25. Viral

28 15 5
                                    

"Can, kamu abis ketemu dosen? Udah fiks jadinya maju sidang kapan?"

Baru saja keluar dari ruangan dosen, aku sudah disambut oleh Angel. Aku tersenyum sebelum menjawab pertanyaannya. "Udah, Jel. Aku maju sidang Jumat ini! Aku udah harus mulai ngurus pengajuan ke Prodi kalau gini."

"Semangat, ya! Aku masih revisi dikit lagi. Doain biar cepet acc juga, ya. Can, kalo gitu aku mau ke ruang dosen atas dulu, ya. Itu Aira sama Sani nunggu di kantin." Angel pamit dengan sedikit berlari.

Aku tersenyum. Sejak insiden kemarin, ketiganya terus mengawasiku. Mungkin karena ada video yang tersebar dan menampilkan wajahku. Meskipun hanya sekilas, tetapi beberapa orang bisa langsung mengenali kalau itu adalah aku. Sebenarnya aku juga sedikit takut kalau-kalau banyak yang menanyakanku soal kejadian itu. Terlebih komentar dalam video tersebut yang beberapa menyalahkan hingga menghina membuat aku takut teman-teman juga akan begitu. Namun, semenjak tadi belum ada satu pun yang membahas video tersebut atau mungkin saja memang tidak masuk ke beranda mereka.

Sesampainya di kantin, Aira sudah melambaikan tangan. Di dekatnya terdapat beberapa teman sekelas kami yang lainnya. Aku mengembuskan napas kasar, kemudian mendekat ke arah mereka. Butuh keberanian untuk bertemu orang lain setelah membuat keributan seperti kemarin. Kalau bisa aku ingin berdiam diri saja di kamar indekos, tetapi adanya jadwal bertemu dosen membuatku mau-tidak-mau harus datang ke kampus. Pun aku tidak ingin lagi menunda sidang skripsi.

Setelah aku mendudukkan diri di antara mereka, raut wajah Lia membuatku yakin kalau gadis itu ingin mengatakan sesuatu. Ia tersenyum seolah memberiku kekuatan. Tepat setelah aku memesan makanan, pandangan semua orang semakin intens menatapku. Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba saja tangan Ara menepuk pundakku.

"Cantika .... Kamu hebat, Can! Kamu berani banget. Bagus banget udah ngomong kayak gitu. Enggak apa-apa, Can. Jangan dipikirin lagi kejadian itu. Kamu pantes dapat orang yang lebih baik dari cowok brengs*k kamu kemarin itu, Can." Awalnya Ara mengatakannya dengan serius, tetapi setelah keluar kata umpatan, gadis itu tertawa juga.

Lia ikut menambahi. "Kalo aku jadi kamu, sih, udah aku tendang cowoknya, aku jambak rambut ceweknya. Cantika terlalu baik, sih, Can. Tapi enggak apa-apa daripada nanti makin viral."

Semua orang yang berada di meja tersebut jadi ikut tertawa, termasuk aku. Aku tahu pasti ucapan Lia hanya bercanda, tetapi berhasil menghiburku. Dengan ucapan-ucapan tersebut, aku jadi merasa kalau perbuatanku kemarin tidak sepenuhnya salah sehingga tidak perlu lagi takut dengan pandangan orang lain. Toh, teman-temanku selalu mendukung seperti ini. Selama masih ada keluarga dan teman yang selalu berada di pihakku, rasanya semuanya akan baik-baik saja.

Ara, Lia, Sani, dan Aira tersenyum dan mulai menjadikan kejadian kemarin sebagai candaan. Terlebih videoku menampar dan memarahi Aka sudah tersebar di mana-mana hingga ada yang memparodikan dan membuatnya menjadi sound. Setelah mengetahui semua itu--dari Lia dan Ara yang selalu aktif medsos--membuatku jadi malu. Padahal kejadiannya belum genap 24 jam, tetapi terlalu banyak orang kreatif hingga video itu sudah ada di mana-mana dengan berbagai editan.

"Lihat, Can. Ada yang komen 'Plis, ini lucu banget, tapi kasian woy mbaknya'. Ngakak banget aku, Can. Ada juga yang bilang, 'Ketawa dosa enggak, sih?'" kata Ara lagi membacakan komentar-komentar di video tersebut. "Tapi, Can, tenang aja. Kebanyakan di video editan gini, mukamu udah diblur, kok. Video asli yang ada muka kamu udah susah banget ditemuin."

"Tebak, kok bisa video aslinya hilang?" tanya Aira tiba-tiba

Aku berpikir sejenak, kemudian tersadar sesuatu. Kalau gadis itu bertanya, maka sudah pasti jawabannya adalah ia sendiri. "Kamu yang ngehapusin, Ai?"

Tepat dugaan, Aira tertawa. "Aku sama Sani. Kemarin kami minta ke pemilik akun-akun yang share itu buat hapus. Tapi, ya, gimana, ngeyel gitu udah pasti. Akhirnya kesepakatannya boleh up, tapi diblur videonya."

"Videonya dihapus kemarin tengah maleman, ada yang pagi tadi juga. Jadi, ya, beberapa emang udah sampai ditonton ribuan. Pasti kamu lihat juga, ya, video yang belum dihapus itu? Jangan dengerin komentar orang, Can." Sani ikut menambahkan. Entah mengapa, rasanya aku jadi ingin menangis lagi.

"Bener, Can. Biarin aja orang-orang komentar. Mereka juga enggak tahu apa-apa soal kamu dan kejadian yang sebenernya." Ara kembali memberikan pendapatnya. "Sama video-video editan ini, jangan terlalu dipikirin, Can. Udah biasa, 'kan, apa-apa dijadiin candaan? Yang penting viral pokoknya. Asal kita diam aja, netizen juga enggak akan segabut itu buat nyari identitas kita. Jadi aman aja."

"Bener, Can. Sekarang fokus aja ... Cantika udah mau sidang skripsi, 'kan?" Lia bertanya dengan lembut. Ia berbicara pelan seolah-olah aku adalah anak kecil. "Kalau video kayak gini, nanti lama-lama juga reda. Pokoknya sekarang ... Cantika fokusin diri aja sama kuliah. Bentar lagi kita selesai. Oke?"

Aku tertawa, tetapi tanpa terasa setitik air mata jatuh juga. Keempat temanku tentu panik, termasuk ibu kantin yang membawa pesananku, tetapi aku masih tertawa dan mengambil tisu untuk mengelap air mata.

"Aku enggak apa-apa, kok. Makasih, Bu," ucapku pada ibu kantin sebelum melanjutkan bicara pada empat temanku. "Makasih, ya, Gais."

Bener. Semuanya pasti akan baik-baik aja. Aku yakin. Apalagi aku punya kalian kayak gini. Aka bukan segalanya. Masih ada orang lain yang sayang aku dengan tulus. Makasih, teman-teman.

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang