JC. 13

106 23 11
                                    

"Gimana?" tanya Fiona, memecah keheningan. 

Zavian menatap kios di depannya, mengamati setiap sudut. Tempat itu memang cukup strategis, berada di dekat keramaian dan terlihat bersih. Namun, ia tetap merasa perlu memastikan lebih lanjut. 

"Tempatnya lumayan. Strategis," jawab Zavian singkat. 

Fiona tersenyum lebar. "Aku bilang juga apa! Papa aku selalu tahu tempat yang bagus. Kalau kamu ambil ini buat usaha ibu kamu, pasti laris, Ay!" 

Zavian hanya mengangguk kecil, matanya tetap tertuju pada kios itu. Dalam pikirannya, ia memikirkan bagaimana tempat ini bisa membantu ibunya memperluas usaha catering mereka. 

"Aku bantu urus surat-suratnya kalau kamu mau," tawar Fiona antusias. 

"Enggak perlu. Gue urus sendiri," balas Zavian datar. 

Fiona sedikit mengerutkan kening, tapi kemudian tersenyum lagi. "Terserah kamu. Yang penting aku bantu kasih tempat ini, ya kan?" 

Zavian menoleh ke arahnya, lalu berkata, "Thanks, Fi. Tapi gue perlu pikir-pikir dulu." 

Fiona terlihat sedikit kecewa tapi tetap mencoba tersenyum. "Oke, aku ngerti. Kalau kamu butuh apa-apa, kabarin aku aja." 

Zavian hanya mengangguk sebelum kembali memandangi kios itu, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagaimanapun dia harus meminta pendapat ibunya.

"Ay, lapar," rengek Fiona, mencoba menarik perhatian Zavian. 

Zavian melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. "Ayo," ujarnya sambil memasukkan tangan ke saku celana. 

"Kemana?" tanya Fiona dengan mata berbinar, berharap Zavian mengajaknya makan. 

"Pulang," jawab Zavian singkat tanpa menoleh. 

"Ihh, gak peka banget sih!" kesal Fiona, mendecak pelan sambil melipat tangan di dada.  

Sepanjang perjalanan, Fiona memilih diam, menunjukkan kekesalannya pada Zavian yang menurutnya terlalu cuek dan tidak peka. Namun, raut wajahnya berubah bingung saat motor Zavian tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah makan yang cukup terkenal di kota itu. 

"Kenapa berhenti di sini?" tanya Fiona, suaranya ragu. 

Zavian melepaskan helmnya dan menoleh ke arah Fiona. "Lo lapar, kan? Masuk," ujarnya singkat sambil turun dari motor. 

Fiona terdiam beberapa saat sebelum tersenyum kecil, rasa kesalnya mulai mencair. "Tumben banget kamu perhatian," ujarnya sambil mengikuti langkah Zavian menuju pintu masuk rumah makan. 

"Tumben? Lo aja yang banyak ngeluh," balas Zavian datar, meski sudut bibirnya sedikit terangkat. 

Fiona mendengus pelan, tapi dalam hatinya merasa senang. "Dasar, untung cinta," gumamnya sambil memasuki rumah makan bersama Zavian.
_______

"Papa, Lyra izin mau ke puncak," ucap Lyra pelan sambil berdiri di depan meja kerja Ryan, yang terlihat sibuk dengan berkas-berkasnya. 

Ryan menghentikan pekerjaannya, melepaskan kacamata, lalu mengalihkan perhatian pada putrinya. "Kapan, sayang?" tanyanya dengan nada lembut. 

"Minggu ini, Pa. Lyra diajak Zavian," jawab Lyra, senyum malu-malu tersungging di wajahnya. 

Ryan mengangkat alis. "Zavian?"

Lyra mengangguk pelan. "Iya, Pa. Dia yang ngajak. Temen sekelas Lyra."

Ryan menatap putrinya dengan serius, lalu tersenyum tipis. "Kenapa dia tidak minta izin langsung pada Papa?" godanya, sambil menyandarkan tubuh ke kursi. 

"Papa!" Lyra merajuk, wajahnya semakin memerah karena malu. 

Ryan terkekeh kecil. " Kalau mau bawa anak gadis Papa, dia harus ngomong langsung sama Papa," lanjutnya sambil melipat tangan di dada. 

"Papa, kan cuma teman!" balas Lyra.

Ryan mengangkat bahu. "Teman atau bukan, Papa tetap ingin tahu siapa yang mau bawa kamu ke mana-mana." 

Lyra menghela napas, tapi sudut bibirnya tersungging kecil. "Nanti Lyra bilang, deh. Puas?" 

Ryan tersenyum puas. "Nah, begitu. Papa tenang."

"Lyra," suara Amira terdengar tiba-tiba, diiringi langkahnya masuk ke ruangan kerja Ryan tanpa mengetuk pintu. 

"Amira?" Lyra terperanjat, menoleh dengan tatapan bingung. 

"Lo diajak Zavian?" Amira langsung bertanya tanpa basa-basi.

Lyra mengangguk. "Iya, Amira." 

"Kok lo gak ajak gue? Gue juga pengen ikut," ujar Amira, nadanya setengah menuntut. 

Lyra menghela napas, mencoba tenang. "Jangan bilang ke aku, Amira. Aku juga cuma di ajak." 

Amira mendengus kesal, lalu melipat tangannya. "Ya terus gue harus bilang ke siapa? Zavian? Gak mungkin!" 

Lyra tersenyum tipis. "Coba aja tanya dia langsung. Kalau dia gak keberatan, atau ke teman-temannya."

Amira mendecak pelan. "Iya, gue tanya deh. Tapi lo bilang ke dia juga biar dia gak nolak, oke?" 

Lyra hanya mengangguk, mencoba menghindari perdebatan lebih jauh.

"Papa," Amira memanggil Ryan dengan suara lembut, meski tatapan pria itu tampak bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba. 

Ryan menatapnya tajam, menunggu penjelasan. 

Segera, Amira merubah mimik wajahnya, memasang ekspresi penuh penyesalan. "Papa, maafin Amira. Amira tadi masuk tanpa izin. Amira menyesal," ucapnya pelan, menunduk sedikit. 

Ryan menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, Amira. Tapi jangan diulangi lagi, ya. Itu tidak sopan. Lihat Lyra, anak kandung Papa saja selalu meminta izin," ucapnya, nada suaranya penuh nasihat. 

Amira menunduk lebih dalam. "Iya, Papa. Amira janji gak akan mengulanginya lagi," balasnya dengan nada menyesal.  

"Papa, Amira mau dibelikan tas untuk ke puncak," ucap Amira dengan nada manja, mencoba mengalihkan suasana.   

Namun, Lyra yang mendengar itu tampak menggeleng. "Amira, bahkan kamu belum bilang pada Zav kalau mau ikut," ujarnya dengan nada lembut, tapi tegas. 

Amira melirik Lyra, senyumnya sedikit menyeringai. "Gue pasti di ajak, Lyra. Zav kan suka sama gue," balasnya penuh percaya diri. 

Lyra terdiam, tidak ingin memperpanjang perdebatan, meski hatinya terasa terusik mendengar ucapan Amira.

"Iya pa, mau kan belikan Amira tas?" Rengek Amira.

Ryan menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Boleh, Amira."
Amira bersorak riang. "Terimakasih Papa!"
_______

Belum nemu visual yang cocok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JADI COWO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang