Suasana kantin kampus siang itu terasa mencekam. Reynada bisa merasakan tatapan tajam Siska dari seberang ruangan bahkan sebelum ia mendengar suara hak sepatu yang familiar mendekat. Jantungnya berdegup kencang, tapi kali ini berbeda - bukan karena takut, melainkan karena antisipasi.
"Well, well... lihat siapa yang masih berani muncul di sini," suara Siska memecah keramaian kantin. Beberapa mahasiswa mulai menoleh, mencuri pandang ke arah mereka. "Si penyanyi bisu yang sok jadi penulis."
Dulu, kata-kata itu akan menusuk seperti belati es di jantung Reynada. Tapi sekarang, setiap ejekan Siska justru terdengar seperti confirmation bahwa dia sudah berubah menjadi lebih kuat. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis, membuat kerutan kebingungan muncul di dahi Siska.
"Kenapa senyum-senyum? Udah gila ya?" Siska melangkah mendekat, diikuti dua temannya yang selalu setia menjadi bayangannya. Aroma parfum mahalnya yang terlalu menyengat membuat hidung Reynada gatal.
Dengan gerakan tenang yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, Reynada menegakkan punggungnya. Matanya menatap lurus ke mata Siska yang berkilat marah. Tangannya yang biasanya gemetar kini bergerak mantap mengambil ponsel dari tasnya.
"Mau apa lo? Mau SMS mama lo minta dijemput?" ejek salah satu teman Siska, disambut tawa mengejek yang lain.
Reynada tak menghiraukan mereka. Jemarinya menari di atas keyboard virtual, mengetik setiap kata dengan keyakinan yang membara. Di sudut matanya, ia bisa melihat Azra yang berdiri tak jauh dari situ, matanya memancarkan dukungan tanpa suara.
Setelah selesai mengetik, Reynada mengangkat ponselnya tepat di depan wajah Siska. Tulisan di layar itu berkilau di bawah cahaya lampu kantin:
"Aku memang kehilangan suara, tapi aku tidak kehilangan diriku sendiri. Kamu tidak akan pernah bisa mengambil itu dariku. Dan kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan suara? Kehilangan kemanusiaan seperti yang kamu lakukan setiap kali mencoba menjatuhkan orang lain untuk menutupi ketakutanmu sendiri."
Wajah Siska memucat seketika. Matanya membelalak membaca kalimat demi kalimat. Bisik-bisik mulai terdengar di sekeliling mereka. Beberapa mahasiswa bahkan terang-terangan mengangguk setuju dengan pesan Reynada.
"Lo..." Siska tergagap, untuk pertama kalinya kehilangan kata-kata. Pipinya memerah, entah karena malu atau marah - mungkin keduanya. "Lo pikir lo siapa berani-"
Reynada mengangkat tangannya, gesture universal untuk 'stop'. Matanya masih terkunci pada Siska, tapi kali ini dengan tatapan yang lebih lembut, hampir kasihan. Ia kembali mengetik:
"Aku adalah Reynada. Dulu penyanyi, sekarang penulis. Tapi yang lebih penting, aku adalah diriku sendiri. Dan itu cukup."
Hening melanda kantin. Bahkan suara sendok dan piring seolah terhenti. Siska mundur selangkah, seolah terdorong oleh kekuatan tak kasat mata dari kata-kata Reynada. Wajahnya berkerut menahan emosi yang tak bisa ia definisikan.
"Whatever," desis Siska akhirnya, suaranya bergetar. "Ayo guys, tempat ini udah mulai bau." Ia berbalik dengan dramatis, rambut panjangnya berkibar, tapi semua orang bisa melihat bagaimana bahunya sedikit merosot - gesture kekalahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Setelah Siska dan gengnya menghilang, Azra menghampiri Reynada dengan senyum lebar. Tanpa kata-kata, ia memeluk sahabatnya itu. Reynada membalas pelukan itu, merasakan air mata kebahagiaan menggenang di pelupuk matanya.
"That was badass," bisik Azra di telinganya. "Lo udah ngebuktiin kalau 'suara' terkuat nggak selalu harus keluar dari mulut."
Reynada mengangguk dalam pelukan sahabatnya. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan suaranya, ia merasa benar-benar bebas. Kali ini, bukan Siska yang memenangkan pertarungan - tapi juga bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang menemukan kekuatan untuk berdiri tegak dan membela diri sendiri, bahkan dalam keheningan.
Di sekitar mereka, beberapa mahasiswa mulai bertepuk tangan. Bukan tepuk tangan riuh atau dramatis, tapi tepukan penuh penghargaan untuk keberanian seseorang yang akhirnya menemukan suaranya sendiri - dalam cara yang sama sekali berbeda.
------------------------------------------------------------------------------------------
Diam yang Bersuara
Di balik tatapmu yang merendahkan
Kusimpan kata-kata yang tak terucapkan
Bukan karena takut, bukan karena lemah
Tapi karena aku telah menemukan kekuatan dalam diamKau pikir bisa mematahkanku dengan ejekan
Tapi setiap kata tajammu menjadi tangga
Yang kunaiki menuju puncak keyakinan
Bahwa aku lebih kuat dari yang kau sangkaMungkin suaraku hilang
Tapi jiwaku berteriak lantang
Dalam setiap huruf yang kutulis
Dalam setiap senyum yang membalas hinamu
Akulah pemenang sejati
Bukan dari kemenanganmu yang semu
KAMU SEDANG MEMBACA
PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]
Romance[ Poem for my love ] Suara yang selama ini menjadi jiwaku, menghilang saat aku sedang bernyanyi. Seperti dunia runtuh, segala usaha yang telah kutempuh sirna begitu saja. Kini, aku berbicara melalui jari, dalam kesepian yang mencekam. Ibuku meningga...