Xavier tergeletak di tepi jalan, tubuhnya terkapar di antara kesadaran dan gelap yang perlahan menyelimuti. Darah mengalir deras dari luka di kepalanya yang masih terbungkus helm, membasahi pakaian dan aspal di bawahnya. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, seakan setiap helaan adalah perjuangan terakhir. Di kejauhan, suara sirine ambulans memecah keheningan di sore itu.
Paramedis dengan sigap mendekatinya, memasang infus dan membalut luka-lukanya untuk menghentikan pendarahan.
"Kehilangan darahnya terlalu banyak, kita harus bergerak cepat!" seru salah satu dari mereka.
Saat ambulans melaju, detak jantung Xavier semakin melemah, membuat suasana di dalam kendaraan semakin tegang. Begitu tiba di rumah sakit, tim medis sudah menunggu, siap melakukan tindakan darurat.
"Kita butuh transfusi darah segera!" terdengar suara dokter yang langsung memimpin prosedur.
Xavier dilarikan ke ruang gawat darurat, tubuhnya diselimuti selang dan peralatan medis. Di tengah kesunyian ruangan itu, hidupnya bergantung pada keajaiban dan keahlian tim yang berjuang menyelamatkannya.
Julissa berlari tergesa-gesa di lorong rumah sakit, wajahnya penuh kepanikan dan matanya sembab oleh air mata yang tak bisa ia bendung. Napasnya memburu, langkahnya terhuyung, namun tak ada yang mampu menenangkannya. Sesaat yang lalu, ia menerima telepon yang seketika meruntuhkan dunianya: anaknya, Xavier, mengalami kecelakaan.
Dengan tangan bergetar, ia mencoba bertanya kepada petugas di meja resepsionis, suaranya serak, hampir tercekat oleh rasa takut yang menguasai. "Anak saya... di mana anak saya?"
Seorang perawat membimbingnya menuju ruang gawat darurat, dadanya sesak penuh kekhawatiran , dan di setiap langkah kakinya diiringi oleh jantung yang berdetak kian keras. Pikiran-pikiran buruk berkelebat tanpa henti di benaknya. Kemudian seorang dokter keluar dari ruangan itu menghampirinya.
"Maaf, Bu. Pasien kehilangan banyak darah. Apakah golongan darah Ibu B?"
"Tidak, Dok. Golongan darah saya A."
"Kami mohon maaf, saat ini stok darah B di rumah sakit sedang kosong. Mohon segera hubungi ayahnya untuk memberikan transfusi darah. Jika tidak, kondisi pasien bisa sangat berisiko."
Badan Juli seketika lemas, air matanya jatuh dengan sangat deras. Dari mana ia harus meminta darah tersebut? Sedangkan laki-laki yang selama ini diakuinya sebagai ayah Xavier, bukanlah ayah kandungnya. Ia panik, mencoba berpikir keras kepada siapa harus meminta pertolongan.
Tak lama kemudian, Cakra datang menyusul ke tempat itu. Sembari terisak, Juli segera berlari menghampirinya.
"Cakra, Xavier kehilangan banyak darah. Aku harus segera menemukan pendonor, kalau tidak--nyawanya gak akan tertolong," ujarnya dengan nafas tersengal-sengal.
Cakra mendekat dan merangkul Juli dengan lembut, berusaha menenangkan gejolak di hatinya. "Tenang, Juli. Aku akan coba periksa," ucapnya penuh keyakinan. "Siapa tahu darahku cocok."
"Kamu bukan ayah Xavier. Bagaimana mungkin darahmu cocok? Xavier memiliki golongan darah yang langka, Cakra. Saat ini, aku benar-benar membutuhkan ayah kandungnya..." ucap Julissa dengan suara bergetar.
Cakra menatapnya dengan penuh tekad. "Aku akan menghubungi semua anak buahku. Tenanglah di sini dulu, ya. Aku akan kembali dengan pendonor untuk Xavier," janjinya.
Julissa hanya bisa mengangguk, air matanya terus mengalir. Tubuhnya gemetar, tak berdaya, sementara pikirannya dipenuhi rasa putus asa.
Beberapa saat kemudian, dokter kembali menghampirinya. "Bagaimana, Bu? Apakah ayah pasien sudah datang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Xena Love Hate Reletionship 21+
Romance⚠️ Bijaklah memilih bacaan! Cerita mengandung adegan sexual! ⚠️21+ Xena Love Hate Reletionship adalah season ke 2 dari Xena The Aggressive Friend. --- Persahabatan antara Xena dan Jonathan yang dipenuhi dengan canda dan tawa perlahan berubah menjadi...