Bab 12

24 4 0
                                    

🥀🥀🥀

“Maaf ya, Bu. Saya gak bisa ke sana sekarang,” ujar Diandra pada Retno di sambungan telepon. 

Gak apa-apa. Ibu ngerti, kok. Kamu bisa ke sini kapan-kapan setelah situasinya membaik. Atau … nanti kami yang ke sana. Gimana?” 

Diandra tersenyum. “Iya, Bu. Saya tunggu di sini, ya.” 

Iya, nanti malem Ibu, Bapak, sama Mia ke rumah kamu.”

“Makasih ya, Bu.” 

Iya, Sayang. Ya udah, Ibu tutup dulu teleponnya, ya. Ibu mau bantuin Simbok di dapur nyiapin makan siang.” 

“Iya, Bu.” 

Telepon ditutup. Diandra menyimpan ponselnya di meja. Setelah sampai di rumah beberapa menit yang lalu, Diandra segera menghubungi Retno. Dan ternyata, wanita itu tahu tentang fotonya yang tersebar di sosial media. Diandra yang sebelumnya belum tahu apa-apa, ia jadi mengerti kenapa tiba-tiba didatangi wartawan dan ditanyai hal-hal itu.

Retno merasa khawatir karena itu. Namun, Diandra mengatakan baik-baik saja. Hanya sedikit panik. 

Diandra masih belum sepenuhnya membaik, kepanikannya tadi masih dirasakan. Namun, pelukan Arjuna benar-benar membuatnya nyaman dan tenang. Ia tidak menyangka jika pria itu memiliki sisi lembut seperti itu. 

Ketika sedang merenung, Arjuna datang sambil membawakan air minum. Pria itu duduk di sampingnya seraya menyodorkan gelas itu untuknya. 

“Makasih,” gumam Diandra walau masih bisa didengar oleh Arjuna. 

Arjuna mengusap wajah, menunduk sejenak, lalu menoleh ke arah Diandra seraya menumpukan kedua sikunya paha. “Saya mau minta maaf.” 

Diandra menyimpan gelasnya terlebih dahulu sebelum menyahut ucapan Arjuna. “Minta maaf buat apa?” 

“Karena kejadian tadi. Dan semua foto yang tersebar hari ini. Saya kurang hati-hati kemarin.” 

“Kamu gak perlu minta maaf. Udah risikonya kan, paparazi pasti ada di mana-mana karena kamu itu selebriti.” 

“Saya tahu, tapi ….” Arjuna merasa tidak bisa melanjutkan ucapannya. Mungkin memang seharusnya ia tidak meminta maaf dalam hal ini. Namun, ada sesuatu yang membuatnya merasa begitu bersalah. Apalagi, ketika Diandra mengalami serangan panik seperti tadi, itu bukan sesuatu yang bisa disepelekan.

“Kamu gak harus merasa bersalah. Saya sudah tahu risikonya sejak awal. Menikah dengan kamu berarti saya harus siap dengan semua hal seperti ini—paparazi, gosip, sorotan publik. Tapi saya tidak pernah benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi ini. Itu salah saya juga.”

Arjuna menatap wanita yang disampingnya dengan rasa kagum yang tak terucap. Diandra tetap bisa melihat ini dengan kepala dingin. Meski sebenarnya, keadaannya sekarang sedang tertekan. 

“Yang saya khawatirkan itu … kamu mungkin akan terlibat lebih jauh ke dalam drama keluarga saya.” Diandra melanjutkan. 

Arjuna mengernyit. “Maksud kamu? Apa dugaan saya selama ini benar? Ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari orang-orang.” 

“Saya belum cukup percaya untuk menceritakan semuanya sama kamu.”

Arjuna menatap Diandra yang masih terlihat lemah di sofa. Ia menyadari bahwa meskipun Diandra mencoba terlihat tegar, ada kepanikan yang tersisa di matanya. Perasaan bersalah kembali menyeruak, sesuatu yang jarang ia rasakan.

“Saya gak maksa kamu cerita,” sahut Arjuna, nada suaranya lebih pelan dari biasanya. “Tapi ... saya cuma mau bilang, kalau ada apa-apa, kamu bisa bilang.”

Panggung SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang