TETES PUISI
Butir puisi setelah hujan
perlahan melewati dedaunan
terjatuh lembut menuju lautan angan
terbawa arus memasuki muara hati
buatku rindukan keajaiban
kugenggam tetes puisi
membawanya terbang kedalam lautan
for enternal love forever
#poemformylove
== POEM ==
Di sebuah kamar kecil yang hangat, gadis itu, Reyna, duduk termenung di samping jendela, menggenggam erat sebuah buku usang dan pena kesayangannya. Pandangannya menerobos tirai hujan yang turun deras di luar sana. Dia menempelkan tangan lembutnya di kaca jendela, merasakan dinginnya yang merambat perlahan ke telapak tangannya.
"Tes... tes..." air mata itu mulai menetes perlahan dari mata indahnya, mengalir bersamaan dengan suara rintik hujan. Reyna membiarkan kesedihannya menyatu dengan irama hujan, terisak pelan tanpa suara. Hujan menjadi pelindung tangisnya, menyembunyikan luka yang ia simpan dalam diam. Perlahan, dia mulai menggoreskan pena di atas buku lusuh yang penuh kenangan itu.
Tetes Puisi...
Belum selesai ia menuliskan rasa hatinya, suara lembut namun lemah dari ruang makan terdengar memanggilnya.
"Reyna... makan yuk, Nak," suara Bunda yang serak memanggilnya.
Reyna menghapus air matanya cepat, menyembunyikan jejak kesedihan dari wajahnya sebelum meletakkan buku dan pena ke atas meja. Ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju ruang makan. Reyna duduk di kursi kayu di sebelah Bundanya yang terlihat pucat, senyumnya mencoba menyembunyikan rasa sakit.
Uhuk... uhuk... suara batuk Bunda terdengar berat, membuat hati Reyna mencelos.
"'Bunda sakit...'" jari-jari Reyna berbicara dengan bahasa isyarat, menyiratkan kekhawatiran yang ia rasakan.
Bunda tersenyum lembut, walau wajahnya tampak letih. "Tidak, Reyna... Bunda hanya sedikit demam. Biar Bunda ambilkan ya nak... mau ayam?" Bunda berusaha terlihat kuat, dengan cekatan mengambilkan nasi dan lauk untuk Reyna meski tangannya sedikit gemetar.
"'Iya, Bunda...'" Reyna menandakan dengan gerakan jarinya, meski hatinya gelisah melihat kondisi Bundanya.
"Bunda memanggil pelan kepada Ratna, pembantu rumah tangga, "Ratna, tolong ambilkan air untuk Reyna ya..."
Udara semakin dingin, mengiringi makan malam yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah makan, Reyna kembali ke kamarnya. Dia membereskan tempat tidur, menutup jendela dengan sedikit gemetar, dan mematikan lampu. Dalam kegelapan, dia terbaring di atas kasur yang terasa lebih dingin dari biasanya.
Menarik selimut hingga ke dada, Reyna mencoba menenangkan pikirannya. Ia menatap langit-langit kamar, berdoa dalam hati agar Bunda segera pulih. Dan akhirnya, Reyna pun terlelap dalam dinginnya malam yang membawa perasaan tak menentu.
Drops...
Tes...
Hujan di luar tak kunjung reda, mengiringi malam yang terasa begitu panjang. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi itu.
Reyna terbangun dengan gelisah, hatinya seperti diterpa angin dingin. Tak ada sapaan hangat dari Bunda seperti biasanya.
Ia berjalan menuju dapur, berharap melihat sosok Bundanya yang sedang menyiapkan sarapan. Tapi, dapur itu kosong. Reyna mulai merasa panik. Ia mempercepat langkahnya menuju kamar Bunda, berharap melihat senyum hangat yang biasa menenangkannya. Namun, di sana ia hanya menemukan tubuh Bunda yang terbaring diam, wajahnya pucat seperti salju.
Dengan tangan gemetar, Reyna menggoyang-goyangkan tubuh Bundanya, mencoba membangunkannya. "Bunda... Bunda... bangun..." bisiknya dalam hati, berharap Bunda membuka mata. Tapi tidak ada reaksi. Tubuh Bunda tetap kaku, dingin.
Rasa takut merambat ke seluruh tubuh Reyna, air matanya mulai tumpah tanpa bisa ia tahan lagi. "Bunda..." jerit batinnya yang tak bisa terdengar, terpendam dalam sunyi. Reyna berlari dengan napas terputus-putus, mencari Ratna dengan harapan bisa mendapat pertolongan.
Drops...
Tears...
Reyna berteriak tanpa suara, tapi hatinya seolah berteriak begitu keras hingga langit pun mendengarnya. Tangisannya tenggelam dalam suara hujan yang tak kunjung berhenti.
(Suara sirine ambulan)
Kedatangan ambulan membuat suasana semakin tegang, bunyi sirine menusuk ke dalam setiap sudut hati Reyna. Tim medis bergegas, membawa Bunda dalam tandu dengan wajah penuh kecemasan. Reyna hanya bisa berdiri di sudut ruangan, menahan isak tangis yang mengguncang tubuhnya.
Di antara kebisingan langkah kaki dan suara sirine, ada keheningan yang menusuk di dada Reyna, seakan seluruh dunia berhenti berputar hanya untuk menyaksikan saat-saat itu. Hujan masih turun, tapi kini membawa dingin yang lebih menyakitkan. Reyna tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi...
...
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]
Romance[ Poem for my love ] Suara yang selama ini menjadi jiwaku, menghilang saat aku sedang bernyanyi. Seperti dunia runtuh, segala usaha yang telah kutempuh sirna begitu saja. Kini, aku berbicara melalui jari, dalam kesepian yang mencekam. Ibuku meningga...