Perubahan Diri Reynada

3 4 0
                                    


Malam itu, di kamarnya yang remang-remang, Reynada duduk meringkuk di kursi dekat jendela. Cahaya bulan yang keperakan menerobos masuk, menciptakan bayangan-bayangan panjang di lantai kayu yang dingin. Tangannya gemetar menggenggam selembar foto lama - foto dirinya di atas panggung, bernyanyi dengan penuh semangat di hadapan ratusan penonton. Matanya terasa panas menahan air mata yang mendesak keluar.

Dulu, ketika suaranya masih ada, ketika musik masih menjadi nafasnya, ia tak pernah ragu untuk melawan. Setiap kali Siska, managernya, mencoba membatasi kreativitasnya atau memaksakan kehendak, Reynada selalu bisa berargumen dengan lantang. Tapi sekarang? Sekarang ia hanya bisa mengepalkan tangan dalam diam, menelan semua amarah yang terasa seperti bara api di dadanya.

Reynada bangkit, berjalan menuju cermin. Jemarinya menyentuh bekas luka di lehernya - bukti dari kecelakaan yang merenggut tidak hanya suaranya, tapi juga sebagian besar kepercayaan dirinya. Ia mencoba bersuara, tapi yang keluar hanya desahan parau yang menyakitkan. Frustasi, ia memukul dinding di sampingnya, membiarkan rasa sakit fisik mengalihkan perih di hatinya.

Tapi bayangan wajah Azra tiba-tiba muncul dalam benaknya. Azra, dengan senyum hangatnya yang tulus dan mata yang selalu memancarkan keyakinan. Azra yang tak pernah memandangnya dengan kasihan, tapi dengan kagum.

"Kamu nggak kehilangan suaramu, Rey," kata-kata Azra bergema dalam ingatannya. "Kamu cuma perlu menemukan cara baru untuk bersuara."

Dengan tangan yang masih gemetar tapi kali ini karena tekad yang menguat, Reynada membuka laptop-nya. Cahaya layar menerangi wajahnya yang basah oleh air mata yang tak disadarinya telah jatuh. Ia mulai mengetik:

"Dalam sunyi kutemukan suara Yang tak pernah bisa direnggut siapa pun Meski bibirku membisu Jiwaku menari dalam kata-kata..."

Setiap ketukan keyboard terasa seperti detak jantung baru. Setiap kata yang mengalir dari jemarinya adalah darah segar yang mengisi pembuluh nadinya yang sempat mengering. Reynada menulis dan terus menulis, membiarkan semua emosi yang selama ini terkunci dalam kebisuan mengalir bebas dalam bentuk puisi, cerita pendek, dan lirik lagu yang tak akan pernah bisa dinyanyikannya.

Esok harinya, dengan gugup tapi penuh harap, ia mengirimkan tulisan-tulisannya pada Azra. Balasan yang ia terima membuat matanya berkaca-kaca:

"Lo tahu, Rey? Tulisan-tulisan lo tuh keren banget. Lo punya bakat yang nggak banyak orang punya. Suara lo mungkin hilang, tapi lo punya 'suara' lain yang bahkan lebih dalam dari sebelumnya. Gue bisa ngerasain setiap emosi yang lo tuang di sini. It's beautiful... it's powerful... it's you."

Reynada menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan Azra berkali-kali sampai huruf-hurufnya mengabur oleh air mata. Tapi kali ini, air mata itu berbeda. Bukan lagi air mata kesedihan atau keputusasaan, melainkan air mata kelegaan dan harapan.

Di depan cermin, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Reynada tersenyum pada bayangannya sendiri. Ia mungkin bukan lagi penyanyi yang bisa menggetarkan hati penonton dengan suaranya, tapi ia telah menemukan cara baru untuk menyentuh jiwa-jiwa yang lain. Melalui kata-kata, ia akan membangun kembali dirinya. Bukan sebagai korban tragedi, tapi sebagai penulis yang mampu mengubah luka menjadi karya.

-----------------------------------------------------------------------------

Suara Yang Tak Hilang

Dalam sunyi kupeluk kata
Yang dulu terbang bersama suara
Kini tinta menjadi nyawaku
Menari di atas kertas putih tak berdosa

Mereka bilang aku telah hilang
Terkubur dalam kebisuan panjang
Tapi jiwa ini masih bernyanyi
Lewat untaian kata yang tak pernah mati

Di setiap bait kutemukan sayap
Membawaku terbang lebih tinggi dari yang dulu
Mungkin bibirku kini membisu Tapi hatiku
berteriak lebih lantang dari dulu

PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang