🥀🥀🥀
"Kok kamu gak ngasih tahu Mas kalau ngelamar kerja jadi dosen?" tanya Mahardika di seberang sana ketika Diandra meneleponnya.
"Aku gak punya kegiatan apa-apa selain melukis. Apa Mas juga gak boleh aku kerja?"
Mahardika diam sejenak. "Sebenarnya iya."
Diandra membuang napas pelan mendengar jawaban itu. "Tapi aku gak bisa selama bergantung sama Mas."
"Harusnya kamu bilang dulu. Mungkin nanti Mas bisa carikan posisi yang sesuai dengan latar belakang pendidikan kamu di kantor."
"Aku gak mau kerja di kantor Papa."
"Bukan di kantor Papa, tapi di perusahaan yang Mas kelola sendiri. Mas gak mau kalau kamu terlalu jauh dari lingkungan keluarga."
Diandra mengerutkan kening, merasa ada yang aneh dari cara Mahardika berbicara. "Aku mau sedikit kebebasan buat menentukan jalanku sendiri, Mas."
"Mas ngerti maksud kamu. Tapi Mas khawatir kamu terjebak di lingkungan yang salah." Mahardika membalas dengan nada yang terdengar sedikit posesif. "Lagian, kalau kamu ada di sini, Mas bisa jagain kamu. Kamu kan belum lama di Indonesia, jadi Mas lebih tahu mana yang aman buat kamu."
Diandra merasakan ada tekanan tidak langsung dari Mahardika. Rasanya, ketika masih berada di Swiss, kakaknya selalu mendukung apa yang terbaik untuknya.
"Aku ini udah dewasa, Mas. Aku bisa menentukan jalan yang baik buat diri sendiri."
Mahardika diam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara yang lebih lembut. "Kalau gitu paling nggak, kamu harus sering-sering kabarin Mas. Dan kalau kamu ngerasa gak nyaman sama lingkungan kerja atau ada yang ganggu. Kamu harus langsung kasih tahu Mas."
Diandra semakin merasa aneh dengan sikap Mahardika sekarang. Apa itu tidak terlalu berlebihan? Namun, ia tidak protes dan akhirnya mengiyakan.
"Iya, Mas."
"Nanti gimana kalau kita makan siang bareng? Kalau kamu udah selesai wawancara, Mas jemput ke sana."
Seulas senyum terbit di bibir wanita itu. "Boleh."
"Ya udah, sampai jumpa nanti, ya."
Diandra bergumam sebagai jawaban. Setelah itu, mereka mengakhiri telepon. Tak lama kemudian, namanya dipanggil ke ruangan. Dengan percaya diri, ia melangkah menuju tempat itu. Ia sangat menantikan kesempatan ini untuk memiliki kehidupan yang lebih mandiri.
Begitu Diandra masuk, suasana hangat dan nyaman menyambutnya. Jendela besar yang menghadap ke taman kampus membuatnya menampilkan pemandangan yang cukup menyegarkan.
Di sana ada seorang pria paruh baya yang tengah duduk, menatap Diandra dengan penuh perhatian.
"Selamat datang, Bu Diandra. Saya Rudi, tim Human Resources dan Kepegawaian Universitas yang akan mewawancarai Ibu hari ini. Silakan duduk." Pria itu memperkenalkan diri dengan senyum ramah.
Diandra mengangguk sambil duduk, berusaha menenangkan diri. Berharap semuanya bisa berjalan lancar. Sementara itu, Pak Rudi membuka dokumennya seraya sesekali menatap layar komputer.
"Bu Diandra ini lulusan University of Bern, ya? Saya perhatikan Anda meraih gelar Master di bidang ekonomi dan bisnis. Itu universitas yang luar biasa," puji Pak Rudi terkesan. "Dan Anda tinggal di Swiss selama 15 tahun? Tentu banyak hal yang bisa Anda bawa ke sini."
Diandra tersenyum lembut. "Terima kasih, Pak. Saya mulai tinggal di sana sejak remaja. Swiss memberi saya banyak pengalaman yang sangat berbeda dari di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggung Sandiwara
RomansaDiandra Ardani Kusuma adalah seorang putri yang terbuang dari keluarga Kusuma. Sejak kecil, ia sudah diasingkan ke luar negeri. Namun, Diandra terpaksa kembali ke Indonesia karena Irwan Kusuma, ayahnya, menjodohkan Diandra dengan Arjuna Gunawan Sant...