🥀🥀🥀
Setelah Utari meninggalkan rumah itu, Diandra terdiam dalam keheningan yang mencekam. Tubuhnya masih ambruk di lantai karena seluruh tenaganya belum mempunyai tenaga untuk bangkit.
Ucapan Utari terus bergema di kepalanya, ia terus menyangkal jika penyebab ibunya gila adalah karena kehadiran dirinya di dunia ini. Kenangan bersama sang ibu kembali membanjiri ingatannya. Wanita itu selalu tampak ceria jika sedang bersamanya, tetapi Diandra juga tidak jarang menemukannya menangis sendirian di malam hari. Saat itu, Diandra masih belum mengerti apa-apa, ia hanya bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh Ratih.
Diandra beranjak perlahan, waktu sudah semakin larut. Ia khawatir jika Arjuna pulang dan masih mendapatinya dalam keadaan seperti ini. Ia tidak ingin menunjukkan apa pun di depan pria itu. Langkahnya gontai menuju lantai dua, kepalanya terasa pening karena segala hal memenuhi kepalanya sekarang.
Begitu sampai di kamar, Diandra ingat sesuatu saat melihat ponsel yang tergeletak di tempat tidurnya. Ia harus menghubungi Mahardika sebelum pria itu datang menjemput. Lebih baik, Diandra mengurungkan niatnya untuk pergi ke acara itu. Pintu setengah terbuka ketika Diandra berjalan menuju tempat tidurnya.
Saat menyalakan ponsel, Diandra menemukan beberapa panggilan tidak terjawab dari Mahardika. Ia segera menyeka air mata dan mengatur napasnya sebelum menelepon balik pria itu.
"Halo, Mas." Raut wajah Diandra berubah dan senyumnya tersungging ketika teleponnya diangkat oleh kakaknya.
"Dari tadi Mas telepon kok gak diangkat? Mas jemput kamu sekarang, ya."
"Maaf Mas, hp-nya aku silent. Jadi gak tahu kalau Mas telepon."
"Suara kamu kenapa?" Mahardika menyadari perubahan suara Diandra yang sedikit sengau.
Diandra ragu sejenak. "Aku ... gak enak badan, Mas. Tiba-tiba aku terserang flu. Kayaknya aku gak bisa datang ke acara kantor Papa malam ini."
"Kalau gitu, Mas ke sana sekarang, ya. Mas antar kamu ke dokter." Suara Mahardika terdengar khawatir saat Diandra mengatakan tidak enak badan.
"Gak usah, Mas," cegah Diandra cepat. "Aku cuma butuh istirahat aja. Sampaikan aja ke Papa, maaf aku gak bisa datang."
Mahardika membuang napas pelan. "Oke, besok pagi Mas ke sana. Cepet sembuh, ya. Kamu istirahat sekarang. Kalau butuh sesuatu, kamu telepon Mas aja."
"Iya, Mas." Suara Diandra hampir berbisik karena menahan air matanya.
Setelah itu, telepon terputus. Kesunyian langsung menyelimuti ruangan dan air matanya mulai mengalir. Tubuhnya kembali luruh, tangannya gemetar ketika meremas sprei sekuat tenaga.
Kata-kata Utari kembali terngiang di kepalanya, seperti rekaman yang diulang terus menerus sampai Diandra merasa harus menutup telinganya. Ia memekik seraya menutup kedua telinganya, berharap kalimat menyakitkan itu bisa berhenti di kepalanya.
Air matanya tak terbendung lagi. Ada sesuatu yang begitu menekan di dadanya, hingga rasanya begitu sesak dan menyakitkan. Keraguan, kebingungan, rasa bersalah, bercampur menjadi satu. Menghancurkan segala pertahanan yang selama ini Diandra bangun.
Apa benar kehadiranku di dunia ini jadi beban buat Mama? Diandra bergumam dalam hati, pertanyaan itu yang kini berputar di kepalanya. Apa harusnya aku tidak dilahirkan di dunia ini?
Diandra merasakan kekacauan dalam dirinya. Ia tidak bisa menyangkal lagi segala kata-kata yang memenuhi kepalanya, begitu berisik walau keadaan di kamarnya sangat hening. Hanya terdengar isak tangisnya saja yang memilukan.
![](https://img.wattpad.com/cover/379633110-288-k955132.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggung Sandiwara
RomanceDiandra Ardani Kusuma adalah seorang putri yang terbuang dari keluarga Kusuma. Sejak kecil, ia sudah diasingkan ke luar negeri. Namun, Diandra terpaksa kembali ke Indonesia karena Irwan Kusuma, ayahnya, menjodohkan Diandra dengan Arjuna Gunawan Sant...