🐚Bab 11

7 2 0
                                    

🐚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐚

Sesuai ajakan Hindia saat bertemu Helia di loker Helia, mereka berdua pergi ke jembatan tua yang dimaksud oleh Hindia sepulang sekolah. Sebuah jembatan tua yang berada di pinggiran kota.

Kaki mereka berhadapan, diatas trotoar jembatan. Diantara mereka saling mengingat satu sama lain akan kejadian tiga minggu yang lalu, yang mengubah keduanya hingga masih bertemu sampai kini.

Hanya hembusan angin diantara kedua mata mereka. Memaksa mengedipkan mata mereka beberapa kali. Hindia mencoba membuka topik bahasan.

"Jembatan tua ini," ucap pelan Hindia. Helia yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya, menatap wajah manis Hindia. "Kenapa, jembatan tua ini?"

"Jembatan ini dahulu dibangun oleh Cornelis dan dua belas pembantunya selama hampir sembilan bulan lamanya."

"Fungsinya?" tanya Helia agar memperpanjang obrolan. "Waktu itu perkebunan Cornelis sangat subur, dan panen besar. Namun, ketika ingin mengantar hasil bumi ke kota utama, ia terhalang oleh jarak yang jauh dan memutar. Sehingga Cornelis membangun jembatan ini."

"Sekarang, jembatan tua ini masih kokoh berdiri, menyebrangi Sungai Cullin di bawahnya." jelas Hindia.

"Tapi jembatan ini,"

"Kenapa?" tanya Helia lagi. "Jembatan ini sekarang sering disalahgunakan oleh banyak orang, untuk mengakhiri hidup."

Helia menunduk seketika. "Banyak panggilan darurat yang sering diterima kepolisian setempat, berisi ditemukannya mayat orang bunuh diri di bawah, di aliran Sungai Cullin."

Lalu sunyi hadir mengalir diantara mereka kembali. Cukup suara deras air sungai Cullin yang menghantam batuan membuat arus berkelok saja yang terdengar di sore sepi.

Helia mengangkat kepala. "Lu tau kalau seluruh siswa memanggil lu 'Si Aneh' bukan?"

Hindia menyeringai. "Mereka itu, selalu menempatkan sesuatu, dan banyak hal ke dalam tiap-tiap boks, dan memberinya sebuah label,"

Helia mendengar penjelasan Hindia. "Dan yang dianggap berbeda, tidak sama seperti mereka, hingga cacat, mereka labeli dengan sesuka hati mereka. Mereka pikir mereka berkuasa."

Batin Helia tertegun. Belum pernah ia mendengar penjelasan terkait mengapa ada panggilan-panggilan nama siswa yang nyeleneh di sekolah. "Ya, mereka yang keren, yang pintar, yang berotak udang, yang jago dalam baseball adalah yang berkuasa di sekolah." lanjut Hindia.

"Label mana yang lu pilih, Hel? Sepertinya ada manusia juga yang pantas untuk memilih labelnya."

Helia terkesiap. "Eh? Gua?" Hindia mengiyakan pelan. "Gua gak tau. Gak tau pantas memilih atau tidak." ujar Helia. Pipinya tersipu. "Gua rasa ada satu boks yang bisa lu pilih sebagai label lu."

Samudra HindiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang