Bab 10

30 2 2
                                    

🥀🥀🥀

Diandra sudah menunggu di depan halaman kampus ketika Mahardika tiba. Pria itu segera keluar dan berlari kecil menuju ke arah Diandra yang menghampirinya. 

"Kok kamu nungguin di sini, sih? Panas lho." Mahardika sedikit mengomel ketika adiknya berdiri tak jauh dari mobilnya. Ia segera memayungi kepala Diandra dengan tangannya. "Kamu bisa tunggu di dalam, kan?" 

Diandra tersenyum. "Aku gak kepanasan, kok. Mas terlalu berlebihan, deh." 

Mereka mengobrol seraya berjalan menuju mobil. 
"Iklim di sini kan beda sama di Swiss. Di sini panas banget. Mas gak mau kamu kena matahari terlalu lama di siang hari kayak gini." Mahardika segera membuka pintu mobil seraya menahannya sebelum Diandra masuk. 

Diandra tidak menanggapi ucapan kakaknya itu. Namun, hal seperti ini memang terbiasa ditunjukkan Mahardika padanya. 

Setelah Diandra masuk, Mahardika segera memutari mobilnya untuk kembali ke tempat duduk pengemudi. 
"Gimana wawancaranya? Lancar?" tanya Mahardika sebelum menstarter mobilnya. 

Diandra mengangguk antusias. "Tinggal nunggu kabar selanjutnya. Semoga sesuai yang aku harapkan."

Mahardika mengangguk. "Tapi Mas masih penasaran," Mahardika mengubah posisi duduknya sedikit miring ke arah Diandra. "Kenapa kamu gak bilang soal ini ke Mas?" 

Diandra menatap mata pria itu. Selalu ada kehangatan di sana yang membuat Diandra nyaman. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini, tatapan pria itu terasa semakin dalam. 

"Aku mau melakukan segala hal yang aku lakukan sendiri, Mas. Aku gak bisa selamanya bergantung sama Mas Dika atau sama Papa." Diandra kembali menjelaskan. Ia bukan anak kecil lagi yang harus diarahkan untuk berbuat ini itu, bukan?

Mahardika membuang napas pelan. "Mas cuma mau kamu mendapatkan yang terbaik, Dira. Mungkin waktu di Swiss kamu bisa menentukan semuanya sendiri. Kalau di sini, Mas harus pastikan kamu nyaman dan aman." 

Entahlah, ada sesuatu yang aneh setiap kali Mahardika menyebutnya dengan panggilan itu. Sejak kecil, Diandra memiliki panggilan sendiri dari Mahardika. Panggilan Dira yang sebelumnya terdengar biasa saja, kali ini ada sesuatu yang membuatnya terasa berbeda. 

"Apa pilihan jadi dosen itu gak baik di mata Mas?" tanya Diandra. 

Mahardika terkekeh. "Nggak, itu justru sesuatu yang gak pernah terpikirkan buat Mas. Gak ada salahnya kalau kamu mau jadi dosen. Malah itu pilihan yang bagus karena kamu mau membagikan ilmu ke orang lain." Mahardika tersenyum, lalu menstarter mobilnya. 

Selama perjalanan, mereka mengobrol ringan. Mahardika senang bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Diandra. Senyumnya tidak hilang selama perjalanan menuju restoran. Tak lama kemudian, mereka sampai. Mahardika segera turun dan membukakan pintu untuk Diandra. 

Suasana restoran yang cukup ramai menyambut mereka. Mahardika dan Diandra segera menuju tempat yang sudah dipesan sebelumnya dengan diantar oleh seorang pelayan. 

"Mas pesan private room?" tanya Diandra sedikit terkejut. "Ada lagi yang mau makan bareng kita?" 
Mahardika menggeleng pelan seraya menarik kursi untuk tempat duduk Diandra. "Cuma kita berdua." 
Kening Diandra mengernyit samar. Padahal, di luar sana tempatnya terlihat lebih nyaman.

"Mas mau kita habiskan waktu cuma berdua aja, tanpa gangguan. Sejak kamu pulang ke Indonesia, kita belum quality time bareng, kan?"

Senyum Diandra mengembang, menghilangkan segala kejanggalan yang sebelumnya dirasakan. Mereka memang sering menghabiskan waktu berdua. Jika Mahardika mengunjunginya ke Swiss, mereka akan menghabiskan waktu seharian penuh. Harusnya, Diandra tidak merasakan sesuatu yang aneh karena mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

Panggung SandiwaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang