#2

120 102 35
                                    

"Seperti langit kelabu yang tak pernah benar-benar kembali cerah. Dan seperti hujan yang tak kunjung reda, rasa sakit itu akan selalu ada meski cinta telah meninggalkannya."
- Risa Anesta -
.
.
.

Secarik kertas lusuh yang tadi masih digenggam erat ditangannya. Risa kembali membuka dan memandanginya. Di atasnya tertulis kata-kata yang pernah membuat hatinya berdebar, membawanya pada mimpi-mimpi tentang masa depan yang mereka lukis bersama.

Namun tulisan tangan Raka yang pernah membuat hatinya berdebar kini hanya terasa seperti goresan luka lama yang tak kunjung kering.

Dengan hati-hati Risa melipat kertas itu kembali, mengembalikannya ke tempatnya di dalam buku harian yang tak pernah lagi ia buka sejak hari kepergian Raka.

Sebuah kenangan datang menyeruak dari balik pintu pikirannya. Kenangan pertama kali mereka bertemu, di kelas pengantar bisnis semester awal. Ketika hidup masih sederhana dan cinta hanyalah hal kecil yang bersembunyi di antara tumpukan tugas dan ambisi masa muda.

Flashback on

Saat itu, Risa sedang mencari tempat duduk di kelas yang sudah penuh. Dengan senyuman khasnya yang hangat, Raka memanggilnya dari barisan paling belakang.

"Risa, sini aja duduk sama aku!" panggil Raka, melambaikan tangannya.

Risa tersenyum kecil, sedikit gugup namun tak mampu menolak tawaran yang penuh keramahan itu. Di sana, di samping Raka, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Mereka mulai mengobrol ringan, berbicara tentang mata kuliah yang cukup sulit hingga hobi masing-masing, dan tak butuh waktu lama bagi Risa untuk menyadari bahwa mereka memiliki banyak kesamaan.

Pertemuan itu biasa saja, namun bagi Risa perasaan yang muncul begitu kuat dan tak terduga. Raka adalah pria yang dengan mudah bergaul, ia pintar, ramah, dan memiliki senyum yang membuat siapa pun merasa nyaman.

Namun lebih dari itu, ada sesuatu dalam diri Raka yang terasa istimewa di mata Risa. Ia memiliki cara pandang terhadap hidup yang membuat Risa tertarik. Dalam setiap perbincangan mereka, Raka seakan membuka dunia baru yang penuh warna. Tutur kata dan senyuman yang tulus mampu menggoyahkan hatinya untuk tertarik dengan Raka.

Satu kalimat yang sempat menjadi penyemangat diri. Kalimat yang selalu membuatnya terus bangkit dan membuka lembaran baru tentang hidup.

"Setiap orang berhak untuk merasa lelah, tapi juga berhak untuk bangkit dan mencoba lagi. Semua perjuangan itu akan ada hasilnya. Semangat." tuturnya sambil memegang kedua bahu Risa, berharap kalimatnya itu mampu membangkitkan semangatnya lagi.

Hingga suatu malam, di kafe kecil dekat kampus, Raka duduk berhadapan dengan Risa. Di tengah denting musik akustik yang mengalun pelan, Raka tampak serius. Seakan ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. Risa merasakan getaran kecil di hatinya, firasat yang membuatnya merasa gugup.

“Risa, kamu pernah ngerasa ada sesuatu yang nggak bisa dijelaskan? Sesuatu yang membuatmu yakin, tapi sekaligus ragu?” tanyanya.

Sedangkan Risa hanya mengangguk pelan, terdiam, tetapi perasaannya seakan berteriak. Berharap bahwa apa pun yang Raka rasakan, itu adalah cinta. Ia merasakan kehangatan dalam tatapan pria itu, sebuah janji yang tak terucap tetapi tersirat.

“Risa, aku tahu ini mungkin terdengar aneh,” Raka mulai, suaranya terdengar berat dan penuh keraguan.

“Tapi… aku merasa ada sesuatu yang spesial di antara kita. Aku nggak tahu apa kamu merasakan hal yang sama, tapi…”

Risa menggigit bibirnya, menahan senyum malu-malu. “Aku… juga merasakan hal yang sama, Raka. Kamu selalu ada di pikiranku, dan aku nggak bisa bohong tentang itu.”

Tatapan mereka bertemu, dalam sekejap, semuanya menjadi begitu jelas. Raka menggenggam tangan Risa di atas meja. Malam itu, mereka berdua tahu bahwa mereka tak perlu lagi kata-kata. Hubungan mereka sudah lebih dari sekadar teman, dan keduanya yakin bahwa kebahagiaan ini adalah awal dari kisah indah yang akan mereka jalani bersama.

Namun semua berubah ketika Raka mulai menunjukkan tanda-tanda yang membuat Risa gelisah. Kesenangan dan kenyamanan yang dulu ada perlahan-lahan digantikan oleh keheningan dan jarak yang tak dapat ia pahami.

Raka mulai menghindari pertemuan, selalu sibuk dengan alasan yang tak pernah jelas. Seperti setiap kali Risa bertanya Raka hanya menjawab singkat, mengatakan bahwa dia sibuk dan butuh waktu. Dan setiap malam, Risa bergulat dengan perasaan bingung, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga suatu malam, Risa memutuskan untuk bertanya langsung. Mereka bertemu di taman yang sama, di bangku yang dulu menyimpan kenangan indah. Menghabiskan waktu bersama untuk hal kecil seperti berbincang hangat atau bahkan mengerjakan tugas bersama.

Namun malam itu terasa berbeda. Udara terasa dingin, bahkan tatapan Raka terasa asing dan jauh. Tatapan yang dulu hangat, tak ia temukan. Tinggal dingin dan kebekuan. Risa berusaha mengendalikan dirinya, mencoba tetap tenang meski hatinya penuh dengan ketakutan akan kehilangan.

“Aku nggak bisa terus kayak gini, Raka. Ada apa sebenarnya? Kamu kelihatan berubah,” Risa berusaha menahan air matanya, mencoba agar suaranya tetap tegar.

Raka menghela napas panjang, menunduk, seakan enggan menatap mata Risa. “Risa, aku… aku minta maaf. Tapi aku nggak bisa lagi."

Kata-kata itu, sederhana tapi menghancurkan, hatinya remuk. Semua kata-kata itu menghantamnya seperti badai yang datang tanpa peringatan.

"Aku nggak ngerti, Raka. Apa aku melakukan kesalahan? Kalau iya, katakan. Aku bisa memperbaiki semuanya," suara Risa pecah.

Raka menggeleng pelan, matanya terlihat berkaca-kaca. “Bukan kamu, Risa. Ini tentang aku. Aku merasa… aku nggak pantas buat kamu. Aku hanya takut aku akan mengecewakanmu lebih dari ini. Takut nggak bisa memenuhi semua harapan kamu. Lebih baik aku pergi sebelum kita sama-sama terluka lebih dalam."

"Sumpah tapi, aku masih nggak ngerti. Kenapa? Coba jelasin ke aku," tanya Risa yang masih bingung dengan maksud Raka.

"Aku nggak bisa menjalani ini kalau cuma akan membuat kamu sakit hati," jelas Raka.

"Aku nggak peduli dengan semua kekurangan kamu. Aku nggak butuh kamu buat jadi sempurna. Aku… aku mencintaimu. Aku hanya ingin kita tetap bersama," suara Risa terdengar lirih, nyaris tertelan oleh suara angin malam yang berhembus di antara mereka.

Namun Raka tetap tak bergeming. Ia berdiri, sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan Risa dalam kegelapan malam yang sunyi dan menggapai jawaban yang tak pernah ia dapatkan.

Malam itu Risa menangis dalam kesendirian, dalam keheningan yang membuat luka di hatinya semakin dalam. Ia merasa dunianya runtuh. Hanya bisa merasakan kekosongan yang kini mengisi tempat Raka dalam hatinya.

Langit yang Tak Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang