"Walaupun kehilangannya pernah membuat aku hancur tapi aku ingin mengucapkan terima kasih kepada dia yang sudah berminat untuk singgah sebentar. Karenanya aku belajar banyak hal, terima kasih atas kenangan berharganya."
- Risa Anesta -
.
.
.Gemercik air shower mengalir membasahi tubuh mungil itu, kamar mandi adalah tempat yang langsung dituju Risa setelah kepulangannya dari panti asuhan. Tak mau terlalu lama dalam bilik kamar mandi, Risa segera menuntaskan ritualnya di kamar mandi. Melilitkan handuk di tubuhnya, lalu bergeges keluar. Aroma strawberry yang berasal dari tubuhnya itu menguar seantero ruang apartemen, menusuk indra penciuman di antara bisingnya hujan di luar.
Kaos hitam polos kedodoran serta celana baby pink sepaha menjadi pilihannya. Risa duduk di sofa single depan TV ditemani secangkir teh untuk menghangatkan tubuhnya. Tak lupa beberapa cemilan yang ia ambil dari kulkas tadi.
Laptop hitam berlogo apel digigit sudah berada dipangkuannya, dibawah laptop itu Risa gunakan bantal sofa sebagai landasannya. Saat ini dirinya ingin melanjutkan kembali cerita novel yang dibuatnya. Jari-jemarinya leluasa menari di atas keyboard, menuangkan semua apa yang ingin ditulisnya. Setiap kalimat yang ditorehkannya selalu terselip harapan agar apa yang dirasakannya tersampaikan oleh pembaca.
Tiga jam berlalu, fokusnya teralihkan pada ponsel yang Risa letakkan di atas buku catatan konsepnya. Tertera nomor asing di sana membuat Risa mengerutkan dahinya. Termenung sejenak memikirkan siapa yang menghubungi dirinya. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengangkat guna memecah rasa penasarannya.
"Halo selamat malam, maaf siapa ya?" sapanya to the point.
"...."
Namun tak ada sahutan sama sekali dari sang penelepon. "Kok nggak ada suaranya," monolognya.
"Halooo.... Kalau tidak berkepentingan saya akan tutup..." sarkasnya menggantung.
"Jangan," sahut suara di ujung sana memotong kalimatnya terlebih dahulu.
Terdengar suara bass yang familiar memasuki gendang telinganya. Mendengar itu Risa terkejut, bola matanya melotot serasa ingin keluar saja. Dari balik pikirannya tertulis nama Alan dalam daftar katalog orang yang hadir dihidupnya.
"Loh Alan? Dapat nomor aku dari mana?" tanya Risa.
Diseberang sana Alan berdiri dengan bingung, dirinya kelimpungan mencari jawaban yang pas untuk dikatakan. Rasanya tak mungkin dirinya jujur mendapatkan nomor itu minta dari Dinda tadi.
Lama terdiam tanpa suara membuat Risa bingung, "Halo Lan."
"Iya dari Dinda tadi, jangan lupa disimpan" jawab Alan pelan.
"Owh gitu. Okey aku simpan ya nomor kamu," sahut Risa.
"Okeh. Makasih. Btw aku minta maaf udah telpon malem gini," ucap Alan hati-hati.
"Santai aja Lan," jawab Risa.
"Okeh, emang kamu lagi ngapain" tanya Alan.
"Ini aku lanjutin bikin novel online aja," jawab Risa dengan jari yang masih setia mengetik.
"Berarti aku ganggu ya? Kalau gitu aku tutup telponnya," ucap Alan.
"Enggak kok Lan," kata Risa disertai tawa kecil.
"Eh enggak, aku tutup aja telponnya. Kan biasanya kalau sudah ada niatan untuk bikin berarti ada ide yang muncul. Kalau aku telepon kan bisa jadi nanti idenya hilang begitu saja," jawab Alan.
"Iya sih," timpal Risa terkekeh.
"Ya makanya. Aku tutup dulu. Semangat bikin ceritanya! Jangan sampai larut malam!" suruh Alan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit yang Tak Kembali
Romance⚠️ FOLLOW DULU SEBELUM BACA ⚠️ ❗ VOTE & KOMEN❗ ➡️ Update => Sabtu & Minggu ⬅️ Yuk baca sinopsisnya dulu... "Cinta itu obat dari segala penyakit bagi mereka yang percaya" - Risa Anesta "Cinta itu tak harus dimiliki dan tak semua perpisahan dapat dij...