Terbiasa memasak porsi untuk banyak orang, tidak sulit bagi Anggi menghidangkan makanan hanya untuk seorang saja. Dua minggu berlalu berjalan lancar tanpa hambatan. Seminggu pertama Imas ikut sarapan dan makan malam di rumah Asas. Seminggu setelahnya hanya ada lelaki itu sendiri.
Yang Anggi tangkap selama dua minggu bersama Asas, atasannya itu adalah bukti nyata omnivor yang sesungguhnya. Anggi sangat senang setiap dia melihat Asas yang selalu makan dengan lahap hingga piringnya bersih. Anggi pernah dengar dari Imas, selera makan Asas memang sangat tinggi sejak kecil. Namun, menyaksikan secara langsung membuat Anggi kagum.
Peralatan yang diminta Anggi pun telah dibelikan oleh Asas. Kembali berada di dapur, memasak, dan mendapat gaji, tanpa ada bentakan serta tekanan, Anggi baru menyadari betapa nikmatnya hidup yang ia jalani dua minggu ke belakang. Dia lupa kapan terakhir kali merasa sebahagai ini.
Selesai mencuci peralatan yang ia gunakan memasak. Anggi pun duduk sejenak di kursi untuk mengambil napas. Asas berpesan agar tidak usah memberitahunya jika makanan sudah selesai, jika lelaki itu lapar, dia akan turun sendiri. Asas juga menyuruh Anggi ikut makan bersamanya, kalau memang lapar, Asas mempersilakannya untuk makan duluan tanpa menunggu dirinya.
Tentu saja Anggi tahu diri. Dia saja sering beralasan agar tidak ikut makan di meja yang sama dengan atasannya. Setidaknya saat ada Imas, Anggi tidak terlalu canggung. Namun, berduaan dengan Asas sering membuat Anggi tersedak karena pertanyaan-pertanyaan yang entah mengapa dilontarkan padanya, Anggi tidak mengerti
Masalahnya Asas bertanya seperti seorang lelaki yang tertarik pada perempuan. Entah, Anggi tidak mau besar kepala. Dia menjawab pertanyaan Asas dengan niatan membantu lelaki itu barangkali dugaannya benar. Yang jelas, perempuan itu pasti bukan dirinya, mungkin Asas sedang berlatih bertanya pada dirinya, Anggi berpegang teguh pada pikirannya.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Anggi. Begitu melihat nama yang tertera di layar, Anggi tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia pun segera mengangkat sambungan telepon tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mbak Anggiii."
Suara khas itu yang membuat Anggi bersemangat mencari pundi-pundi uang. "Wa'alaikumsalam, Ghin. Tumben telepon jam segini. Nggak kelas?"
Anggi memiliki dua adik, satu lelaki dan satu perempuan. Adik pertamanya bernama Handi, saat ini menempuh pendidikan di kampus dengan beasiswa. Adik bungsunya, Ghina yang sedang ada di telepon saat ini, dia masih duduk di bangku sekolah, kelas dua SMA.
"Gurunya lagi rapat, hehe. Mbak Anggi sendiri kok bisa ngangkat teleponku? Lagi shift siang ya, Mbak?" tanya Ghina polos.
Anggi belum memberitahu mengenai masalah di pekerjaan lamanya. Termasuk pekerjaan terbaru sekarang.
"Mbak udah nggak kerja di sana lagi, Ghin." Bisa Anggi dengar pekikan terkejut di seberang sana. "Kamu nggak khawatir, Mbak udah dapet kerjaan baru kok. Sekarang Mbak lagi kerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Deserve to Be Loved
RomanceDiajak menikah dengan anak dari ibu kos seratus pintu, tempat di mana Anggi selama tujuh tahun bernaung di perantauan. Kabar baik atau kabar buruk? Karena prioritas utama saat ini bagi Anggi adalah membiayai pendidikan adik-adiknya dan memastikan me...