Zavian duduk di hadapan Robert, ayah Fiona, dengan wajah datar. Namun, suasana ruangan terasa tegang. Robert terus menatapnya tanpa berkata apapun, hingga akhirnya ia membuka suara.
"Nama ibumu siapa?" tanya Robert tiba-tiba.
Alis Zavian terangkat, sedikit bingung mendengar pertanyaan yang tidak terduga itu. Namun, dia memilih tidak menjawab. Sebaliknya, dia langsung ke inti pembicaraan.
"To the point aja, Om. Om manggil saya ke sini mau apa?" ucap Zavian dengan nada datar, terdengar sedikit tidak sopan.
Robert menghela napas panjang, tampak berusaha menahan kesal. "Saya ingin kamu menjalin hubungan dengan putri saya," ucapnya akhirnya. "Jika kamu mau, saya akan memberikan 5% saham di perusahaan saya."
Zavian menatap Robert dengan sorot tajam, seolah mencari kebenaran.
Zavian menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba menahan tawa kecil yang terdengar lebih seperti ejekan. "Om pikir saya mau?"
"Saya hanya ingin memastikan masa depan Fiona. Dia menyukai kamu, dan saya ingin dia bahagia." Ucap Robert.
Zavian tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh sindiran. "Kalau om beneran peduli sama Fiona, biarkan dia bahagia dengan orang yang juga mencintainya. Memaksakan hubungan seperti ini cuma akan nyakitin dia," jawab Zavian tegas.
Robert terdiam, tidak menyangka mendapat jawaban seperti itu.
"Maaf, Om. Saya nggak bisa memenuhi permintaan Om," lanjut Zavian sambil berdiri. "Kalau nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya permisi."
Tanpa menunggu tanggapan, Zavian melangkah keluar ruangan, meninggalkan Robert yang terlihat kecewa. Di luar, Fiona mendekat dengan wajah cemas.
"Gimana? Papa ngomong apa?" tanyanya cepat.
Zavian hanya menatap Fiona sebentar, lalu berkata dingin, "Tanya aja langsung ke Papa lo." Setelah itu, dia berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
Fiona membuka pintu ruang kerja ayahnya dan melangkah masuk dengan ragu. "Papa," panggilnya, suaranya terdengar pelan.
Robert menoleh ke arah putrinya.
"Zav mau, kan, Pa?" tanya Fiona penuh harap, matanya berbinar, berharap jawaban yang diinginkannya.
Namun, Robert hanya menghela napas panjang. Ia menatap putrinya dengan lembut sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Cari laki-laki lain saja, yang benar-benar mencintai kamu," jawab Robert tegas.
Fiona tertegun mendengar jawaban itu. Rasa kecewa yang begitu besar langsung terlihat di wajahnya. "Papa nggak ngerti," ucap Fiona lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
"Aku suka Zav, Pa. Aku pengen dia," katanya lagi.
Robert mendekati Fiona dan meletakkan tangannya di pundak gadis itu. "Papa tahu perasaan kamu, sayang, tapi kamu nggak bisa memaksa seseorang untuk mencintai kamu. Kalau dia memang untuk kamu, dia akan datang dengan sendirinya," ucapnya lembut, mencoba menguatkan putrinya.
Namun, Fiona hanya menggeleng keras, air matanya mulai mengalir. "Papa nggak ngerti! Aku nggak mau orang lain, aku cuma mau Zav!" serunya, sebelum berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Robert yang hanya bisa menghela napas panjang.
Zavian berdiri di balik pohon besar, matanya mengamati rumah Fiona dari kejauhan. Ia menyembunyikan dirinya, memastikan tak terlihat oleh siapapun, termasuk Fiona.
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat Fiona keluar rumah, matanya tampak sembap, air mata masih mengalir deras di pipinya. Gadis itu terlihat gelisah, seperti tengah mencari seseorang.
Dia tahu, menolak Fiona adalah yang terbaik. Dia tidak ingin memberikan harapan palsu. Namun, melihat air mata dan ekspresi kecewa di wajah gadis itu membuat sesuatu di dalam dirinya terasa terusik.
"Gue cuma orang asing yang terjebak di tubuh ini," gumamnya pelan. Semua ini terasa aneh baginya, hidup di dunia yang bukan miliknya, menjalani takdir yang tidak ia pilih.
Zavian melajukan motornya dengan kecepatan sedang, pikiran bercampur aduk memenuhi kepalanya. Penolakan yang dia berikan tadi begitu kasar.
Bayangan wajah kecewa Fiona terus terlintas di benaknya. Begitu pula dengan tatapan tajam Robert, ayah Fiona, yang tampaknya kecewa dengan sikapnya.
Setibanya di rumah, Zavian memarkir motornya perlahan. Dia duduk diam di teras, mencoba menenangkan pikirannya.
Hingga tiba-tiba handphonenya berbunyi. Terpampang nama Fiona disana.
Tiba-tiba ponsel Zavian berdering. Nama Fiona terpampang jelas di layar.
"Ayang," terdengar suara serak Fiona di seberang.
Zavian tidak langsung merespons, hanya mendengarkan.
"Besok ya kita surveinya. Hari ini aku gak bisa," ucap Fiona, suaranya terdengar lemah.
"Ya," jawab Zavian singkat.
"Kamu di mana?" tanya Fiona tiba-tiba.
Zavian terdiam sejenak, lalu tanpa sadar, kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Gue... gue sama Lyra."
Di ujung telepon, Zavian tidak lagi mendengar suara Fiona. Hening sejenak, hingga akhirnya gadis itu berkata dengan suara pelan, "Aku sakit."
Setelah itu, panggilan terputus.
Zavian menatap kedepan dengan pandangan kosong. Kenapa dengannya? Dia ingin menemui gadis itu dan mengatakan bahwa dia tidak bersama Lyra.
Sementara itu, di sisi lain, Fiona terisak pelan, memeluk erat bantal di pelukannya. Air mata mengalir tanpa henti.
Penolakan kali ini terasa jauh lebih menyakitkan. Usahanya meminta bantuan pada ayahnya, bahkan rela menyingkirkan harga dirinya demi mendekati Zavian.
Meski begitu, hatinya belum siap menyerah. "Aku gak akan berhenti," gumamnya dengan suara bergetar.
______
Fio🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
JADI COWO
FantasíaBia tidak menyangka jika hidupnya akan sekonyol ini. Masuk dunia novel dan menjadi laki-laki? Bia menghela napasnya kasar dengan menatap kearah bawah. "Jadi panjang," lirihnya merasa frustasi. ______ HANYA CERITA FANTASI YANG GAK MUNGKIN PUN JADI...