Diajak menikah dengan anak dari ibu kos seratus pintu, tempat di mana Anggi selama tujuh tahun bernaung di perantauan. Kabar baik atau kabar buruk? Karena prioritas utama saat ini bagi Anggi adalah membiayai pendidikan adik-adiknya dan memastikan me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Diskusi memakan waktu setengah jam menghasilkan menu makanan untuk satu minggu. Karena Asas meminta menu ala rumahan dan lelaki itu tidak pemilih dan tidak memiliki riwayat alergi tertentu maka Anggi merasa sangat dipermudahkan. Ia percaya diri tidak mengecewakan Asas yang telah bermurah hati memberinya pekerjaan.
Anggi membacakan sekali lagi menu-menu dari awal hingga akhir. Setelah diberi persetujuan final oleh Asas, Anggi memperhatikan lagi daftar belanjaan, serta perkiraan harga berdasarkan yang terbaru ia dapatkan saat belanja di pasar. Memang tidak akurat sepenuhnya, tapi biasanya tidak jauh dari perkiraan.
"Ini rincian dan perkiraan totalnya, Pak," ujar Anggi sembari menyerah satu lembar HVS.
Asas membaca tulisan rapi Anggi seraya mengangguk-angguk. "Berangkat sekarang?"
Tidak ingin membuang waktu, Anggi dan Asas berjalan turun dengan sepakat. Para pegawai pun menyapa Asas dengan hormat, sedangkan Anggi mengekor di belakangnya ikut tersenyum ramah, terutama kepada salah satu barista yang mengantarnya ke ruangan tadi.
Anggi asumsikan Asas membawa mobil, karena lelaki itu melewati parkiran motor begitu saja. Sementara Anggi kini sudah memakai helm, bersiap untuk mengeluarkan motor matic yang ia beli bekas.
Asas terlambat menyadari bahwa Anggi meninggalkan berjalan sendirian. Tahu-tahu perempuan itu sudah mengendarai motornya menghampiri Asas yang masih celingukan.
"Bapak jadi ikut? Kalau iya, ikutin saya dari belakang ya. Saya nyetir pelan-pelan kok," ujarnya tidak peduli ekspresi melongo lelaki di hadapannya, Anggi melenggang pergi bahkan sebelum Asas sempat membuka mulut.
Tersadar dari lamunan, Asas pun segera menyalakan mobil dan mengikuti perempuan itu dengan tidak habis pikir. Seumur hidup, baru pertama kali ini, tawaran tebengannya di tolak. Memang Anggi membawa motor, tapi Asas sebelumnya telah menyarankan agar motornya dibiarkan di sana, dia akan meminta salah satu pegawai untuk mengantar ke rumahnya yang tidak jauh dari coffee shop.
Sayang sekali, Asas tidak tahu jika Anggi memiliki pemikiran lain dan dia tidak memastikan dirinya mendapat jawaban iya atas idenya. Andai bisa diputar kembali, mungkin Asas langsung meminta kunci motor Anggi.
Lupakan yang telah terjadi. Hidup di masa sekarang jauh lebih penting, pikir Asas.
Motor matic merah itu berbelok ke pasar tradisional. Mobil Asas mengikutinya tanpa terputus. Tidak ingin ketinggalan lagi, Asas berlari untuk menyamai langkah kakinya dengan Anggi.
"Kamu sering ke pasar?" tanya Asas, suaranya membuat Anggi terkejut.
"Hampir setiap hari. Saya jualan nasi kuning sama nasi uduk tiap pagi," jawab Anggi, tapi beberapa detik kemudian ia segera menambahkan dengan nada panik. "Cuma sekitar sepuluh bungkus atau lebih dikit aja kok, Pak. Sebelum ke rumah Bapak, saya pastiin semuanya sudah diantar ke rumah pembeli dan nggak akan telat. Saya udah ngelakuin itu bertahun-tahun, Pak, saya bisa jamin semuanya bakal aman," jelasnya panjang khawatir Asas menarik tawarannya.