kau masih hidup

1 0 0
                                    

%

Setelah berbulan-bulan terkurung dalam kesedihan dan kehampaan, Shera akhirnya memutuskan untuk bangkit. Ia tahu tidak ada yang bisa ia andalkan lagi kecuali dirinya sendiri. Keluarganya telah hancur, dan ia tidak ingin terus-terusan terperangkap dalam bayangan masa lalu yang menyakitkan.

Dengan sisa-sisa tabungan yang ia miliki, Shera mulai mencari pekerjaan. Ia akhirnya diterima sebagai barista di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Tempat itu menjadi pelariannya, di mana ia bisa melupakan sejenak semua rasa sakit yang menghantui pikirannya. Setiap hari, Shera berdiri di balik mesin espresso, menuangkan kopi dengan penuh konsentrasi, mencoba menenggelamkan diri dalam aroma kopi yang menenangkan.

Namun, meskipun ia sibuk dengan pekerjaan, rasa kesepian masih menyelimuti hatinya. Ketika malam tiba dan pelanggan terakhir meninggalkan kedai, Shera seringkali duduk sendirian, menatap keluar jendela, bertanya-tanya kapan hidupnya akan kembali normal  atau setidaknya lebih baik.

Suatu sore yang dingin, Shera sedang bekerja seperti biasa. Kedai kopi itu ramai dengan suara pelanggan yang bercakap-cakap dan musik jazz yang mengalun pelan. Shera menyeka keringat di dahinya dan melayani pesanan dengan senyum yang dipaksakan. Namun, tiba-tiba, senyumnya memudar ketika sosok yang tak asing masuk ke dalam kedai.

Ayahnya.

Shera tertegun, matanya membelalak melihat pria yang dulu ia panggil "ayah" kini berdiri di depannya. Rambut ayahnya yang dulu rapi kini berantakan, wajahnya terlihat lebih tua dari yang ia ingat. Namun, pria itu tampak bahagia, dengan pakaian mahal dan gaya yang mencerminkan kehidupan yang berbeda dari yang ia tinggalkan.

Shera mencoba untuk tetap profesional. Ia mengambil napas dalam-dalam dan memaksakan senyuman yang kaku. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya dengan nada formal, meskipun hatinya berdebar kencang.

Ayahnya menatap Shera dengan mata yang samar-samar mengenali. Lalu, dengan nada datar, ia berkata, "Kamu ternyata masih hidup ya"

Kalimat itu menghantam Shera seperti tamparan keras di wajah. Seketika, perasaan lama yang ia coba kubur selama ini kembali mencuat. Air matanya hampir tumpah, tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan pria yang pernah ia anggap sebagai ayah, yang telah meninggalkannya begitu saja tanpa sedikit pun rasa peduli.

" ngapain disini?" Shera bertanya dengan suara bergetar, mencoba tetap tenang.

Ayahnya hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kebetulan lewat saja," jawabnya singkat. Seolah-olah mereka tidak pernah memiliki masa lalu bersama. Seperti Shera tidak pernah menjadi bagian dari hidupnya. "hanya ingin liat apakah kamu baik-baik saja setelah... semua yang terjadi," tambahnya dengan nada yang dingin, seakan Shera hanyalah kenangan yang tidak penting lagi.

Shera menggigit bibirnya, menahan diri agar tidak menangis di depan pelanggan lain. "Saya bisa urus diri saya sendiri."jawabnya dengan tegas, meskipun suaranya bergetar.

Ayahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya menatap Shera sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke menu di papan tulis. "Kalau begitu, buatkan kopi hitam," ucapnya tanpa sedikit pun rasa hangat.

Shera mengangguk, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. Tangannya gemetar saat ia menyeduh kopi pesanan ayahnya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Ketika cangkir kopi akhirnya selesai, Shera menyajikannya dengan tangan yang bergetar.

"Ini, kopi Anda," katanya datar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak meledak.

Ayahnya mengambil cangkir itu, menyeruputnya tanpa kata-kata, lalu meletakkannya kembali dengan tenang. "Kamu sudah dewasa sekarang ya, Shera," ucapnya tanpa menatap wajah putrinya. "Semoga kamu bisa bertahan. saya harus pergi."

So Why You Love Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang