Bab 10. Let the Game Begin

9.5K 1.2K 463
                                    



Happy Reading ...

Jangan lupa pencet bintang dan spam komen yang banyak 

Warning, bab ini berisi kekerasan

Please be wise

Malam kian larut, udara semakin mendingin dan lembap, hewan malam mulai berbunyi, sungguh latar sempurna sebagai pengiring suara kesakitan seseorang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam kian larut, udara semakin mendingin dan lembap, hewan malam mulai berbunyi, sungguh latar sempurna sebagai pengiring suara kesakitan seseorang. Beberapa kelelawar beterbangan di sekitar gedung terbengkalai tersebut, tanaman rambat tumbuh subur, beberapa pucuknya telah sampai di jendela lantai dua. Sunggu latar sempurna untuk shooting film horror, karna itu pula lah, tak akan ada orang akan menginjakkan kaki di lingkungan sana. Tempatnya terpencil dan terlupakan.

Kira-kira, kalau Agnor melempar Felix dari jendela lantai dua, dan jatuh di atas rumput liar, apakah Felix akan mati? Sepertinya, masih aman selama bukan kepala yang jatuh lebih dulu. Paling patah tulang, kan?

"Pegangi," perintah Agnor pada anak buahnya.

Sekali lagi ia melirik Sen, memastikan lelaki itu tak berpaling sedikit pun dengan hal yang sebentar lagi akan terjadi. Felix berontak, kesadarannya telah kembali penuh. Tentu hanya babak belur dari Satria tetap akan bisa membuatnya berontak.

"Babi bangsat, gue salah apa sama kalian, hah? Gue—"

Plak!

Kepala Felix tertoleh ke samping dengan tamparan keras dari Agnor. "Memangnya lo harus punya salah supaya gue bisa berbuat sesukanya sama lo? Engga, lo lagi nggak beruntung aja."

Felix meludah. Dengan kedua tangan ditahan dua anak buah Agnor—si botak dan si bertato—hanya kaki Felix yang leluasa bergerak.

Mata Agnor untuk sejenak diam menatapi kaki Felix. Tidak patah rupanya. Padahal ia memberi banyak waktu untuk Satria, hanya segini saja penyiksaannya? Babak belur tanpa luka serius?

Agnor berdecih. Ia menukar tongkat golf di tangannya dengan batu kasar yang sebelumnya anak buahnya cari. Benda penting untuk permainan malam ini.

"Kira-kira harus kita ukir di mana, ya?"

"Di mukanya, Bos." Si botak menyarankan sambil tertawa-tawa di ikuti teman-temannya.

Agnor hanya tersenyum tipis sambil menoleh pada Sen. "Di ukir di mana?" tanyanya.

Sen tak menjawab. Orang waras mana yang akan menjawab pertanyaan itu? Terlebih korbannya adalah teman sendiri.

"Jawab atau batu ini gue ukir di seluruh tubuh lo." Suara Agnor mengalun dingin. "Di mana?" tekannya sekali lagi.

Felix berontak. "JANGAN MAU ANJING—" sebuah tamparan mendarat di kepala Felix. Lagi, menghentikan umpatannya.

Paduka Agnor (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang