gantikan ku?

3 0 0
                                    

%

Setelah pertemuan yang penuh amarah dengan Keyra, kata-katanya terus terngiang-ngiang di kepala Mahesa. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak bisa tidur. Kata-kata Keyra mengguncang dirinya, mengungkit semua kenangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Ia berpikir tentang Shera—tentang senyum hangatnya, tentang kesabaran dan ketulusan yang selalu ia tunjukkan, bahkan ketika ia terus menyakiti hatinya.

Mahesa akhirnya sadar bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Shera adalah satu-satunya orang yang tetap berada di sisinya ketika segalanya runtuh. Tapi bagaimana ia membalasnya? Dengan pengkhianatan, ejekan, dan penghinaan. Hati Mahesa terasa seperti dihimpit batu, semakin berat setiap kali ia mengingat ekspresi Shera yang penuh luka ketika ia menghina dan menolaknya.

Keesokan harinya...

Mahesa datang lebih awal ke sekolah. Ia bertekad untuk memperbaiki kesalahannya, meskipun ia tahu itu mungkin sudah terlambat. Ketika ia melihat Shera di taman belakang, tempat yang dulu menjadi favorit mereka, hatinya berdebar kencang. Shera duduk di sana, sendirian, memandangi langit pagi yang masih berwarna lembayung.

"Shera," panggil Mahesa pelan, suaranya bergetar.

Shera menoleh, dan untuk sesaat, ada kilatan rasa sakit di matanya sebelum ia menunduk kembali. "Apa lagi, Mahesa?" tanyanya lelah, suaranya nyaris berbisik.

Mahesa menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. "Gue... gue minta maaf," katanya dengan suara serak. "Gue tau gue udah nyakitin lo. Gue nggak punya alasan yang cukup baik untuk semua yang gue lakukan. Gue... gue cuma lagi kacau, Shera."

Shera tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Mahesa, mencoba mencari kejujuran di balik kata-katanya. Mahesa tampak lebih lelah dari biasanya, seperti membawa beban dunia di pundaknya. Namun, setelah semua yang terjadi, Shera tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata itu lagi.

"Kenapa sekarang, Mahesa?" Shera bertanya akhirnya, suaranya terdengar lebih kuat daripada yang ia rasakan. "Kenapa baru sekarang lo minta maaf setelah semua yang lo lakuin? Setelah lo bikin gue merasa begitu bodoh karena terus nunggu lo?"

Mahesa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu kata-katanya tidak akan cukup. "Karena gue akhirnya sadar betapa gue udah salah. Gue nyakitin orang yang paling peduli sama gue... orang yang gue peduliin juga." Mahesa menggigit bibirnya, suaranya hampir pecah.

Shera menutup matanya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Ia ingin percaya, ingin memaafkan Mahesa dan berharap semuanya bisa kembali seperti dulu. Dan pada akhirnya, meskipun hatinya sudah hancur berkali-kali, ia masih ingin percaya bahwa Mahesa yang ia kenal masih ada di sana, di balik semua dinding dingin yang ia bangun.

"gue maafin lo" Shera berkata pelan, menghembuskan napas panjang seolah melepaskan beban yang ia bawa selama ini. "Tapi tolong... jangan buat gue berharap lagi kalau lo bakal berubah dan balik jadi seperti dulu."



Beberapa minggu berlalu...

Setelah permintaan maaf itu, Mahesa benar-benar berusaha memperbaiki segalanya. Ia mulai menunjukkan perhatian yang dulu hilang, mencoba memperbaiki hubungan mereka. Ia mengajak Shera bicara, menemaninya berlatih skateboard seperti dulu, dan bahkan sesekali menertawakan lelucon yang mereka buat bersama.

Mahesa dan Shera duduk di atas skateboard mereka, menikmati semilir angin setelah berlatih. Mahesa menyeka keringat di dahinya dengan tangan.

"Shera, gue masih nggak ngerti kenapa lo bisa lari lebih cepat daripada gue," ujar Mahesa dengan nada pura-pura mengeluh. "Padahal lo lebih pendek. Teorinya, lo harusnya lebih lambat, kan?"

So Why You Love Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang