Happy Reading ...
Jangan lupa pencet bintang dan spam komen yang banyak
Warning, bab ini berisi kekerasan
Please be wise
Malam kian larut, udara semakin mendingin dan lembap, hewan malam mulai berbunyi, sungguh latar sempurna sebagai pengiring suara kesakitan seseorang. Beberapa kelelawar beterbangan di sekitar gedung terbengkalai tersebut, tanaman rambat tumbuh subur, beberapa pucuknya telah sampai di jendela lantai dua. Sunggu latar sempurna untuk shooting film horror, karna itu pula lah, tak akan ada orang akan menginjakkan kaki di lingkungan sana. Tempatnya terpencil dan terlupakan.
Kira-kira, kalau Agnor melempar Felix dari jendela lantai dua, dan jatuh di atas rumput liar, apakah Felix akan mati? Sepertinya, masih aman selama bukan kepala yang jatuh lebih dulu. Paling patah tulang, kan?
"Pegangi," perintah Agnor pada anak buahnya.
Sekali lagi ia melirik Sen, memastikan lelaki itu tak berpaling sedikit pun dengan hal yang sebentar lagi akan terjadi. Felix berontak, kesadarannya telah kembali penuh. Tentu hanya babak belur dari Satria tetap akan bisa membuatnya berontak.
"Babi bangsat, gue salah apa sama kalian, hah? Gue—"
Plak!
Kepala Felix tertoleh ke samping dengan tamparan keras dari Agnor. "Memangnya lo harus punya salah supaya gue bisa berbuat sesukanya sama lo? Engga, lo lagi nggak beruntung aja."
Felix meludah. Dengan kedua tangan ditahan dua anak buah Agnor—si botak dan si bertato—hanya kaki Felix yang leluasa bergerak.
Mata Agnor untuk sejenak diam menatapi kaki Felix. Tidak patah rupanya. Padahal ia memberi banyak waktu untuk Satria, hanya segini saja penyiksaannya? Babak belur tanpa luka serius?
Agnor berdecih. Ia menukar tongkat golf di tangannya dengan batu kasar yang sebelumnya anak buahnya cari. Benda penting untuk permainan malam ini.
"Kira-kira harus kita ukir di mana, ya?"
"Di mukanya, Bos." Si botak menyarankan sambil tertawa-tawa di ikuti teman-temannya.
Agnor hanya tersenyum tipis sambil menoleh pada Sen. "Di ukir di mana?" tanyanya.
Sen tak menjawab. Orang waras mana yang akan menjawab pertanyaan itu? Terlebih korbannya adalah teman sendiri.
"Jawab atau batu ini gue ukir di seluruh tubuh lo." Suara Agnor mengalun dingin. "Di mana?" tekannya sekali lagi.
Felix berontak. "JANGAN MAU ANJING—" sebuah tamparan mendarat di kepala Felix. Lagi, menghentikan umpatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paduka Agnor (21+)
Storie d'amoreWARNING** cerita ini memuat adegan dewasa, kekerasan, kata-kata kasar, dan perbucinan. Please be wise *** Agnor Melviano lebih cocok disebut malaikat maut alih-alih malaikat penolong. Namun, bagi Malika yang hidupnya di ujung tanduk, meski Agnor ma...