Suara derum motor memenuhi udara malam. Malam ini, Zavian bersiap mengikuti balapan. Hadiahnya tak main-main, senilai 50 juta.
"Jangan terlalu maksa. Anggap aja buat senang-senang," ujar Arka sambil menepuk bahu Zavian.
Zavian menoleh, wajahnya serius. "Gue butuh duitnya."
Arka menghela napas. "Itu gak seberapa, Zav. Kalau emang lo butuh, datang aja ke gue."
Arka menatapnya tegas, nada suaranya penuh peringatan. "Ingat, keselamatan lo yang paling penting." Setelah mengucapkan itu, Arka berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Zavian yang masih diam memandangi lintasan.
Zavian tidak peduli. Dia harus menang. Selain butuh uangnya, dia tidak ingin mempermalukan dirinya didepan teman-temannya yang datang, terlebih Tama dan Ravin yang tampak begitu heboh.
Saat kain melambung ke udara, suara deru motor langsung menggelegar, menandakan balapan dimulai. Zavian segera memacu motornya, memperhatikan setiap sudut jalan di depannya. Angin menerpa wajahnya, seiring dia melewati para pesaingnya satu per satu.
Di belakang, teman-temannya bersorak, mendukung Zavian di lintasan.
"Bos, khawatiran lo berlebihan," ucap Raka sambil menepuk pundak Arka yang tampak gelisah.
"Dia pernah jatuh," balas Arka, masih menatap lintasan dengan cemas.
"Gue tau, tapi lo gak harus sekhawatir ini. Dia itu cowok kuat, punya sembilan nyawa," jawab Raka dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Arka mengangguk.
"WOY, TEMEN GUE MENANG!" pekik Tama, penuh semangat saat melihat Zavian melewati garis finish sebagai pemenang.
Mereka semua berlari menghampiri Zavian, sorak-sorai kebahagiaan dan tepukan di bahu pun tak terhindarkan.
"Lo hebat," puji Ravin sambil menepuk-nepuk pundak Zavian berulang kali.
"Gue tau," balas Zavian, sedikit menyeringai.
"Selamat, bro!" sahut Raka dengan senyum bangga.
"Emang sahabat gue ini hebat!" tambah Tama, merangkul Zavian dengan penuh kebanggaan.
"Mau nonkrong? Gue yang traktir," ajak Zavian. Melihat teman-teman Zavian, Bia merasa kehadiran Fahri, Asep, Tito dan David dikehidupan aslinya. Mereka semua begitu baik dan penuh solidaritas.
"Asikk, nah kan enak kalau gini!" seru Tama bersemangat.
"Gaslah, di tempat biasa aja, kuy," sambut Ravin dengan antusias.
_____"Nak, sudah malam, lebih baik tidur, yuk," ajak Bu Aini, ibu Zavian, dengan lembut.
Namun Fiona, yang sudah menunggu sejak sore, hanya menggeleng. "Engga, Bu. Fio mau nunggu Zav. Fio khawatir," ucapnya.
Bu Aini menghela napas panjang. Ia tahu Zavian sering pulang larut malam, atau bahkan tak pulang sama sekali. Meski hatinya khawatir, ia sudah terlalu sering melihat keras kepalanya anak itu. Berulang kali ia mencoba menasihati, namun Zavian seakan tidak pernah mendengarkan.
"Ya sudah, jangan terlalu larut, besok kamu sekolah, kan," ucap Bu Aini lembut, sambil tersenyum khawatir.
"Iya, Bu. Ibu tidur saja, aku nggak apa-apa," jawab Fiona menenangkan.
Karena Zavian tak juga datang, Fiona akhirnya memutuskan untuk menunggu di kamar pemuda itu. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur, sambil memainkan ponselnya untuk mengisi waktu. Saat asyik membuka aplikasi, dia tak sengaja melihat story dari Tama dan Ravin.
"Zav balapan?" gumam Fiona dengan kening berkerut.
Namun begitu dia melihat hasil story itu, matanya membesar. "Dia menang?" pekiknya dengan suara penuh keterkejutan.
“Aaaa, keren banget cowok gue! Kalau tau dia balapan, gue pasti ikut nonton,” ujar Fiona.
Namun, perlahan kantuk mulai menyerangnya. Fiona pun merebahkan diri lebih nyaman di kasur Zavian, membiarkan matanya perlahan terpejam.
Zavian yang baru saja pulang terdiam sejenak, memandang Fiona yang tertidur lelap di kasurnya. Dia memperhatikan wajah Fiona yang terlihat damai, namun senyumnya justru mencemooh.
“Lo cantik, tapi gue gak berselera, gue masih suka cowok," gumamnya pelan, seraya melipat kedua tangannya. “Lo ngotot banget bikin gue luluh, padahal gue malah jijik.”
Dia menggelengkan kepalanya, sedikit merasa kesal sekaligus geli melihat Fiona begitu berusaha mengejarnya, meski ia tahu takkan ada perasaan yang berbalik.
Zavian memutuskan untuk tidur di luar kamar saja. Ia tidak ingin membangunkan Fiona karena sudah bisa membayangkan gadis itu akan berisik.
Ia menarik napas dalam, menatap langit-langit ruang tengah sambil terbenam dalam pikirannya. Tuhan memang melarang hubungan sesama jenis. Tapi kenapa Tuhan membiarkan dirinya terjebak dalam situasi serumit ini?
Di tengah keheningan malam, Zavian merasa rindu. Rindu pulang ke kehidupannya yang dulu, rindu pada abang serta teman-teman lamanya.
Pagi-pagi buta, rumah Zavian sudah dihebohkan oleh suara riang Fiona.
"Ayang, good morning!" sapanya ceria. Gadis itu terlihat sudah rapi dengan seragam sekolahnya, sementara Zavian hanya bisa berdecak pelan.
"Zav, mandi dulu, nanti sarapan bersama," ujar Ibu Aini, tersenyum lembut.
"Iya, Bu," balas Zavian, berjalan menuju kamar mandi sambil menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan energi.
_______

KAMU SEDANG MEMBACA
JADI COWO
FantasyBia tidak menyangka jika hidupnya akan sekonyol ini. Masuk dunia novel dan menjadi laki-laki? Bia menghela napasnya kasar dengan menatap kearah bawah. "Jadi panjang," lirihnya merasa frustasi. ______ HANYA CERITA FANTASI YANG GAK MUNGKIN PUN JADI...