dengan nada mengejek. "Itu peringatan buat lo biar gak jadi kegatelan, cari perhatian sana-sini sok-sokan bisu... Hii, jijik."

Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi, berusaha menelan rasa sakit dan penghinaan yang sudah terlalu sering kuterima sejak kehilangan suaraku.

"Hey, kalian ngapain?" Suara seorang dosen memecah ketegangan.

"Lo beruntung," desis Siska sebelum pergi bersama gengnya, meninggalkanku dengan jari yang berdenyut nyeri dan harga diri yang terluka.

Siska—dulu teman sebangkuku di SMA. Semua berubah sejak aku kehilangan suara. Kebenciannya semakin menjadi ketika Kak Aldi, senior yang ditaksirnya, sering membantuku belajar karena dia menguasai bahasa isyarat. Ironis bagaimana persahabatan bisa berubah menjadi kebencian hanya karena prasangka dan kecemburuan.

== POEM ==

SCREAMING INSIDE


Aaaaaaaghhhhh..

aku berteriak dengan keras

aneh.. aku tak mendengar apapun

tidak ada yang mendengarkan

aku berteriak didalam

suaraku tertahan


#poemformylove



PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang