JC. 08

141 23 16
                                    

"Papa tahu nggak? Hari ini Lyra terlihat berbeda, dia memakai riasan ke sekolah," ujar seorang gadis kepada pria paruh baya di depannya. 

Pria yang dipanggil Papa itu sontak menatap putrinya. "Benarkah, Sayang?" tanyanya penuh perhatian. 

Lyra, yang duduk sebelah papahnya mengangguk dengan malu-malu. 

"Tapi lo keliatan aneh," celetuk Amira sambil menatap Lyra dengan ekspresi datar. 

"Kok aneh? Pasti putri Papa tetap cantik," sanggah pria itu sambil menatap Lyra dengan penuh kebanggaan. 

Mendengar pujian dari papanya, wajah Lyra langsung memerah, malu tapi senang.

"Kamu juga katanya diantar cowok, ya?" tanya Cece, tante Lyra, sambil menatap keponakannya. Cece adalah saudara dari ibu Lyra yang sudah tiada.

"Teman, Tante," jawab Lyra pelan.

"Dia cowok yang suka sama aku, Ma, Pa!" sahut Amira tiba-tiba, dengan nada ceria.

"Oh ya?" Cece tampak terkejut mendengar cerita putrinya.

Lyra hanya menunduk, menyembunyikan rasa sedihnya. Hatinya terasa sakit mendengar kata-kata itu.

Ryan, ayah Lyra, memperhatikan perubahan raut wajah putrinya. Ia sepertinya menyadari ada sesuatu yang Lyra pendam, mungkin tentang perasaan yang tidak berbalas.
_

Lyra duduk di pingiran kasurnya dengan memegang layar ponselnya.

"Dia tampan sekali," gumam Lyra sambil terus men-scroll media sosial Zavian.

Tangannya berhenti sesaat pada sebuah foto Zavian yang sedang tersenyum tipis dengan latar matahari terbenam. Jantung Lyra berdegup sedikit lebih cepat.

"Tapi... apa aku pantas suka sama dia?" bisiknya pada diri sendiri, sambil menatap layar ponselnya.

Tok tok.

"Lyra, ini papa," suara Ryan terdengar lembut dari balik pintu.

"Masuk aja, Pa, nggak dikunci," balas Lyra sambil buru-buru menyembunyikan ponselnya di bawah bantal.

Pintu terbuka pelan, dan Ryan melangkah masuk ke kamar putrinya. Wajahnya terlihat hangat, penuh perhatian seperti biasanya.

"Ada apa, Pa?" tanya Lyra dengan senyum kecil, mencoba menutupi kegugupannya.

Ryan duduk di tepi tempat tidur, menatap Lyra dengan lembut. "Papa cuma mau lihat kamu, sayang. Kamu kelihatan beda akhir-akhir ini. Ada yang mau diceritakan ke Papa?"

Lyra menunduk, memainkan ujung selimutnya. "Enggak ada apa-apa, Pa. Lyra baik-baik aja."

Ryan mengangguk pelan, tapi tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita ke Papa, ya. Apa pun itu, Papa selalu di sini buat kamu."

Lyra mengangguk pelan. "Makasih, Pa." 

"Pa, kapan Tante Cece dan Amira pulang? Bukan maksud aku gak sopan, Pa," tanya Lyra pelan, suaranya terdengar hati-hati.

Ryan menatap putrinya dengan penuh perhatian. "Kamu gak nyaman?" tanyanya lembut.

Lyra mengangguk perlahan. Sejujurnya, sejak kedatangan Tante Cece dan Amira, hidup Lyra di rumahnya sendiri terasa kurang tenang.

Ryan menghela napas, lalu tersenyum kecil sambil mengelus kepala putrinya. "Nanti Papa bicara pelan-pelan sama mereka, ya. Papa pastikan gak menyakiti perasaan mereka."

"Papa gak akan menikahinya, kan?" tanya Lyra tiba-tiba, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Ryan menggeleng dengan tegas. "Papa gak akan menikah lagi, sayang. Tujuan Papa sekarang cuma satu, yaitu membahagiakan kamu."

Lyra menatap Ryan, matanya mulai berkaca-kaca. "Beneran, Pa?"

Ryan mengangguk mantap. "Lakukan apa pun yang membuat kamu bahagia, sayang. Papa akan selalu mendukung kamu."

Senyum Lyra mengembang. Dia merasa sangat beruntung memiliki seorang ayah seperti Ryan, yang selalu memahami dan mendukungnya tanpa syarat. 
__

Zavian sibuk membantu ibunya menyiapkan pesanan catering di dapur. Suara panci dan pisau yang beradu.

"Ibu, Zav ada uang," ucap Zavian tiba-tiba, memecah keheningan. 

Ibu Aini menoleh, menghentikan sejenak tangannya yang sedang mengaduk adonan. "Simpan saja, Nak. Buat kebutuhan kamu. Kalau kurang, ibu bisa tambahkan," jawabnya lembut. 

Zavian menggeleng. "Uangnya untuk ibu," ujarnya.

Ibu Aini terdiam, menatap anaknya dengan tatapan penuh rasa haru. "Untuk ibu?" tanyanya, memastikan apa yang baru saja didengarnya. 

"Iya, Bu. Ibu bisa kembangin usaha kuliner ibu. Biar ibu punya pegawai, jadi ibu gak terlalu capek," ujar Zavian dengan nada serius. 

Ibu Aini tertegun, menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu punya uang sebayak itu dari mana?"   

Zavian tersenyum kecil. "Ibu gak usah pikirin itu. Kalau kurang, ibu tinggal bilang sama Zav. Zav pasti bantu." 

Ibu Aini masih terlihat ragu, tapi ia tidak ingin mendesak lebih jauh.

Zavian menghela napas dalam. Sejujurnya, ia ingin membuka usaha sendiri, tapi ia sadar dirinya belum paham soal bisnis. Di dunia aslinya, kekayaan melimpah yang ia nikmati adalah hasil kerja keras kakaknya.

Namun, kali ini Zavian ingin menyerahkan semua dana kepada ibunya untuk mengembangkan usaha kuliner, sambil dia belajar pelan-pelan.

Bia ingin sekali mengubah takdir Zavian. Aslinya, obsesi Zavian terhadap Amira membuatnya melupakan ibunya. 

Setelah membantu sang ibu dia segera berangkat kesekolah. Entah kenapa dia merasa ingin bertemu seseorang tapi siapa?

_____

JADI COWO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang