Bab 8

32 4 0
                                    

🥀🥀🥀

Diandra mengerjap perlahan, matanya terasa silau karena cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah gorden. Ia tidur terlalu lama atau mungkin sebentar? Karena semalam pun ia tidak tahu tidur jam berapa. Perasaannya sedikit tidak nyaman pagi ini. Mungkin karena menangis semalaman.

Diandra beranjak duduk, ia memegangi kepalanya yang terasa sedikit pusing. Ia menyentuh pipinya ketika teringat sesuatu. Semalam, ia bermimpi aneh, ada seseorang yang menenangkannya ketika menangis. Dia menyeka air mata Diandra dengan ibu jarinya dan mengelus kepalanya dengan lembut, penuh kasih sayang. Rasanya seperti nyata, ia bahkan masih bisa merasakan sapuan tangan itu di wajahnya.

Itu mimpi atau bukan? Pikir Diandra. Namun, jika bukan mimpi, siapa yang masuk ke kamarnya?

Arjuna?

Diandra menggeleng pelan, tidak mungkin pria itu. Hubungan mereka bahkan seperti orang asing yang tinggal di satu atap. Rasanya tidak mungkin jika pria itu yang masuk ke kamarnya dan lebih masuk akal jika itu hanya mimpi. Ia juga ingat kalimat yang dikatakan orang itu—yang membuat dirinya merasa aman dan menghangatkan perasaannya. Semua itu benar-benar terasa nyata dan seperti bukan mimpi.

Diandra membuang napas pelan, lalu menyingkap selimutnya untuk turun dari tempat tidur. Namun ... tunggu! Diandra menatap selimut itu, rasanya semalam ia tidak memakai selimut, apa ia tidak ingat sudah menarik benda itu sampai menutupi tubuhnya?

Diandra mengusap wajah, terlalu banyak hal yang sulit diingat olehnya semalam karena kekacauan perasaannya saat ini.

***

Diandra mencium aroma yang membangkitkan rasa laparnya ketika baru saja turun dan berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti sejenak ketika mendapati Arjuna yang tengah sibuk di sana. Itu tentu pemandangan yang langka untuk Diandra, selama mereka menikah dan tinggal bersama beberapa minggu ini, ia belum pernah melihat pria itu bergelut dengan peralatan dapur, selain dengan mesin pembuat kopi.

Ia melanjutkan langkahnya untuk mengambil air putih. Arjuna yang menoleh sekilas ketika Diandra berdiri tak jauh darinya. Pria itu tidak menyapa sama sekali, sikapnya acuh tak acuh seperti biasanya. Diandra membawa gelasnya ke meja makan dan duduk di sana. Setelah ini, ia akan membuat sandwich, sebentar lagi ia berencana ke sebuah universitas untuk memenuhi panggilan wawancara. Beberapa hari yang lalu, Diandra melamar di sebuah universitas sebagai dosen dan ternyata dirinya menjadi kandidat terpilih.

Diandra merenung sejenak, ia juga memikirkan bagaimana cara untuk mencari informasi tentang sang ibu. Ia sama sekali tidak mempunyai koneksi atau seseorang yang mengenal ibunya di lingkungan ini. Ia harus menjadwalkan perjalanan ke Jogja dan mencari sendiri ke sana.

Saat tengah merenung, Diandra tersentak ketika Arjuna menyodorkan satu mangkuk sup ayam ke hadapannya. Wanita itu sontak mendongak ke arah pria yang masih berdiri di sampingnya.

"Mahardika bilang kamu gak enak badan semalam," ujar Arjuna.

"Mas Dika datang ke sini?" tanya Diandra sedikit terkejut sambil terus menatap Arjuna yang kembali menuju kabinet.

"Dia datang tadi pagi, tapi sayangnya kamu masih tidur."

"Oh." Diandra bergumam pelan sambil setengah merenung. Apa yang masuk ke kamar itu Mas Mahardika, ya? Diandra kembali menebak, karena ia merasa yakin jika itu bukan mimpi. Diandra kembali menarik diri ketika Arjuna bergabung di meja makan. Pria itu duduk di seberangnya.

Diandra mulai menyantap sup ayamnya, sesekali mencuri pandang ke arah Arjuna yang terlihat sibuk dengan makanannya sendiri. Meski tidak banyak kata yang terucap, kehadiran Arjuna pagi ini di meja makan terasa aneh baginya. Diandra tidak terbiasa melihat pria itu bangun pagi, apalagi sampai memasak di dapur. Ia selalu mendapati rumah sepi dan menyiapkan segalanya sendiri.

Panggung SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang