Chapter 2 : The biggest fear

347 36 2
                                    

Hari-hari setelah keputusan Apo untuk membatalkan pernikahan berlalu dengan lambat. Di setiap sudut rumah, dia melihat kenangan dari persiapan pernikahan yang tidak pernah terwujud. Undangan yang sudah dicetak, gaun yang tergantung rapi di lemari, dan foto-foto calon pengantin yang penuh harapan. Semuanya menjadi pengingat pahit akan apa yang tidak akan terjadi.

Setiap kali dia membuka ponselnya, pesan-pesan dari teman dan keluarga yang khawatir menghujaninya, bertanya tentang keputusannya. Apo berusaha untuk tetap tenang dan tidak membagikan terlalu banyak detail. Dia tahu mereka hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi semua perhatian itu semakin membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran ketakutan yang sama.

Hari-hari itu tidak mudah bagi Apo. Namun, ada satu orang yang selalu bisa dia andalkan untuk mendengarkan tanpa menghakimi: Peung. Sahabat masa kecilnya yang selama ini menyaksikan berbagai fase dalam hidupnya, termasuk kekacauan emosional yang kini dihadapi.

Suatu malam, Apo memutuskan untuk menelpon Peung. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Mile dan ketakutannya sendiri. Dia tahu, jika ada yang bisa memahami kompleksitas perasaannya, itu adalah Peung.

"Apo?" suara Peung terdengar hangat di seberang telepon, penuh perhatian seperti biasanya.

"Peung... bisa kita ketemu? Aku butuh bicara," suara Apo sedikit bergetar. "Aku... aku nggak tahu harus gimana lagi."

Tanpa ragu, Peung setuju. Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di Café Claire, tempat favorit mereka yang selalu menjadi pelarian dari kehidupan yang rumit. Saat mereka duduk, suasana kafe yang nyaman terasa kontras dengan perasaan berat di hati Apo.

"You look shit sweetheart," kata Peung lembut, memandang sahabatnya dengan tatapan prihatin. "Apa yang terjadi?"

Apo menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Aku merasa seperti monster, Peung. Lagi-lagi aku merusak segalanya. Aku membatalkan pernikahan, mengecewakan semua orang, dan sekarang... i screwed up everything."

Peung mengangguk pelan, tidak langsung berbicara. Dia tahu Apo lebih baik daripada siapa pun, dan dia tahu bahwa sahabatnya itu tidak pernah berbicara tanpa pertimbangan yang mendalam.

"Apa kamu benar-benar merasa itu kesalahan?" tanya Peung akhirnya, menatap mata Apo dengan serius. "Atau kamu cuma takut karena nggak yakin bisa bahagia?"

Apo menunduk, mengaduk-aduk cangkir kopinya dengan jari-jari yang gemetar. "Aku nggak tahu. Setiap kali sesuatu terasa lebih serius, aku merasa tercekik. Aku takut kehilangan diriku sendiri, takut kalau aku akan terjebak dalam hubungan yang buruk... seperti banyak orang yang kita kenal."

Peung menarik napas dalam, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apo, aku ngerti rasa takutmu. Aku tahu bagaimana masa lalumu membentuk ketakutan itu. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan kabur. Pada titik tertentu, kamu harus percaya kalau kebahagiaan juga layak kamu perjuangkan, seperti orang lain."

"Tapi bagaimana kalau aku salah lagi?" tanya Apo, suara frustasi terdengar jelas. "Aku sudah merasakan bagaimana rasanya terjebak dalam hubungan yang salah. Aku tidak ingin kembali ke sana."

Peung tersenyum lelah, ingatan tentang pengalaman pribadinya menggelayut di benaknya. "Dengar, Apo. Aku tahu aku bukan orang yang tepat untuk bicara soal hubungan yang sehat. Aku sudah membuat banyak kesalahan dalam hidup cintaku sendiri. Tapi satu hal yang aku pelajari adalah, kamu nggak bisa membiarkan ketakutan itu menang. Kalau kamu terus-terusan lari, kamu nggak akan pernah tahu seperti apa cinta yang sebenarnya."

Apo diam, merenungkan kata-kata Peung. Dia tahu sahabatnya tidak asal berbicara. Peung sendiri pernah terjebak dalam hubungan beracun yang nyaris menghancurkannya, tapi dia berhasil keluar dan menemukan jalan baru untuk hidupnya. Meski begitu, Apo merasa situasinya berbeda. Bagaimana jika dia tidak sekuat Peung?

"Tapi, Peung," katanya akhirnya, "bagaimana kalau aku nggak bisa mengatasi rasa takut ini? Bagaimana kalau aku nggak mampu menghadapi komitmen?"

Peung menghela napas panjang dan mengulurkan tangannya, meraih tangan Apo di atas meja. "Kamu nggak perlu langsung melompat ke dalam pernikahan atau komitmen besar. Yang kamu butuhkan sekarang adalah menerima dirimu sendiri, dengan segala ketakutan dan ketidakpastian itu. Itu bagian dari proses."

Setelah beberapa saat hening, Peung tersenyum, mencoba meringankan suasana. "Dan satu lagi, Apo. Kamu punya hak untuk merasakan cinta, sama seperti orang lain. Jangan biarkan ketakutanmu menutupi kenyataan itu."

Apo tersenyum samar. "Mungkin kamu benar. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa ada sesuatu yang salah dalam diriku. Setiap kali orang berbicara tentang cinta, aku merasa seperti itu bukan untukku."

Peung menatap Apo dengan penuh pengertian. "Cinta bukan soal sempurna, Apo. Itu soal usaha. Kita nggak selalu mendapatkan akhir yang bahagia, tapi jika kita nggak berusaha, kita nggak akan pernah tahu apa yang kita lewatkan."

Percakapan mereka malam itu membuat Apo merenung. Saat mereka berpisah, Peung memeluknya erat, memberikan kekuatan yang dia butuhkan. Meski ketakutannya belum sepenuhnya hilang, ada sedikit ruang di dalam hati Apo yang terasa lebih ringan. Mungkin, dengan sedikit usaha dan keyakinan, dia bisa menghadapi monster-monster yang selama ini menghalanginya.

Beberapa hari kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Apo menerima email tawaran dari sebuah perusahaan besar yang ingin mempekerjakannya sebagai fotografer untuk majalah kantor mereka. Pada awalnya, ini terdengar seperti pekerjaan biasa-pemotretan profil eksekutif untuk rubrik "Leadership in Focus".

Namun, saat Apo melihat lebih dalam pada informasi detail & undangan untuk meeting, dia terkejut mendapati nama Mile Phakphum tercantum sebagai subjek utama pemotretan. Mile, sosok yang terus menghantui pikirannya sejak pertemuan terakhir mereka. Dia merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

RUN TO YOU - COMPLETED (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang