Bab 12. Protagonis wajah Antagonis

64 7 3
                                    

"Tidak semua orang yang kelihatan baik di luar, akan baik dalamnya juga. Tidak semua orang yang kelihatan buruk di mata orang lain, akan buruk di dalamnya juga. Itulah yang aku lihat dari kamu, Langit." - Jingga Raina.

☘️☘️☘️


Mendengar Langit ingin ikut terlibat dalam rencana balas dendamnya. Tentu saja, Jingga menolak bantuannya. Jingga merasa kalau Langit tak ada kepentingan dan alasan untuk terlibat dengannya. Jangankan dekat, di masa lalu saja mereka seperti musuh.

"Seperti kata lo. Di masa lalu kita emang kayak orang musuhan dan saling nggak suka. Tapi ... mungkin dikehidupan kali ini kita bisa mencoba untuk jadi teman."

Setelah penolakan mentah-mentah yang dilontarkan Jingga kepadanya, Langit berusaha untuk membujuk Jingga agar mau, setidaknya berteman dengannya.

"Teman?"

Jingga tampak kaget dengan perkataan Langit. Heran saja, mengapa pemuda itu mengajaknya berteman. Sungguh, tidak terduga seorang Langit ingin berteman.

"Kamu serius? Mau berteman sana aku?" tanya Jingga seraya menunjukkan jari pada wajahnya sendiri. Dia merasa tidak yakin dengan kata-kata Langit yang ingin berteman dengannya.

"Iya."

Gadis itu pura-pura menggigil ngeri dengan jawaban Langit. "Tapi kok aku serem ya diajakin temanan sama kamu. Horor aja gitu. Cowok paling bad boy di sekolah, ngajakin aku ... si cewek paling culun di sekolah buat temenan?" ucap gadis itu sambil tersenyum.

Ya, Langit yang terkenal dengan titel badboy dan menyeramkan di sekolahnya dan Jingga yang dikenal sebagai cewek paling culun dan juara umum di sekolah. Apa jadinya kalau mereka berteman?

"Gue emang di kenal sebagai antagonis. Tapi lo nggak culun lagi."

Jingga tersenyum tipis mendengar kata-kata Langit tentang dirinya. "Hanya karena aku lepas kacamata, bukan berarti aku gak culun lagi."

"Serius. Lo sama sekali gak culun. Lo beda sekarang." Asumsi pemuda itu sambil menatap wajah Jingga yang cantik dan kedua matanya yang tidak memakai kacamata lagi. Rambutnya pun digerai panjang.

"Terus ... sekarang aku gimana?"

"Sekarang lo makin cantik."

Deg!

Seketika Jingga langsung tertegun setelah mendengar pujian yang berasal dari bibir pemuda yang ada disampingnya ini. Eskrim yang sedang dia nikmati, sampai tumpah ke atas roknya yang berwarna abu-abu.

"Eskrim lo!" seru Langit yang refleks memegang paha gadis itu dengan bermaksud untuk membersihkan eskrim di atasnya.

"Singkirin tangan kamu! Dasar mesum!" Jingga menepis tangan Langit yang memegang pahanya. Dia salah paham dengan maksud baik pemuda itu. Wajah gadis itu juga memerah, bak kepiting rebus. Sepertinya dia merasa panas juga.

"Kenapa jantungku dag-dig-dug gini?" batin Jingga yang merasa aneh saat mendengar kata-kata Langit padanya dan sentuhan pemuda itu barusan.

Gadis itu langsung beranjak dari tempat duduknya dan menatap tajam ke arah Langit. "Lo salah paham, gue cuma mau—"

"Dasar mesum!" ujar Jingga yang tidak mau mendengarkan penjelasan Langit. Sontak saja dia memalingkan wajahnya dan melangkah pergi dari sana.

Langit mengikuti Jingga, dia tidak mau gadis itu salah paham padanya. Ada kesalahpahaman, maka harus diluruskan. Langit berdiri di samping Jingga, sambil berbicara padanya dan menjelaskan kejadian barusan.

"Jangan ikutin aku!" sergah Jingga, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Langit yang terus mengikutinya.

"Gue minta maaf. Gue cuma mau bersihin eskrim di rok lo. Jangan salah paham!" ucap Langit memperjelas semuanya. Akan tetapi, Jingga tidak meresponnya dan masih mengabaikan dirinya.

Tidak mau memperpanjang masalah kecil jadi besar, akhirnya Langit memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan ke yang lain. "Oke-oke, kita skip pembahasan itu. Tentang berteman, gimana? Lo mau kan jadi temen gue?"

Barulah Jingga berhenti berjalan dan mau melihat ke arah Langit, walaupun hanya sedikit. "Kamu serius?"

"Heum. Ayo kita temenan. Jangan lupa, nanti di masa depan, orang ini bakal jadi polisi detektif yang hebat!" seru pemuda itu sambil tersenyum dan membanggakan dirinya yang akan menjadi seorang polisi detektif hebat di masa depan. Jingga tahu itu.

"Haha. Senang banget kayaknya tahu masa depan." Gadis itu tertawa, mendengar kata-kata Langit yang membanggakan dirinya sendiri.

"Jadi gimana? Mau temenan?"

Pemuda itu mengulurkan tangannya pada Jingga.

"Boleh." Jingga tersenyum, kemudian membalas uluran tangan dari Langit. Keduanya, akhirnya mencapai kesepakatan bersama untuk berteman.

"Di kehidupan sebelumnya, kita mungkin tidak dekat, apalagi memiliki hubungan spesial. Tapi di dalam kehidupan kali ini, semuanya akan berbeda. Terutama tentang hubungan kita," kata Langit seraya memerhatikan wajah Jingga, terutama pada bibirnya yang sedang tersenyum.

"Di kehidupan sebelumnya, kita mungkin bukan siapa-siapa. Tapi sekarang kamu adalah temanku, Langit. Teman yang protagonis tapi berselimut antagonis, hehe." Canda gadis itu yang membuat Langit tersenyum.

"Kenapa gitu? Aku protagonis berselimut antagonis? Ada-ada aja kamu," ucap Langit yang menggunakan bahasa aku-kamu, lebih lembut dari sebelumnya.

"Ya, kamu tuh kelihatannya galak, kayak pemeran antagonis... tapi sebenarnya kamu baik banget. Buktinya di masa depan, kamu buat kak Dikta sama Laura di hukum berat. Karena kamu peduli sama aku. Kamu itu protagonis yang sesungguhnya," tutur Jingga menjelaskan alasannya menyebut Langit sebagai protagonis berselimut antagonis.

"Tidak semua orang yang kelihatan baik di luar, akan baik dalamnya juga. Tidak semua orang yang kelihatan buruk di mata orang lain, akan buruk di dalamnya juga. Itulah yang aku lihat dari kamu, Langit."

Langit tertegun mendengar kata-kata Jingga yang menembus sampai ke dalam hatinya, begitu dalam dan membuat hatinya tak karuan lagi.

"Oh ya ... by the way, bagus juga kamu ngomongnya pake kata aku-kamu," celetuk Jingga yang membuat Langit tersenyum canggung.

"Aku cuma ngomong kayak gini, sama teman dekatku."

Bohong! Padahal Langit berbicara lembut dan sopan seperti ini, hanya kepada orang-orang yang spesial untuknya saja. Tapi dia tidak mungkin mengatakan itu pada Jingga, tidak untuk sekarang.

"Jadi kita deket nih?"

"Kenapa? Nggak mau?" tanya Langit.

Kepala gadis itu langsung mengangguk. "Mau kok."

Tidak ada salahnya untuk memperbaiki, atau memulai kembali hubungan mereka di dalam kehidupan kali ini. Hubungan mereka yang tidak pernah dekat, bahkan cenderung penuh perseteruan, pada kehidupan dulu. Akan mereka mulai semuanya dari awal.

☘️☘️☘️

Setelah menghabiskan waktu bersama, Langit dan Jingga menaiki motor ke rumah Jingga. Namun, Jingga heran, karena Langit tiba-tiba memberhentikan motornya di sebuah toko helm.

"Langit, kita ngapain ke sini?" tanya Jingga heran.

"Kita mau beli dessert."

Gadis itu melongo mendengar jawaban Langit yang tidak terduga. Masa iya beli dessert di toko helm?

"Kalau mau beli dessert bukan di sini. Ada kok toko dessert yang enak. Aku tahu tokonya," kata gadis itu dengan wajah polosnya yang membuat Langit gemas.

Langit berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ck, kita ke sini beli helm, masa beli dessert. Aku baru tahu loh, ternyata orang pinter juga bisa jadi oon ya?"

"Apa? Kamu bilang aku OON?" ujar Jingga dengan suaranya yang meninggi sekitar 5 oktaf. Langit hanya tersenyum melihat pipi merah Jingga yang seperti tomat itu.

🥀🥀🥀

Langit Biru JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang