-%-
Setelah segala drama yang terjadi, Shera merasa hatinya masih terlalu kacau untuk segera membuat keputusan. Namun, di satu sisi, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaannya untuk Mahesa tetap ada—meskipun penuh dengan kebimbangan dan luka.
Beberapa hari setelah pertemuan di taman, Shera duduk di kamarnya sambil memandangi ponsel di tangannya. Ia teringat wajah Mahesa ketika pria itu berjanji akan menunggu. Wajah itu penuh dengan ketulusan, tapi juga ketakutan kehilangan dirinya.
Shera menggigit bibirnya, mencoba menenangkan detak jantung yang berdetak lebih cepat setiap kali bayangan Mahesa muncul di benaknya. Ia tak bisa mengelak: di antara semua kebingungan ini, perasaannya pada Mahesa begitu nyata dan tak tergantikan.
Shera merasa hatinya masih terlalu kacau untuk segera membuat keputusan. Namun, di satu sisi, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaannya untuk Mahesa tetap ada—meskipun penuh dengan kebimbangan dan luka.
Beberapa hari setelah pertemuan di taman, Shera duduk di kamarnya sambil memandangi ponsel di tangannya. Ia teringat wajah Mahesa ketika pria itu berjanji akan menunggu. Wajah itu penuh dengan ketulusan, tapi juga ketakutan kehilangan dirinya.
Shera menggigit bibirnya, mencoba menenangkan detak jantung yang berdetak lebih cepat setiap kali bayangan Mahesa muncul di benaknya. Ia tak bisa mengelak: di antara semua kebingungan ini, perasaannya pada Mahesa begitu nyata dan tak tergantikan.
Seminggu berlalu sejak pertemuan di taman itu. Mahesa benar-benar menepati janjinya untuk tidak memaksa Shera. Ia tidak menghubungi Shera lebih dulu, membiarkan gadis itu memiliki ruang dan waktu yang ia butuhkan. Namun, justru itulah yang membuat Shera semakin gelisah.
Setiap malam sebelum tidur, Shera memandangi pesan terakhir Mahesa yang tertulis dengan sederhana, "Gue akan nunggu lo, Shera." Pesan itu tidak pernah dibalasnya, namun Shera seringkali membuka chat tersebut, membaca ulang, dan menatap layar ponselnya dalam kebisuan.
Keyra, sahabatnya yang selalu ceria, mulai menyadari perubahan Shera. Suatu siang di kantin sekolah, Keyra menatap Shera yang tampak melamun sambil mengaduk jus mangga tanpa minat.
"Lo mikirin Mahesa lagi, ya?" tanya Keyra tiba-tiba, membuat Shera tersentak kaget.
"Eh, apaan sih, Key?" Shera mencoba menyangkal, tapi rona merah di pipinya tak bisa disembunyikan.
Keyra hanya terkekeh. "Dengerin, Shera. Kalau lo memang masih sayang sama Mahesa, kenapa nggak lo kasih kesempatan? Dia kan udah bilang bakal nunggu lo."
Shera menggigit bibirnya, menatap meja di depannya. "Gue takut, Key. Kalau ternyata gue kasih kesempatan, terus dia nyakitin gue lagi... gue nggak tahu apa gue bisa tahan."
Keyra meletakkan tangannya di pundak Shera, senyumnya melunak. "Cinta itu nggak selalu mudah, Shera. Kadang kita harus ambil risiko kalau bener-bener pengen tahu. Kalau lo terus ragu, lo nggak akan pernah tahu gimana rasanya cinta yang sesungguhnya."
Sore itu, setelah pulang sekolah, Shera memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sudah lama ia hindari. Ia mengetik pesan di ponselnya, jemarinya sedikit gemetar saat menekan setiap huruf.
"Hesa, gue mau ketemu. Bisa sekarang di taman biasa?"
Tidak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
"Gue dateng."
Hanya dua kata, namun cukup untuk membuat jantung Shera berdebar kencang. Ia berlari ke taman dengan perasaan yang campur aduk—antara bahagia, cemas, dan harapan yang berbaur menjadi satu.
Mahesa sudah menunggunya di sana. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sedikit tegang. Namun, begitu melihat Shera datang, seulas senyum lega muncul di bibirnya.
"Shera," ucap Mahesa pelan, seolah takut merusak momen itu dengan suaranya.
Shera menarik napas panjang sebelum berbicara. "Hesa, gue udah pikirin semuanya selama ini. Dan... gue sadar kalau gue juga nggak bisa ngebohongin perasaan gue sendiri."
Mahesa menatapnya dengan tatapan penuh harap, tapi tetap berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu bersemangat. "Dan... apa yang lo putuskan?"
Shera menggenggam kedua tangannya, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. "Gue... mau lo buat buktiin kalau lo bener-bener tulus kali ini. Gue nggak mau sakit hati lagi."
Mahesa menggenggam tangan Shera sekali lagi, kali ini lebih erat. "gue gak mau kehilangan lo, Shera. Tapi gue juga gak mau bawa lo ke dalam kehidupan gue yang penuh dengan masalah sekarang. gue mohon... tunggu gue kasih gue waktu untuk selesain semuanya. gue pastiin kalau gue bisa menjadi orang yang layak untuklo."
Air mata Shera menggenang di sudut matanya, tetapi ia berusaha tersenyum. " gue ngerti, Mahesa. kalau itu yang lo butuhkan, gue bakal nunggu lo ."
Mahesa menatap Shera dengan penuh rasa terima kasih. "gue janji, Shera. Setelah semuanya beres, gue bakal kembali , dan saat itu, gue bakal memastikan kalau kita bisa memulai dari awal dengan lebih baik."
Shera mengangguk pelan. Ia tahu bahwa menunggu bukanlah hal yang mudah, tapi ia juga percaya pada Mahesa. Mereka berdua saling memeluk erat, seolah berusaha mengabadikan momen ini sebelum semuanya berubah.
Shera menatap Mahesa, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit beban di dadanya terangkat. Mungkin ini bukan akhir dari semua kebingungannya, tapi setidaknya ini adalah awal yang baru. Awal dari kesempatan kedua yang, kali ini, mereka berdua akan perjuangkan dengan lebih sungguh-sungguh.
Dengan senyum kecil yang akhirnya merekah di wajahnya, Shera berkata, "iya, Hesa... gue akan nunggu. Gue akan lihat apa lo bisa buktiin apa yang lo bilang."
bukan tentang siapa yang menang atau kalah, tapi tentang dua hati yang mencoba lagi, meskipun pernah terlu
Setelah insiden taruhan di Taman Skateboard, Shera berharap bisa melupakan semuanya dan kembali ke rutinitasnya. Ia mencoba fokus pada sekolah dan berlatih skateboard seorang diri. Namun, hatinya masih terasa berat setiap kali ia mengingat Mahesa dan Ezekiel yang bertaruh atas dirinya. Ia merasa dikhianati, terutama oleh Mahesa. Hari itu, Shera tiba di sekolah lebih awal. Ia ingin memanfaatkan waktu sebelum kelas dimulai untuk menyendiri di taman belakang sekolah, tempat favoritnya. Shera dan Mahesa tidak pernah bertemu lagi selama berbulan-bulan. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Hanya ada kesunyian yang semakin menebalkan jarak di antara mereka. Shera mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia harus melupakan segalanya, tetapi hatinya terus berbisik bahwa ia masih menunggu. Menunggu Mahesa kembali.
Namun, apa yang Shera tidak ketahui, di balik keheningan Mahesa, ada badai yang sedang mengoyak hidupnya. Keluarga Mahesa mengalami kehancuran. Orang tuanya bercerai, dan ia terpaksa pindah rumah. Di tengah kekacauan itu, Mahesa merasa tenggelam, kehilangan arah, dan dunia yang ia kenal hancur berantakan. Hidupnya berubah drastis, membuatnya menarik diri dari semua orang, termasuk Shera.
-%-
Kalau bikin kalian kepikiran, wah... berarti kalian udah baper level master! 😎🎓
KAMU SEDANG MEMBACA
So Why You Love Me?
Novela Juvenildi mana skateboard beradu dengan perasaan, cinta meluncur lebih cepat dari skateboard di lapangan, dan hati bisa crash lebih keras daripada jatuh dari papan! 🛹 manusia memiliki hati dan perasaan, meski wujud mereka berbeda-beda. Namun, sering kali...