-%-
Hari itu, Shera datang ke sekolah seperti biasa. Ia berjalan menyusuri koridor dengan tas punggung yang menggantung di satu bahu, berusaha melupakan pikiran-pikiran yang membuatnya gelisah. Namun, sekolah terasa sedikit berbeda pagi itu—bisikan-bisikan dan tatapan penasaran dari siswa-siswa lain memenuhi udara. Ada seorang murid baru
Shera tidak terlalu memedulikan gosip itu sampai ia tiba di kelasnya dan melihat sosok yang tak pernah ia duga akan muncul di sana.
Di sudut kelas, anak baru yang mereka maksud ternyata mahesa , ia duduk dengan kepala tertunduk, rambutnya terlihat lebih panjang dan sedikit acak-acakan. Penampilannya jauh lebih dingin dan tertutup dibandingkan terakhir kali Shera melihatnya. Ia tak lagi terlihat sebagai anak yang selalu penuh senyum dan percaya diri. Sekarang, tatapannya hampa, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Shera terpaku di ambang pintu. Hatinya seolah berhenti berdetak sesaat. Rasa rindu, marah, dan bingung bergejolak dalam dirinya. Mahesa mengangkat kepala dan tatapan mereka bertemu. Namun, alih-alih menyapa seperti yang biasa ia lakukan, Mahesa hanya menatapnya dengan datar, tanpa ekspresi, sebelum kembali menunduk.
Keyra yang berdiri di samping Shera menepuk pelan bahunya. "shera lo gapapa?" bisiknya, khawatir melihat Shera yang tampak kaget.
Shera mengangguk, berusaha menata kembali pikirannya. "gue gapapa key , gue kaget aja dia tiba-tiba muncul."
Sepanjang pelajaran, Shera tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arah Mahesa. Namun, Mahesa seolah tak peduli pada kehadirannya. Ia lebih banyak menunduk atau memandang ke luar jendela, tenggelam dalam dunianya sendiri. Sikap dinginnya membuat Shera bertanya-tanya, apakah Mahesa benar-benar berubah, atau ia sedang menyimpan luka yang lebih dalam?
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Shera memutuskan untuk mendekatinya. Hatinya berdebar saat ia berjalan ke arah Mahesa yang masih duduk di mejanya, merapikan buku-bukunya dengan lambat.
"Mahesa," panggil Shera dengan suara lembut.
Mahesa mengangkat kepalanya, tetapi hanya menatap Shera dengan tatapan kosong. "kenapa sher?" ucapnya dingin, tanpa nada kehangatan yang biasa.
Shera terdiam, seolah tertampar oleh sikap Mahesa yang begitu berbeda. "gue senang lo kembali," katanya lirih, mencoba menahan emosinya.
Mahesa hanya menghela napas panjang dan memalingkan wajahnya. "Kembali? Mungkin, tapi gue ga yakin untuk apa," jawabnya sebelum bangkit dan pergi meninggalkan Shera yang berdiri mematung.
Shera menggigit bibirnya, merasakan air mata hampir tumpah. Ia tahu Mahesa berubah, tapi ia juga tahu, di balik dinding yang Mahesa bangun, masih ada Mahesa yang dulu ia kenal. Dan untuk itu, Shera memutuskan akan terus menunggu, meskipun kali ini jalannya terasa lebih sulit
Hari demi hari berlalu, dan Shera terus mencoba menepati janjinya pada dirinya sendiri: menunggu Mahesa. Meskipun sikapnya dingin dan menyakitkan, Shera yakin ada alasan di balik perubahan Mahesa. Ia percaya Mahesa masih menyimpan bagian dari dirinya yang hangat, penuh tawa, seperti dulu.Namun, kenyataan ternyata jauh lebih kejam.
Sudah beberapa minggu sejak Mahesa menjadi siswa di sekolah itu, dan Shera mulai menyadari bahwa setiap usaha untuk mendekat malah berakhir dengan penolakan yang semakin tajam. Mahesa seolah sengaja menarik batas yang tak terlihat di antara mereka. Saat Shera mencoba menyapa, Mahesa hanya merespons dengan kalimat pendek dan dingin, tanpa menatap matanya. Setiap kali Shera mendekat, Mahesa tampak menjauh lebih jauh lagi.Puncaknya terjadi suatu hari di taman belakang sekolah. Itu adalah tempat favorit Shera untuk menyendiri, mengingat kenangan lama yang pernah mereka bagi di sana. Shera melihat Mahesa sedang duduk di bangku, sendiri, seperti sedang tenggelam dalam pikirannya. Kali ini, Shera memutuskan bahwa ia harus berbicara dengannya, apa pun yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Why You Love Me?
Teen Fictiondi mana skateboard beradu dengan perasaan, cinta meluncur lebih cepat dari skateboard di lapangan, dan hati bisa crash lebih keras daripada jatuh dari papan! 🛹 manusia memiliki hati dan perasaan, meski wujud mereka berbeda-beda. Namun, sering kali...