Laras terbangun dengan rasa pusing yang luar biasa. Pandangannya kabur, dan aroma wangi cendana memenuhi ruangan. Saat membuka mata sepenuhnya, ia mendapati dirinya berbaring di atas dipan besar dengan kain sutra merah menghiasi bagian atasnya, dilengkapi ornamen emas yang berkilauan. Sejenak, ia tertegun. Ini bukan kamarnya yang biasa, bukan kehidupan yang ia kenal.
Laras mencoba menggerakkan tubuhnya, namun perutnya terasa berat. Saat tangannya meraba perut, ia menyadari sesuatu yang membuatnya terkejut: perutnya terlihat besar, seperti seorang perempuan hamil.
"Apa yang terjadi?" gumam Laras sambil menahan gemetar di dadanya.
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, pintu ruangan terbuka pelan, dan seorang pelayan perempuan dengan pakaian tradisional Majapahit masuk sambil menunduk. Perempuan itu tampak lega melihat Laras terbangun.
"Baginda Permaisuri, apakah keadaan Baginda sudah membaik?" tanya pelayan itu lembut, penuh hormat.
"Pe-permaisuri?" ucap Laras, bingung. Namun, dari ingatan yang tiba-tiba muncul di kepalanya, ia mulai memahami situasi yang tak masuk akal ini: ia terbangun di tubuh seorang permaisuri di zaman Majapahit, seorang istri Raja yang sangat dicintai rakyatnya, dan saat ini tengah mengandung anak sang Raja.
Tanpa tahu bagaimana hal ini bisa terjadi, Laras merasakan arus kenangan yang aneh, perasaan cinta yang mendalam terhadap suaminya, sang Raja, dan kehormatan yang ia rasakan sebagai permaisuri. Naluri ini kuat, meskipun ia masih merasa bingung dan asing di tubuh ini.
"Maafkan hamba mengganggu, Baginda Permaisuri. Tadi pagi, Baginda Raja meminta hamba untuk memastikan keadaan Permaisuri," ucap pelayan itu lagi, matanya tampak khawatir. "Beliau khawatir karena Baginda terlihat kurang sehat akhir-akhir ini."
"Oh ... iya. Terima kasih," jawab Laras sedikit gugup, meski berusaha tersenyum. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Jika benar ia berada di tubuh permaisuri, ia harus bersikap tenang dan menghormati peran barunya.
Pelayan itu beranjak meninggalkan ruangan setelah menyuguhkan air minum dan beberapa buah segar. Begitu sendiri, Laras mencoba mencerna situasi ini, menenangkan diri sambil meraba perutnya yang besar. Di dalamnya tumbuh kehidupan, seorang anak yang kelak akan menjadi bagian dari Majapahit.
***
Hari itu, Laras berusaha menjalani kehidupannya di istana. Meskipun baru menyadari peran ini, kenangan sang permaisuri di dalam tubuhnya membantu mengarahkan langkahnya. Ia mengenal ruangan-ruangan besar dengan lantai batu yang dingin, taman istana yang luas dengan pohon-pohon kamboja, serta para pelayan yang melayaninya dengan penuh hormat.
Menjelang siang, Raja Majapahit memasuki ruangan permaisuri. Laras melihatnya dan seketika merasa hangat dalam hati, meskipun ia sendiri masih merasa asing. Raja berwajah tegas namun lembut, dan tatapannya penuh kasih saat melihat Laras.
"Bagaimana keadaanmu, Dinda? Apakah tidurmu cukup nyenyak?" tanyanya, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mendekat, duduk di tepi dipan, dan menggenggam tangan Laras dengan penuh kelembutan.
Laras tersenyum kecil, berusaha menyesuaikan diri dengan peran permaisuri ini. "Ya, Kakanda. Aku ... aku merasa sedikit lebih baik."
Sang Raja tersenyum puas. "Syukurlah. Aku harap Dinda tak perlu khawatir akan urusan istana. Semua berjalan lancar, dan aku akan selalu memastikan bahwa Dinda mendapatkan istirahat yang cukup, terutama demi calon pewaris kita."
Perkataannya menyentuh hati Laras. Naluri keibuan dalam dirinya perlahan tumbuh, meskipun ia berasal dari masa lain. Rasa cinta yang ia rasakan dari Raja menenangkan hatinya, dan perlahan ia mulai menerima peran sebagai seorang istri dan calon ibu dalam kehidupan barunya ini.
Setiap sore, Raja sering menghabiskan waktu menemani Laras, berbicara tentang rencana mereka untuk calon anak yang sedang tumbuh di perutnya. Sang Raja sering membacakan cerita rakyat Majapahit, berharap suara dan ceritanya akan membawa ketenangan bagi bayi mereka. Suatu hari, Raja bahkan membawa sebuah keris kecil sebagai hadiah untuk anak mereka kelak, lambang kehormatan dan kekuatan yang akan diwariskan kepada keturunannya.
***
Hari demi hari berlalu, dan rasa tenang mulai memenuhi hati Laras. Namun, semakin besar usia kandungannya, semakin berat tubuhnya terasa. Terkadang, ia mengalami sakit yang membuatnya tak nyaman, dan meski berusaha untuk tidak khawatir, hatinya tetap cemas. Pelayan serta tabib istana selalu siap sedia, namun tetap saja, perasaan gentar kerap menghantui, terutama karena bayangan akan proses kelahiran yang sulit.
Suatu malam, saat beristirahat di kamarnya, Laras merasakan gerakan kecil dalam perutnya. Ia tersenyum sendiri, merasakan kehidupan yang tumbuh di dalamnya.
Namun, tak lama, rasa nyeri menusuk perutnya. Ia meringis, mencoba menahan sakitnya, tetapi rasa itu kian kuat. Sadar bahwa sesuatu mungkin terjadi, ia memanggil seorang pelayan yang selalu berjaga di luar kamarnya.
Pelayan itu langsung memanggil Raja dan tabib istana. Beberapa saat kemudian, Raja tiba dengan wajah cemas, dan tabib segera memeriksa keadaan Laras.
"Baginda Permaisuri, tidak perlu khawatir," ujar tabib dengan nada tenang. "Ini hanyalah tanda bahwa tubuh Baginda sedang bersiap. Beberapa minggu lagi, mungkin, kita akan menyambut kehadiran calon pewaris Majapahit."
Raja yang mendengar penjelasan tabib menatap Laras penuh kasih. Ia menggenggam tangan Laras erat, seakan ingin memastikan bahwa ia akan selalu ada untuknya, dalam segala situasi.
"Aku akan selalu ada di sisimu, Dinda," ucap Raja pelan. "Kita akan melewati ini bersama."
Kata-kata itu menjadi sumber kekuatan bagi Laras. Ia membalas genggaman tangan suaminya, merasa tenang karena kehadiran Raja di sisinya.
Malam itu, Raja tetap berada di samping Laras, bahkan saat Laras mulai tertidur dengan tenang. Dalam tidurnya, Laras bermimpi melihat bayangan seorang anak kecil berlari di taman istana, memanggilnya dengan suara riang. Ia merasa damai dan bahagia, seperti menerima takdirnya dengan lapang hati.
***
Beberapa hari setelahnya, para tabib dan pelayan di istana semakin siaga. Kehamilan Laras sudah mencapai akhir, dan tanda-tanda persalinan sudah mulai terasa. Semua orang di istana sibuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut sang pewaris Majapahit.
Laras, yang kini lebih siap dengan keadaan ini, berusaha menguatkan dirinya. Setiap kali merasakan rasa sakit atau ketidaknyamanan, ia mengingat wajah suaminya, sosok Raja yang setia mendampinginya tanpa henti. Kehadiran Raja selalu menenangkannya, membuatnya yakin bahwa ia mampu menghadapi apapun.
Pada malam bulan purnama, Laras duduk di dekat jendela, memandangi sinar bulan yang menerangi istana. Ia mengelus perutnya dengan lembut, tersenyum membayangkan wajah anak yang akan segera lahir ke dunia.
"Anakku, ibu akan selalu ada untukmu," bisiknya pelan. "Aku akan menjalani takdir ini dengan segenap hati."
Sang Raja tiba-tiba mendekat dan memeluknya dari belakang, merasakan ketenangan yang sama. "Dinda, kita akan melewati semuanya bersama. Kau adalah kekuatan dalam hidupku."
Dalam pelukan suaminya, Laras merasa tenang. Meski berasal dari masa yang berbeda, ia menerima kehidupannya sebagai permaisuri dan calon ibu di zaman Majapahit. Takdir telah membawanya ke sini, dan ia siap menghadapi setiap tantangan demi cinta dan keluarga yang kini menjadi bagian dari jiwanya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Birth
Short StoryCerita pendek kisah cinta hingga kelahiran buah hati mereka