Pagi itu, Reynada berdiri di tengah kamarnya yang setengah kosong. Cat putih dindingnya yang sudah mulai menguning seolah menyimpan kenangan tentang dirinya yang dulu - saat ia masih bisa bersenandung bebas setiap pagi. Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah langkah pertamanya menuju perubahan.
"Lo yakin mau mindahin semua furniture?" tanya Azra yang baru datang dengan membawa segelas kopi hangat. "Kamar lo bakal jadi lebih sempit lho."
Reynada mengangguk mantap, jemarinya bergerak cepat di atas layar ponsel: "Aku butuh ruang untuk memulai sesuatu yang baru. Studio mini kita."
Mereka menghabiskan akhir pekan itu mengubah kamar Reynada. Tempat tidur dipindahkan ke sudut, rak buku diatur ulang untuk menyimpan peralatan musik, dan sebuah meja kerja sederhana diposisikan dekat jendela. Di atasnya, laptop yang sudah dilengkapi software musik terbaru - hadiah dari orangtua Reynada yang akhirnya mulai memahami mimpi baru putri mereka.
Dengan tabungan yang ia kumpulkan dari kerja paruh waktu sebagai penulis konten online, Reynada membeli peralatan dasar: sebuah mikrofon USB berkualitas menengah, audio interface sederhana, dan keyboard digital bekas yang masih dalam kondisi baik. Mungkin bukan setup profesional, tapi matanya berbinar setiap kali memandang 'studio' barunya.
"Ini lebih dari cukup," ketik Reynada pada Azra. "Yang penting bukan peralatannya, tapi jiwa yang kita tuangkan ke dalam musik."
Azra tersenyum mengangguk, tangannya sudah siap dengan gitar akustik kesayangannya. "So, kapan kita mulai?"
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan eksperimen musik. Reynada menemukan bahwa meski tidak bisa bernyanyi, tangannya masih bisa menciptakan melodi indah di atas tuts keyboard. Azra akan mengikuti dengan gitarnya, dan bersama mereka membangun harmoni yang unik.
Setiap malam, setelah kuliah dan kerja paruh waktu, Reynada duduk di depan laptopnya, menulis lirik. Kata-kata mengalir lebih mudah sekarang, seolah kehilangan suaranya justru membuka katup kreativitas yang selama ini tersumbat. Ia menulis tentang segalanya - tentang rasa sakit kehilangan suara, tentang ejekan Siska yang membuatnya lebih kuat, tentang persahabatan dengan Azra yang menyelamatkannya, dan tentang harapan yang tak pernah mati.
"Rey, coba denger ini," Azra berkata suatu malam, setelah merekam vokal untuk lagu terbaru mereka. Reynada memasang headphone, mendengarkan dengan seksama. Air matanya menetes tanpa disadari - bukan karena sedih, tapi karena takjub mendengar kata-katanya yang bisu kini bisa 'bernyanyi' melalui suara sahabatnya.
Mereka mulai mengunggah karya mereka ke SoundCloud dan Instagram dengan nama "Silent Melody" - sebuah nama yang Reynada pilih sebagai representasi perjalanannya. Awalnya, hanya beberapa teman kuliah yang mendengarkan. Tapi perlahan, komunitas musik indie lokal mulai menaruh perhatian.
"Konsepnya unik - seorang penulis lagu yang tidak bisa bernyanyi berkolaborasi dengan vokalis yang punya chemistry kuat dengan lagunya." "Liriknya dalam banget. Kayak baca diary seseorang yang lagi berjuang nemuin jati dirinya." "More please! We need this kind of authenticity in music."
Komentar-komentar positif mulai bermunculan. Bahkan beberapa producer kecil menghubungi mereka, tertarik untuk berkolaborasi. Reynada masih ingat bagaimana dulu ia berpikir karirnya di dunia musik sudah berakhir saat kehilangan suaranya. Siapa sangka justru 'keheningan' ini yang membawanya pada bentuk bermusik yang berbeda namun sama bermaknanya?
"Lo tau nggak, Rey?" kata Azra suatu malam, saat mereka sedang istirahat setelah sesi rekaman. "Kayaknya lo emang ditakdirkan buat bikin musik. Mungkin nggak dengan cara yang dulu lo bayangin, tapi jiwa musisi lo tetep ada. Dan itu yang bikin lagu-lagu kita spesial."
Reynada tersenyum, matanya berkaca-kaca saat mengetik: "Thanks udah percaya sama aku bahkan saat aku nggak percaya sama diri sendiri."
Di dinding kamarnya yang kini menjadi studio, Reynada menggantung sebuah papan mood board. Di sana tertempel berbagai inspirasi - lirik lagu, foto-foto kenangan, dan secarik kertas bertuliskan motto barunya: "In silence, we find our true voice."
Malam semakin larut, tapi Reynada masih duduk di depan keyboard-nya. Jemarinya menari di atas tuts, menciptakan melodi baru. Di sampingnya, Azra mulai mencatat chord progression. Mereka tidak butuh kata-kata untuk memahami satu sama lain - musik telah menjadi bahasa baru mereka.
Dan di tengah alunan musik yang mengisi kamar itu, Reynada merasakan kedamaian yang genuine. Ia mungkin telah kehilangan suaranya, tapi ia menemukan 'suara' yang bahkan lebih kuat - suara yang lahir dari perjuangan, persahabatan, dan keberanian untuk bermimpi kembali.
------------------------------------------------------------------------In Silence, We Find Our Voice
[Verse 1]
Di sudut kamar ini
Kusimpan mimpi yang hampir mati
Tuts piano menari sendiri
Mencari nada yang hilang dari hati[Pre-Chorus]
Malam-malam tanpa suara
Mengajarkanku arti kata
Bahwa musik tak hanya tentang nyanyian
Tapi jiwa yang berbicara[Chorus]
In silence, I found my voice
Through melodies of choice
When words fail to speak
Music makes me complete[Verse 2]
Mereka bilang aku tamat
Saat suaraku menghilang dalam gelap
Tak tahu di balik setiap tangisan
Ada lagu baru yang kutulis dalam diam[Pre-Chorus]
Setiap ketukan keyboard
Menjadi detak jantungku yang baru
Setiap nada yang mengalun
Adalah cerita yang ingin kuburu[Chorus]
In silence, I found my voice
Through melodies of choice
When words fail to speak
Music makes me complete[Bridge]
Maybe I can't sing anymore
But my heart still holds the score
And in every silence I face
I find a different grace[Final Chorus]
In silence, we found our voice
Beyond the noise and choice
When words failed to speak
Our music made us complete[Outro]
Di sudut kamar ini
Kini kumainkan simfoni
Tentang jatuh dan bangkit lagi
Dalam sunyi yang kini kurangkul
Sebagai bagian dari melodi
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]
Romance[ Poem for my love ] Suara yang selama ini menjadi jiwaku, menghilang saat aku sedang bernyanyi. Seperti dunia runtuh, segala usaha yang telah kutempuh sirna begitu saja. Kini, aku berbicara melalui jari, dalam kesepian yang mencekam. Ibuku meningga...