%
"Masih apa, Mahesa?" Shera memotong, ingin mendengar kejujuran dari mulut Mahesa.
Mahesa menatap mata Shera dengan tatapan penuh penyesalan. " masih cintai sama lo , Shera. Tapi gue gamau lo menderita karena perasaan ini. gue gak bisa ngasih yang lo butuhkan sekarang."
Air mata Shera akhirnya jatuh. Ia merasa lega mendengar kata-kata itu, tapi juga hancur karena ketidakpastian yang masih menyelimuti hubungan mereka. "Kalau gitu gue harus apa Mahesa?"
Mahesa terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. " gue gak berhak minta lo nunggu, Shera. Tapi gue juga gak bisa memaksa diri gue untuk lepasin lo . Mungkin... yang terbaik adalah kalau kita menjalani hidup kita masing-masing untuk sementara waktu. kalau memang takdir mempertemukan kita lagi di kemudian hari, gue akan kembali padamu."
Shera mengangguk dengan berat hati, meski rasa sakit itu begitu menusuk. " gue akan mencoba. Tapi gue berharap lo tahu, itu gak mudah bagi gue untuk lupain perasaan ini."
%
Senja baru saja turun ketika Shera melangkah sendirian di jalan setapak di belakang sekolah. Angin sore berembus pelan, namun hatinya terasa berat, seolah ada badai yang menggulung di dalam dadanya. Setelah percakapan terakhirnya dengan Mahesa, ia merasa terombang-ambing dalam ketidakpastian. Meskipun Mahesa mengaku masih mencintainya, kenyataan bahwa dia begitu dekat dengan Amara terus menghantuinya.
Saat Shera berjalan tanpa tujuan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia melihat sosok yang sangat dikenalnya Mahesa berdiri tak jauh di depan, tepat di bawah lampu taman yang temaram. Mahesa tampak terkejut melihat Shera mendekatinya. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ada banyak kata yang ingin diucapkan namun tertahan.
"Mahesa!" panggil Shera dengan nada penuh emosi. Ia mempercepat langkahnya, wajahnya penuh dengan amarah yang tertahan. Mahesa menoleh, namun tidak bergerak mendekat. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak penuh kebingungan.
"Shera, ngapain disini ?" tanya Mahesa pelan.
Shera berhenti tepat di depan Mahesa, matanya yang basah menatap tajam ke dalam mata Mahesa. "Kenapa lo pergi , Mahesa? Kenapa lo menjauh tanpa penjelasan yang jelas? Kau bilang menyuruhku menunggu, tapi... siapa lo sebenarnya?" Suaranya bergetar, menahan amarah dan kesedihan yang sudah lama ia pendam.
Mahesa terdiam, menatap Shera yang terlihat begitu terluka. "Shera, bukan sudah jelaskan, kan? gue gak mau nyakitin lo lagi..."
Namun Shera memotongnya dengan suara yang lebih keras. "Apa hakmu mengatur hidupku, Mahesa? Apa hakmu memintaku menunggu lalu tiba-tiba ninggalin gue tanpa alasan? lo bilang lo cinta, tapi lo malah memilih bersama Amara!" Shera merogoh ponselnya dengan tangan yang gemetar, lalu menunjukkan foto yang baru saja ia temukan.
Di layar ponsel Shera, terlihat foto Mahesa dan Amara, duduk berdua di kafe dengan senyum lebar di wajah mereka. Mahesa terlihat begitu bahagia, senyuman yang Shera pikir hanya ia yang bisa membuatnya muncul. "Lihat ini, Mahesa! Kau tersenyum bersama dia seperti tidak pernah menyakitiku. Kau terlihat begitu bahagia, seolah-olah aku tidak pernah ada dalam hidupmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
So Why You Love Me?
Teen Fictiondi mana skateboard beradu dengan perasaan, cinta meluncur lebih cepat dari skateboard di lapangan, dan hati bisa crash lebih keras daripada jatuh dari papan! 🛹 manusia memiliki hati dan perasaan, meski wujud mereka berbeda-beda. Namun, sering kali...