%
Setelah jam sekolah berakhir, Shera dan Keyra berjalan keluar gerbang. Mahesa dan Ezekiel sudah menunggu, seperti biasa. Mereka berdua kini hampir seperti bayangan Shera, selalu ada di mana pun dia berada.
"Shera," sapa Mahesa dengan senyum lembut. "Gue bisa anterin lo pulang hari ini. Kebetulan gue lewat daerah rumah lo."
Tapi sebelum Shera bisa menjawab, Ezekiel sudah menyela. "Nggak usah repot-repot, Hesa. Gue udah janji bakal ngajak Shera makan es krim hari ini. Lo mau ikut, Shera?"
Shera terdiam, menatap kedua cowok itu dengan bingung. Ada sesuatu di mata Mahesa yang berbeda hari ini, sorot mata yang lebih dalam dan penuh arti, seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata biasa.
Melihat Shera terdiam, Keyra langsung menyelamatkan situasi lagi. "Eh, Shera, lo kan udah janji sama gue mau belajar bareng di rumah hari ini! Ingat nggak?" ujarnya sambil menarik lengan Shera pelan.
Mahesa dan Ezekiel tampak kecewa, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Shera tersenyum canggung dan mengangguk. "Iya, maaf ya, Mahesa, Kiel. Mungkin lain kali kita bisa jalan bareng lagi."
Begitu sampai di rumah shera, Shera langsung menghempaskan dirinya di atas kasur. "Gue bener-bener nggak ngerti, Key. Setiap kali mereka muncul, gue ngerasa tertekan. Tapi kalau Mahesa nggak ada di sekitar gue, gue malah jadi kangen."
Keyra duduk di samping Shera dan menatapnya dengan serius. "Denger ya, Shera. Kalau lo udah mulai kangen sama Mahesa, itu tandanya hati lo udah milih. Lo cuma harus punya keberanian buat ngomong ke Mahesa... atau setidaknya nunjukin perasaan lo."
Shera menunduk, memikirkan kata-kata Keyra. Mungkin sudah saatnya dia jujur pada dirinya sendiri dan pada Mahesa. Tapi ada satu hal yang membuatnya ragu—bagaimana dengan Ezekiel? Dia tidak ingin melukai perasaan orang yang sudah begitu baik dan menyenangkan di sisinya.
Sore harinya, Shera akhirnya memberanikan diri untuk bertemu dengan Mahesa di taman tempat mereka biasa latihan skateboard. Ketika Shera tiba, Mahesa sudah menunggunya dengan skateboard di tangannya.
"Shera, gue senang lo mau ketemu," ujar Mahesa dengan senyum lembut yang biasa. "Ada yang pengen lo omongin?"
Shera menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai kata-kata di kepalanya. Tapi sebelum dia bisa membuka mulut, tiba-tiba Ezekiel muncul dari arah belakang dengan ekspresi yang penuh percaya diri.
"Hey, Shera! Gue nggak sengaja lewat sini. Ada yang lagi ngumpul, ya?" katanya sambil tersenyum lebar, seolah tidak menyadari ketegangan di udara.
Mahesa melirik Ezekiel dengan tatapan dingin. Shera bisa merasakan bahwa situasi ini tidak akan berakhir baik jika terus berlanjut. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Sore harinya, Shera akhirnya memberanikan diri untuk bertemu dengan Mahesa di taman tempat mereka biasa latihan skateboard. Ketika Shera tiba, Mahesa sudah menunggunya dengan skateboard di tangannya.
"Shera, gue senang lo mau ketemu," ujar Mahesa dengan senyum lembut yang biasa. "Ada yang pengen lo omongin?"
Shera menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai kata-kata di kepalanya. Tapi sebelum dia bisa membuka mulut, tiba-tiba Ezekiel muncul dari arah belakang dengan ekspresi yang penuh percaya diri.
"Hey, Shera! Gue nggak sengaja lewat sini. Ada yang lagi ngumpul, ya?" katanya sambil tersenyum lebar, seolah tidak menyadari ketegangan di udara.
Mahesa melirik Ezekiel dengan tatapan dingin. Shera bisa merasakan bahwa situasi ini tidak akan berakhir baik jika terus berlanjut. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Why You Love Me?
Teen Fictiondi mana skateboard beradu dengan perasaan, cinta meluncur lebih cepat dari skateboard di lapangan, dan hati bisa crash lebih keras daripada jatuh dari papan! 🛹 manusia memiliki hati dan perasaan, meski wujud mereka berbeda-beda. Namun, sering kali...